Soe Hok Gie (*catatan seorang penonton demonstrasi)

 


Sekarang aku berpikir, sampai dimana seseorang masih tetap wajar, walau ia sendiri tidak mendapatkan apa-apa. Seseorang mau berkorban buat sesuatu, katakanlah ide-ide, agama, politik atau pacarnya tapi dapatkah seseorang berkorban tidak untuk apa-apa. Aku sekarang sedang terlibat dalam pemikiran ini sangat pesimis dan hope for nothing -
(Soe Hok Gie)

Berkorban tidak untuk apa-apa. Frase ini benar-benar sempat membingungkan buat saya. Begitu membingungkannya hinga hampir saja saya menabrak kios jajanan yang ada dipinggir jalan akibat memikirkannya.


Berkorban sebagai perbuatan menurut saya, adalah hasil interaksi pikiran, keinginan dengan syaraf-syaraf otak yang kemudian diteruskan pada syaraf motorik secara riil dalam konteks fisik. Namun lebih dari itu berkorban (selanjutnya disebut perbuatan atau berbuat sesuatu) tidak hanya sekedar sebuah konsep fisik. Karena terkadang yang namanya perbuatan juga adalah sebuah konsep yang abstrak. Bila yang namanya ide pun kita kalkulasi sebagai perbuatan. Bagi saya, entah apakah ini salah atau tidak. Yang namanya perbuatan adalah determinasi dari sikap seseorang, sedangkan sikap itu sendiri adalah perbuatan akal yang ada karena proses berpikir. Disinilah segala sesuatu berasal dan kemudian eksis. Sebagaimana apa yang dinyatakan oleh Descartes “ Corgito Ergo Sum “.


 Apa yang disampaikan oleh Gie menjadi mustahil bagi saya karena perbuatan yang awalnya ada dalam korteks pikiran itu tak bisa dielakan akan selalu berinteraksi dengan nilai dan ide. Seseorang melakukan tindakan karena keberadaan nilai dan ide itu. Katakanlah orang dapat berbuat tidak untuk agama, politik, pacarnya juga idiologi atau mungkin untuk keuntungan ekonomi. Tapi dapatkah seseorang berbuat tidak untuk ide ? saya rasa pasti tidak. Karena bahkan ikhlas dan tulusatau hope of nothing itu sendiri adalah “ ide “ . Lebih dari itu bukankah tindakan manusia tidak dapat lepas dari nilai-nilai. Bila tidak untuk agama, atau ekonomi seseorang pasti berbuat untuk idiologi, sedangkan bila tidak untuk kepercayaannya seseorang sangat mungkin berkorban untuk yang namanya pacar atau cinta. Singkatnya tanpa nilai tak ada yang namanya tindakan.

tentu saja lepas dari segala alasan dan pembenaran, yang namanya tindakan dan pengorbanan " dengan dasar seideal apapun " memangn dapat dibungkus dengan nilai yang sebenarnya hanya hipokritas. Gie kemudian saya sadari sebenarnya tidak ingin mempertanyakan pikiran diatas secara absolut. Seorang Gie hanya ingin mempertanyakan kejujuran perbuatan dan dasar bertindak kita semua atas hal-hal yang kita “ perjuangkan “ dan konteks kalimat itu memang tentu saja lintas waktu, karena yang namanya kemunafikan memang bagian dari sejarah manusia.


Pikiran dan kata-kata gie diatas sangat mungkin adalah hanya bentuk kekecawaannya terhadap perjuangan dan pergerakan yang dilakukan, didalaminya, juga disaksikannya. Sebagaimana suatu saat yang lain dia juga pernah berucap “ Sebagian dari pemimpin-pemimpin KAMI adalah maling juga, mereka korupsi, mereka berebut kursi, ribut-ribut pesan mobil dan tukang kecap pula.


Perjuangan dan pergerakan sebagaimana sejarah itu sendiri, memang adalah ulangan, namun pada ulangan-ulangan itulah seringkali sebuah perjuangan tidak lagi menjadi perjuangan melainkan hanya kemunafikan, bahkan lelucon. Sebagaimana kata Marx , akhirnya pada ending, perjuangan hanya melahirkan maling. Mereka yang memberangus maling-maling tua dengan segera kemudian menjadi maling baru. Bagaimana hal ini bisa terjadi ?


Pada awal perjuangan semua orang digerakan melakukan sesuatu untuk nilai-nilai yang dipercayai, idiologi, agama, kemanusian, keadilan bla… bla…. bla…. bla, hanya saja masalahnya, semua nilai itu sangat ideal bahkan terkadang sangat utopis hingga sulit dilakukan dalam waktu yang singkat dan konsistensi kemudian menjadi sebuah masalah baru ditengah begitu banyak godaan dalam pergerakan. Polarisasi gerakan juga memecahkan kolektifitas perjuangan atas cita-cita dasar yang pada awalnya dianggap sama oleh banyak kelompok dan membuat bargaining perjuangan akhirnya menjadi pecah dan rapuh. Selain itu munculnya tokoh-tokoh dalam pergerakan membuat perjuangan kehilangan pegangan nilai kolektifitasnya. Pergerakan dan perjuangan dengan sendirinya menjadi identik dengan tokoh ini dan tokoh itu sehingga konsep perjuangan dan kepentingan menjadi tidak jelas.


Seringkali bahkan pergerakan dan perjuangan ide tidak hanya menjadi alat kepentingan (baca; tunggangan) tokoh pergerakan saja, namun lebih dari itu juga menjadi instrumen politik dan ekonomi kepentingan orang lain (dengan tidak sadar ataupun melalui persundalan kesadaran). Pergerakan dan perjuangan kemudian hanya menjadi ajang tunggang menunggang, saling cibir, sebelum akhirnya saling jungkal-menjungkal. Perjuanganpun akhirnya harus mati muda, layaknya bunga yang terinjak tapak demonstran pada taman rumah seorang koruptor. Pemandangan yang sangat memiriskan hati, bahkan pada orang-orang yang hanya menjadi penonton dalam perjuangan dan pergerakan dalam replikasi idenya yang paling fisik seperti demonstrasi.


Hari-hari ini kita memang, sedang menyaksikan ulangan sejarah ketika uang dan materi yang pada awalnya adalah supporting instrument bagi pergerakan dan perjuangan kemudian mengambil tempat ide dan nilai-nilai perjuangan para pejuang-pejuang muda kita. Betapa polarisasi tokoh yang mau tak mau harus terjadi dalam perjuangan kolektif pada akhirnya menghancurkan nilai, ide, tujuan aktifitas pergerakan dan perjuangan bahkan kolektifitas itu sendiri. Sesuatu yang membuat kita tertunduk malu pada kata-kata gie bahwa “Kita, generasi kita ditugaskan untuk memberantas generasi-generasi tua yang mengacau. Generasi kita yang menjadi hakim atas mereka yang dituduh koruptor-koruptor tua. Kitalah yang dijadikan generasi yang akan memakmurkan indonesia !! “


Sesuatu yang membuat kita bertanya, lalu apa jadinya masa depan
bila sejarah kemudian hanya melahirkan lelucon-lelucon yang sarkas ?


Tentu saja kita tidak sedang dengan sangat utopis dan munafik bermimpi bahwa yang namanya sokongan-sokongan kebutuhan hidup seperti uang bahkan juga popularitas harus dinafikan oleh semua orang yang menghambakan dirinya pada jalan perjuangan sementara kita sendiri sedang dengan sangat giat berkubang dalam pencarian materi dan ikut bermimpi untuk populer. Ya,…karena manusia tetaplah manusia yang pokok hidupnya sebenarnya berputar pada urusan-urusan kebutuhan atas segala macam hal.


Karena kebutuhan itulah maka manusia (sebaiknya dibaca: para tokoh pergerakan) melakukan sesuatu, belajar, menganalisa, bernegosiasi, memaki, mencuri bahkan membunuh dan makan teman sendiri. Dan karena itulah juga sekian penegasan lain akan hadir dibelakang membela kebingungan atas frase “ melakukan sesuatu tidak untuk apa-apa ” itu.


Memiliki kepentingan dalam perbuatan sebagaimana telah ditegaskan diatas adalah sesuatu yang sangat lumrah dan manusiawi sehingga sebenarnya hal itu tak perlu menjadi kebingungan atau persoalan bila kita mau secara jujur mengakui dan mengkomunikasikannya secara adil terhadap kesadaran kita untuk berbuat sesuatu, tentu saja dengan tetap berpegang pada PRINSIP dan KOMITMEN dengan huruf KAPITAL. 

Dengan begitu melakukan sesuatu untuk sesuatu menjadi tidak mengapa, asalkan ketika kita melakukan sesuatu untuk agama kita juga melakukannya untuk cinta sehingga tak perlu ada terorisme. Ketika kita melakukan sesuatu untuk ekonomi kita mendasarinya untuk agama sehingga kita tidak korupsi, ketika melakukan sesuatu untuk kebebasan dan demokrasi kita melakukannya dengan tanggung jawab sehingga tak ada anarkisme atau democrazy dan ketika melakukan sesuatu untuk perjuangan dan perubahan kita tidak cuma menuntut namun juga memberi solusi sehingga upaya kita tidak cuma NATO .

Hal ini harus ditegaskan, karena hanya dengan beginilah kita bisa berharap pada segelintir pejuang-pejuang muda yang sampai hari ini masih bertahan dan siap berkorban untuk idealisme dan nilai-nilai yang dipercayainya. Kita tentu saja berharap para pejuang-pejuang muda kita tidak terlalu cenderung menjadi manusia-manusia muda yang seringkali terlalu cepat mengambil kesimpulan, menyumpah, mencibir, melecehkan, serta terpengaruh dengan begitu banyak godaan perjuangan. Kita bermimpi suatu saat kata-kata Marx diatas tidak perlu terus berulang sehingga dia akan menertawakan kita dengan leluconnya yang sebenarnya sama sekali tidak lucu melainkan satir.


Akhirnya bagaimana masa depan memang tidak dapat kita pastikan !!!


Seseorang pernah berkata “ all of us whether guilty or not, whether old or young must accept the past, anyone who close his eyes to the past is blind to the present “ . Agaknya kita hanya perlu menatap kebelakang sebentar untuk berjalan kedepan dan belajar untuk tidak jatuh pada lubang yang sama untuk kesekian yang lebih dari dua kali.


Pada akhirnya memang sejarah yang akan memutuskan bagaimana seseorang diingat ketika dia melakukan sesuatu, mengungkapkan segala motivasi, keinginan dan niat-niat yang belum terjangkau sehingga mungkin disesali oleh para pelaku perbuatan. Sejarahlah yang akan mengajarkan bagaimana seseorang bisa merubah sikap lakunya menjadi seseorang yang benar-benar lain dari pada tampaknya yang awal.


“ Bagaimanapun sejarah akan mencatat,

biarkan saja dia mengalir melewati jalannya “

Saya hanya ingin kita secara jujur mengungkapkan motivasi terdalam ketika kita melakukan sesuatu, karena bahkan pada akhir seorang gie juga berkata “ I am not utopis anymore, I am bitter realistic “ dan saya teringat bahkan saya, belum pernah menjadi demonstran. Selanjutnya, biarkan saja mereka yang telah mati muda dalam perjuangan, baik secara fisik maupun ide meninggalkan kita dengan pesan dan kenang masing-masing. Biarkan mereka, karena kita masih ingin tetap menjadi mentari yang selalu setia menyinari untuk melihat mekarnya bunga.


Pada akhir ini ijinkan saya merubah sedikit kata-kata gie .


Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan,
Tetapi dibentuk seiring kelahiran
Yang tersial adalah harapan yang tak kunjung kenyataan
Rasa-rasanya memang begitu
Bahagialah mereka yang tak patah ditengah jalan.


- Wa’llahu Alam -


Minggu, Muh Burhanudin B

Tidak ada komentar:

Posting Komentar