Rasionalkah memilih dalam pemilu ?



Di tahun 1968, dua orang peneliti, Riker and Ordeshook, menerbitkan tulisan ilmiah tentang paradoks perilaku pemilih melalui the theory of the calculus of voting. Keduanya menulis berdasarkan tulisan terkenal Anthony Downs di tahun 1957 An economic theory of political action in democracy”
Secara esensial, pokok pikiran kedua scholars ini dimaksudkan untuk menjelaskan paradoks memilih melalui tiga premis yang mereka anggap berlaku dalam segala rupa aktfitas manusia, termasuk dalam aktivitas berdemokrasi. Ketiga premis itu adalah pertama, warga negara pada dasarnya rational. Kedua karena masyarakat rational, keuntungan dari perilaku memilih sangat dipengaruhi oleh prakiraan tentang dampak perbuatan memilih tersebut terhadap perubahan atau katakanlah keuntungan pribadi sang pemilih. Kemudian, perilaku memilih juga dipengaruhi oleh biaya yang timbul sebagai akibat dari perbuatan memilih itu. Biaya, dalam konteks ini, tentu saja juga termasuk biaya hilangnya kesempatan  (opportunity cost) dari tindakan memilih atau tidak memilih, bahkan termasuk biaya dari kesempatan yang hilang dari perginya seseorang ke TPS bila dibandingkan dengan melakukan hal lain yang lebih menguntungkan secara ekonomi. Ketiga premis ini kemudian dikembangkan sebagai fondasi rumus Riker dan Ordershook untuk menghitung manfaat memilih. Manfaat (U/R),  dengan demikian, ditentukan oleh bertemunya keuntungan (Benefit/B) dan kemungkinan (probabilitas/P) serta dipengaruhi secara negatif oleh biaya (Cost/C). Sederhananya, manfaat memilih dapat dihitung dengan rumus U/R = (B x P) - C. 

Berangkat dari rumus dasar ini, perhitungan dilakukan untuk menjelaskan adakah hubungan perilaku memilih individu (dan atau tidak memilih) didasari oleh manfaat yang dirasakan oleh warga negara dari proses pemilu. Jawabannya dapat ditebak. Benefit yang abstrak dan probabilitas yang secara umum sangat kecil (mengingat jumlah populasi yang sangat besar) membuat biaya sekecil apapun berujung pada kontraproduktifnya manfaat dari memilih. Keuntungan dari ikut memilih dengan sendirinya selalu akan sama dengan nol atau negatif dan dengan demikian mengindikasikan bahwa secara umum masyarakat seharusnya tidak melihat keuntungan dari ikut pemilu. Pendeknya, dalam konteks teori pilihan rational, pemilih terdidik seharusnya GOLPUT.

Kita tentu saja bisa merunut dan menggunakan bukti ini untuk memahami GOLPUTnya banyak kawan terdidik yang kritis terhadap pemilu hari-hari ini. Tapi mari  tidak tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Mari kita bedah juga penelitian kedua scholar ini dengan bertanya semisal 'bila demikian, mengapa sebagian orang terdidik memilih?' atau agar lebih umum, 'mengapa orang tetap saja memilih bila reward dari sebuah pemilihan nyatanya adalah nihil atau negatif'?' Adakah pada dasarnya para pemilih itu tidak rational dan bukan mahluk (ekonomi) yang bijak? Untuk menjawab pertanyaan ini mari kita runut kembali telaah Riker dan Ordershook dalam menyikapi paradox ini.  

Berhadapan dengan paradoks memilih, Riker dan Ordershook kemudian menambahkan satu variabel lain ke dalam rumus awal tadi. Keduanya menambahkan kepuasan melaksanakan fungsi kewarganegaraan (Duty) sebagai penyeimbang dari biaya. Manfaat bagi mereka kemudian tidak hanya tergantung pada benefit, probability, dan cost tetapi juga pada kepuasan telah melaksanakan kewajiban dan hak sebagai warga negara. Justifikasi ini merubah merubah rumus perilaku pemilih mereka menjadi U = B x P - C + D dan membuat kausalitas antara manfaat dan perilaku memilih kebanyakan dari kita bisa dijelaskan dengan lebih masuk akal. Sederhananya, memilih adalah sikap rasional ketika nilai dari D selalu lebih dari C dan membuat manfaat lebih dari O, sedangkan sebaliknya ketika fungsi D dianggap tidak lebih dari cost maka golput adalah pilihan yang rasional. 

