memposting sesuatu bermakna " Rindu " | a note to my self


moment of missing | Photo Taken By : @PesiwairssaNini
Saya sudah memikirkan judul ini bahkan sebelum memulai kata pertama, bahkan inilah kalimat pertama itu. Kalimat yang terngiang di kepala setiap kali melihat kertas dan blog teman-teman yang lain mempostingkan sebuah tulisan. Tulisan baru, tulisan segar yang berasal dari pikiran yang masih terus bicara dengan hati, dengan nurani yang berteriak, berbisik lemah dan atau sekedar merayu ketika menyaksikan realitas hidup. Saya dengan demikian memang sedikit buta atau rabun sehingga tak lagi bicara dan lalu memiliki semangat untuk menuliskan sebaris kalimat yang mungkin dapat beranak pinak menjadi sebuah tulisan. Sebuah bacaan yang berarti, setidaknya bagi diri sendiri.

Saya selalu berpendapat seseorang takkan bisa “menulis” tanpa benar-benar mengalami pengalaman nurani yang mendorongnya menulis. Seorang penulis yang baik “ menurut saya “  adalah pejalan abjad yang disusunnya, sama kiranya seperti seorang sutradara yang mengartikan script kedalam sebuah gambar yang lalu bicara kepada banyak orang. Karena itu, menjadi bagian dari cerita, bagi saya adalah keharusan.. entah itu dalam argumentasi atau opini. Bila tidak tulisan “mungkin” hanya akan sekedar menjadi perayaan literasi tanpa makna. Sebuah pesan yang tersampaikan tidak dengan gairah. Sebuah berita yang walaupun perlu akan membuat kita berpaling ketika sebuah dongeng diceritakan atau ketika sebuah berita di dongengkan. Sebuah kebosanan tak perlu yang berhimpit rapat diantara kertas digital yang bernama layar komputer atau kertas percetakan.


Nah...Sampai di sini saya akan mengaku kalau saya adalah orang yang sentimentil.. tidak hanya sedikit... mungkin banyak tapi tidak cukup banyak untuk mengalami pengalaman yang mendorong untuk mulai menulis. Maka itu jangan pedulikan pendapat orang yang baru mau menulis lagi setelah lama vakum, akibat isi kepalanya menjadi lebih bodoh karena hedonisme ini.

And then so what.....  ? apakah memposting tulisan ini berarti saya sudah mengalami pengalaman nurani yang membuat saya bisa menulis. Saya tak benar-benar bisa memastikannya. Saya mungkin hanya bisa membagi sedikit dari sisa perasaaan senang dan tercerahkan yang terakumulasi dari pengalaman pendek mengelilingi pulau jawa, bertemu dengan banyak orang dan menikmati perjalanan itu... bahkan lebih menikmati proses menuju tempat-tempat itu dari pada ketika menjumpai tempat-tempat yang disebut indah, eksotis, dan majestic itu. itupun mungkin tidak lebih dari sekedar perasaan ingin membagi.. karena untuk menuliskan cerita tentang perjalanan itu.  baru saja, saya sudah membunuh kehendak  dengan menghadiahi kepala, segenap pikiran tentang bagaimana kemudian diri sendiri menjalani hidup yang ternyata "kering" dan belum benar-benar termaknai dengan jujur ini. 


di awal paragraf yang baru ini, saya bingung harus memulai dari mana. udara seakan-akan tak menawarkan apa-apa selain oksigen. imajinasi mungkin tidak mampat... namun kejujuran hati... kejujuran hatilah nampaknya yang membuat segala abjad ini tertutur dalam rima tak jelas dan cerita yang tak runtut lalu berkhianat pada alur. saya jelas berputar-putar disini, hendak membosankan diri sendiri dengan kata-kata karena tak mampu berkata dan bertindak lugas menetapkan diri sendiri. 


Sekarang ini, demi memulai paragraf yang baru, saya terpaksa duduk di sebuah kafe yang menuliskan tahun 1805 sebagai mula pembukaannya di Jakarta Tua. Lalu untuk membuka hati dan pikiran pada pesan-pesan dalam kepala, saya terpaksa menelan kebodohan memesan soto ayam panas dan teh manis dengan harga tiga kali dari gerobak yang juga menjual barang yang sama di luar sana. Di meja kafe bergaya indsich dengan foto besar meryl streep dan banyak foto yang tak ada kaitannya dengan indisch era ini, semua hal yang saya lakukan di awal pagi ini tak satupun terasa benar. 


pfuuhh.....  mari kita akhiri saja gundah tak jelas ini. 


Pada akhirnya saya memang harus melamunkan kembali alasan saya memulai menulis kalimat itu di awal kertas digital putih microsoft word ini. Apakah saya benar-benar sudah menglami pengalaman nurani yang membuat saya memiliki cukup gairah untuk menulis?

untuk mengulang kembali apa yang saya sampaikan didepan. dengan sangat menyesal rasa-rasanya saya harus menyatakan “ mungkin tidak atau belum...” sebagai jawaban . Untuk sementara saya memang "mungkin" belum merasakan pengalaman nurani seperti itu. Nurani saya belum terketuk hingga saya harus membuka pintu dan membiarkan tamu bernama gairah dan inspirasi atau kebenaran itu datang. Saya dengan sesal sebenarnya lebih sering  memikirkan hari demi hari penyesalan karena keburukan yang sudah saya lakukan dan ulangi lagi yang membuat saya jauh dari pengalaman nurani dan seringkali bahkan harus menutup rapat pintu itu sendiri dan hendak membuang kuncinya jauh-jauh. ini walaupun saya tahu saya tak bisa menyembunyikan penyesalan atau apapun itu tetap di dalam sana selamanya.

Saya harus bilang bahwa menuliskan abjad-abjad ini mungin hanya semacam rindu untuk mengalami kembali perasaan ketika inspirasi datang tanpa mengetuk pintu dan menembus begitu saja dinding, masuk dalam hati tanpa permisi namun kita biarkan.
Menuliskan paragraf-paragraf yang tak runtut dan melompat-lompat ini hanyalah sebuah ketergesaan dan cara paksa untuk membuka diri pada kenestapaan yang dialami di dalam hati terhadap diri sendiri.

Saya harus mengakui bahwa saya merindukan kembali ke saat itu. Saat saya lebih banyak punya waktu untuk membaca dan merenung. Saat saya tak takut untuk mengingat kesalahan karena kesalahan itu tak terlampau tragic untuk di ingat dan disesali. saya menghendaki ada lagi saat dimana saya lebih bisa menyempatkan diri untuk melakukan hal yang benar daripada salah. Saat nurani terasa lebih bersih melakukan sesuatu tanpa hendak mengalami pengakuan.

Ya, saya harus mengakui lagi... walaupun tersembunyi.. kebanggaan adalah musuh yang melemparkan saya jauh kedalam ketidak ikhlasan berbuat. 
Sesuatu yang saya sesali tapi terus menerus saya khianati.

Ini memang hanya semacam rindu untuk kembali pada kebenaran. Kepada pengalaman nurani yang pernah berarti dan dimiliki semua manusia. hanya saja saya menginginkannya dalam bentuk yang sedikit lebih baru. Tentu saja saya sadar tak ada yang berubah di bawah langit dan diatas bumi manusia sejak dulu. yang terjadi hanyalah variasi-variasi.  


Maka itu bila perjalanan adalah cara untuk mengalami perjalanan. Menuliskan ini mungkin cara untuk bicara kembali pada nurani yang menolak mendengarkan, yang masih menutup rapat pintu. 


Wahai hati sudah cukup lama kau tertutup. 
Bukalah kembali... 
saya juga ingin benar kembali. 
Antar diriku kembali pada suaramu yang mengalir melalui jariku... 
tulisan ini hanyalah sebuah surat 
surat beralamat rindu padamu !

*maafkan saya.. 
tulisan ini memang lebih untuk saya baca sendiri

Burhan / @tero2_boshu
Batavia Cafe | Jakarta tua 11 Februari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar