Catatan Anak Wandan atas Buku Marjolein Van Pagee: Genosida Banda
people of Banda circa 1540, as depicted in Codex Casanatense
Perkenalkan, asal saya dari Banda, Maluku.
Banda Neira?
iya dan tidak..
maksudnya?
Nama kampung saya Banda Eli,
di Kepulauan Kei.
Bukan Banda Neira?
(asal kami) dari Banda Neira, tapi di Kei.
maksudnya?
Setiap kali orang Wandan, memperkenalkan diri sebagai warga asli kepulauan Banda, percakapan semacam ini sering terjadi. Pertanyaan, bahkan kernyit di dahi seakan sudah jadi respon galib seketika kata Wandan disandingkan dengan Banda. Sebabnya sederhana, publik umumnya memang tak mengenal apa itu Wandan. Publik tak paham soalan yang menyebabkan orang Wandan memperkenalkan diri sebagai banda "asli". Sebagian publik tak mengerti, bahwa Banda yang mereka kenal kami ingat sebagai Wandan, di dalam hati.
Memperkenalkan identitas sebagai orang Wandan memang tidak pernah mudah. Perang atas nama Pala di awal abad 17 telah mengaburkan asal-usul orang Wandan dalam arus utama sejarah tentang Banda. Kebiadaban VOC telah secara sistematis merampok identitas spasial orang Wandan sebagai penduduk kepulauan Banda. Ribuan orang Wandan tewas, diasingkan, dirampok ruang hidupnya, dan harus hijrah meninggalkan Banda. Genosida yang dilakukan VOC dalam sekejap seakan merubah Banda menjadi ruang kosong, tidak hanya dari orang Wandan, tapi juga dari narasi tentang diaspora orang Wandan yang melawan dan bertahan dari kebiadaban VOC. Akibatnya setiap kali sesi perkenalan menyentuh topik asal-usul, orang wandan harus menjelaskan diri sendiri lebih panjang dan lebih lebar dari biasanya.
Orang Wandan mesti menghimpun pengetahuan tentang sengkarut jejaring sejarah, geopolitik, dan ketamakan era kolonial untuk menjelaskan mengapa leluhur kami terusir dari Banda. Kami harus bergumul dengan memori kolektif yang tercabik-cabik setiap kali publik bertanya tentang bagaimana leluhur kami bermigrasi ke kepulauan Kei.
Merunut kembali jejaring sejarah yang kompleks itu tidak selalu menyenangkan. Proses hijrah yang panjang, episodik, dan berada di bawah ancaman VOC telah membuat memori orang Wandan terhampar dalam berbagai keping ingatan kelompok. Sejarah dan identitas kami menjadi terlampau kompleks dan terkait dengan begitu banyak penduduk pulau-pulau kecil di sepanjang Seram Timur dan punggungan busur banda (Banda Arch). Menceritakan kembali itu semua secara koheren tidak sebentar, tak mudah, terutama bagi orang awam dari luar Maluku.
Maka itu seringkali kami, atau lebih tepatnya saya, segan berpanjang-panjang memperkenalkan diri sebagai orang Wandan. Di masa lampau, saya umumnya tak membantah ketika kawan atau kolega memberi saya label yang sangat generik. Saya jarang keberatan ketika seorang teman merujuk pada Maluku, Kei, ataupun Banda sebagai identias dan letak asal-usul saya. Ini tokh tidak sepenuhnya salah, walaupun tidak juga seutuhnya benar.
Hari ini, saya berjanji untuk berhenti dari rasa malas menjelaskan identitas dan asal-usul itu. Saya tak ingin lagi dikenal dengan identitas generik. Mulai sekarang dan lain kali, saya akan lebih lugas memperkenalkan diri saya sebagai orang Wandan, sebagai Wandansio.