Masuknya variable kepuasan telah melaksanakan civic duty sebagai warga negara ini tentu saja boleh kita anggap sebagai akal-akalan. Sebuah cara untuk memahami ‘ketololan’ dengan memberikan kepuasan, yang tidak terukur dan abstrak, sebagai fungsi pembanding. Argument seperti ini bisa jadi solid, sesolid batu. Hanya saja bantahan solid terhadap fungsi tugas kebangsaan itu mungkin melupakan bahwa pemahaman terhadap pilihan rational manusia, bilapun variabel tambahan itu ialah semata justifikasi mekanis, tidak bisa disandarkan hanya pada fungsi matematika yang berusaha mencari kausalitas positif sebuah fenomena. Bantahan, atau jua pembenaran, terhadap fungsi 'paradox of voting' sebagiaman dijelaskan Riker dan Ordeshook berada pada posisi logika atau mungkin lebih tepatnya imajinasi yang berbeda. Riker dan Ordershook dalam membahas Downs menolak posisi logika yang tautological. Saya pribadi menganggap bahwa Riker dan Ordershook berusaha menampilkan fakta bahwa pilihan adalah perkara kompleks. Maka itu, walaupun keduanya mencoba menjelaskan sikap memilih atau tidak memilih melalui proses kuantifikasi yang rapi, dan tertata, keduanya tak menganggap kebenaran selalu bisa diprediksi bila dasar-dasar kalkulasi mencukupi.

Banyak political scientist tentu ikut coba memahami paradoks perilaku pemilih dalam perspektif yang sama sekali berbeda. Brennan dan Lomasky  (2000) dalam tulisan mereka 'is there a duty to vote?, misalnya, menolak kepuasan menjalankan tugas kewarganegaraan sebagai pembenaran dari perilaku memilih. Bagi mereka retorika tugas moral kebangsaan sebagai pondasi untuk mengajak individu memilih adalah racun bagi proses demokrasi itu sendiri. Di sisi lain, keduanya juga menolak perilaku memilih sebagai perbuatan yang semata harus berdasarkan logika manfaat. Bagi Brennan dan Lomosky, 'voting despite its reward is not logically or morally wrong'. Sebagai manusia, saya sepakat dengan keduanya bahwa kebenaran dan logika dari perilaku memilih (dan tidak memilih) tak melulu bisa dijelaskan atau digantungkan pada kaca mata ekonomi dan moral tugas warga negara. 

Bagi banyak dari kita, 
Jauh dari postulat ekonomi dan retorika-retorika moral kebangsaan yang mentereng, manfaat memilih dan tidak memilih dalam pemilu memang seringkali berdiam pada alamat yang hanya kita yang memahami, kabur namun tak berarti tidak jelas. Bagi sebagian dari kita, pemilu bisa jadi tidak hadir dalam atribut-atribut ideal kebangsaan melainkan hanya sebuah perayaan. Pemilu kita sambut hanya semata sebagai pesta, tak lebih dari sarana dimana kita bisa berinteraksi secara reciprocal dan mengekspresikan misi pribadi untuk melakukan foto selfie dengan kelingking yang basah oleh tinta pemilu. Kebenaran dan manfaat pemilu bagi kita dengan demikian memang tidak bergantung pemahaman kebangsaan atau angka manfaat (pribadi) semata.

Banyak dari kita tetap melihat kebaikan (dan dengan demikian jua pembenaran), mungkin tidak bagi diri kita pribadi, tetapi bagi orang lain, sebagai alasan mempraktekkan hak kita untuk memilih. Memilih ayah seorang kawan untuk duduk di parlemen, misalnya, mungkin tak berguna banyak bagi kita, tapi tetap kita lakukan karena itu berarti besar bagi kawan kita. Singkatnya ada perasaan yang sangat manusiawi yang turut ambil peran dan menjelaskan keputusan individu untuk menuju TPS dan memilih 

foto selfie habis pemilu 2014 di beijing
 (source: beritainfosehat.blogspot.com)
Sebagian kita tentu boleh sedih menanggapi keniscayaan pemilu dengan incentive memilih yang tak berlatar kesadaran atas tujuan mekanisme politik itu. Kawan-kawan 'rational’ yang memutuskan untuk GOLPUT boleh juga ikut membela diri sambil mencecar dengan pertanyaan lanjutan ‘bukankah memilih dengan kesadaran serendah itu adalah salah dan tak berguna?’. Saya, sayangnya, tak punya jawaban yang lebih memadai daripada ajakan untuk merunut posisi logika dan kepuasan yang berbeda-beda dari tiap-tiap mereka yang memilih (dan atau tidak memilih). 

Pada akhirnya tulisan pendek ini memang tak dapat benar-benar menjawabpertanyaan-pertanyaan yang terlampau serius. Pun, sejak awal saya memang tak bermaksud menjelaskan pentingnya memilih kepada kawan-kawan yang telah memutuskan untuk GOLPUT. Saya hanya hendak ikut berbisik agar kita memahami kebenaran bersikap sebagai sesuatu yang tidak hitam putih dan dengan demikian lekas menampilan telunjuk di depan hidung dan menghardik. 

Melalui kesadaran seperti itu, kita mungkin bisa kembali memeriksa asumsi kita terhadap pemilu dan demokrasi. Bagi saya ini soal yang luamayan penting, karena betapa ruginya bila kita tak hanya kehilangan pesta namun juga teman.

Muh Burhanudin Borut
Canberra - 08-04-2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar