Banda: Ironi dan Harapan.

BANDA: IRONI DAN HARAPAN

(Resensi Pendek Film Banda, The Dark Forgotten Trail)





Banda adalah sebuah ironi. Bertahun lalu, kalimat pendek itu ialah kesimpulan segera setelah membaca Banda karya Willard A Hanna. Malam kemarin, menyaksikan Banda the dark forgotten trail saya merasakan kegetiran serupa. 

Banda memang adalah semacam ironi. Kepulauan Banda, Gugusan kepulauan penghasil pala yang ratusan tahun lalu menggerakan petualang bangsa-bangsa itu kini hanyalah sebuah pojokan sepi di teater sejarah. Hari-hari dimana Rempah-rempah, utamanya Pala, dan Banda mempengaruhi sejarah dan ekspedisi bangsa-bangsa telah ditakdirkan selesai sejak Inggris membawa Pala dan menanamnya di belahan bumi berbeda. Nyatanya episode kegemilangan Banda itupun adalah sebenarnya ironi, betapa tidak kegemilangan Banda pada periode petualangan samudera itu dibayar dengan harga yang sangat mahal oleh penduduk pribumi dan bangsa-bangsa sepanjang Nusantara.


Dalam narasi sejarah bangsa kita sendiri, Banda adalah jua pojokan yang sepi. Banda tak banyak disebut lagi dalam narasi Indonesia setelah Hatta, Sjahrir dan banyak tokoh bangsa ini meninggalkan pengasingan mereka di kepulauan itu. Pulau-pulau vulkanis itu seperti pudar dari memori bangsa Indonesia. Banda hanya kita ingat sekali-kali sebagai sebuah nama tempat dalam sejarah. Sebuah nostalgia, seakan-akan di hari ini dan di masa depan Banda tak ada, selain pada hanya ingatan kita.

Kita tahu ini tidak benar. 

Di luar lampu terang sejarah, Banda tetap semarak dengan cerita kehidupan berbagai rupa budaya dan perjuangan manusia. Hidup terus berlangsung di sana dengan syahdu dan sederhana. Saking sederhananya, hingga galib bila ada diantara kita yang bertanya apa pentingnya membahas dan menceritakan Banda di luar narasi-narasi kegemilangan dan kekejaman yang menyertainya.

Tim produksi Banda the dark forgotten trail sepertinya memiliki jawaban terhadap pertanyaan semacam ini. Bagi mereka menghadirkan Banda sebagai sebuah Ironi sejarah dan perjuangan manusia adalah sekaligus menyampaikan pesan tentang harapan. Seperti menitipkan setitik kejengkelan pada setiap yang menonton bahwa bangsa besar ini harus belajar dari sejarah dan lalu melakukan sesuatu, utamanya kepada Banda. Gugusan kepulauan kecil itu, seperti jua banyak tempat terpencil di negeri, layak memiliki harapan. Mengutip Sheila Timothy, Produser film Banda, “ Banda tidak hanya tentang Ironi namun (semestinya) juga harapan”.

Hari-hari ini, Banda memang bertarung dalam semacam sebuah dilemma antara keinginan glorifikasi masa lalu (betapapun kelam) dan kehendak untuk kembali menjadi penting dan berarti di generasi masa kini, di mata dunia, di mata Indonesia. Itu kenapa gampang dimengerti kenapa Banda, film yang berdurasi satu setengah jam lebih ini fokus pada ironi dan asa yang menyertai jejak perjalanan Kepulauan Banda dari waktu demi waktu.

Secara strukur, Dokumenter Banda the dark forgotten trail dapat dibagi kedalam tiga fase yakni fase petualangan samudera dan monopoli rempah-rempah hingga peristiwa genosida, fase pengasingan para founding fathers Indonesia, dan fase ketiga yang bercerita tentang kondisi Banda hari ini. 

Pada setiap fase, Banda diceritakan dengan narasi yang dramatik dan menggugah. Soundtrack dan tata gambar yang sangat artistik membuat film Banda besutan Jay Subiakto ini tidak seperti film dokumenter yang biasa kita saksikan. Secara artistik dan cerita, Banda ialah pertunjukan yang apik. Landscape Banda yang unik, gunung api yang majestik dan detail-detail gambar warisan kolonial yang terserak sepanjang kepulauan Banda  seperti menari di dalam narasi-narasi pendek dan bunyi jua latar musik yang menghentak dengan semarak. Bagi saya, Oscar Motuloh, Davy Linggar, Ipung Rachmat, Indra Perkasa, Yusuf Patawari, Irfan Ramli dan Jay Subiakto telah berhasil memperkenalkan sebuah kenikmatan menonton dokumenter yang berbeda. Sebuah pertunjukan visual dan bunyi yang fenomenal.


Dari sisi dokumentasi sejarah , film rumah produksi lifelikepictures ini sebenarnya hadir dengan narasi yang umumnya popular di kalangan pembaca sejarah. Narasi-narasi tentang ditukarnya Pulau Rhun dan Niev Amsterdam (hari ini Manhattan) melalui Treaty of Breda atau hikayat lontor, kekejaman Coen pada 1621 dan cerita tentang Sjahrir dan Hatta di masa pembuangan di Banda sebenarnya adalah cerita yang mudah ditemukan dalam banyak artikel dan berita di era digital hari ini dengan sedikit usaha. Pembaca dapat dengan mudah berselancar ke laman situs pencari Google dan mengetik keyword Banda Islands,  "voila" anda akan menemukan dan dapat menikmati banyak cerita popular itu.

Karena itu bagi penyuka sejarah berat, dokumentasi peristiwa yang lebih menarik dari film ini mungkin justru terletak pada sejarah yang tak terlalu lampau tentang Banda. Cerita tentang Banda dalam pusaran konflik sektarian Maluku dan gumaman kekecewaan tentang harga pala yang dikuasai dan diatur kartel sepertinya akan menawarkan pesan yang lebih menggugah. Cerita Pongky, keturunan perkenier Banda dalam film ini misalnya mendorong keingintahuan yang lebih mendalam tentang jejak para perkenier dan pengetahuan mereka tentang metode produksi pala. Kisah Pongky adalah narasi-narasi minor yang belum dapat dibaca di buku atau di tonton di televisi, narasi-narasi yang harus dialami sendiri seseorang dengan melancong ke kepulauan rempah-rempah, Banda.

Tentu saja menyebut narasi sejarah dalam film ini sebagai narasi popular tidak berarti bahwa penonton tidak akan menemukan kejutan-kejutan dan fakta yang menarik dan encouraging tentang kepulauan Banda. Sejak pembukaan, narasi film ini menghamparkan fakta yang walaupun dinarasikan minus kompleksitas tetap saja menggemuruhkan kebanggaan. Narasi-narasi humanis di dalam film ini jua tak bisa tidak akan melahirkan kegetiran atas nostalgia dan perubahan zaman. Harapan yang lekang dan waktu manusia yang  pendek. Cerita tentang klenteng tua di Banda yang hampir roboh atau narasi tentang penggunaan lahan-lahan terbuka hijau tanpa konteks historis misalnya, semestinya akan membuat penonton menjadi “gusar”.

Sekali lagi, film ini mungkin memang tidak ditujukan sebagai sebuah dokumenter sejarah yang berat. Fakta dan tali temali sejarah yang dihamparkan lebih merupakan sebuah perkenalan yang santai. Seperti obrolan sebentar setelah jabatan tangan yang harus diteruskan dengan bercerita sambil menyeruput kopi. Lifelike pictures sepertinya sedang menjalankan misi memperkenalkan kembali sejarah kepada generasi muda hari ini melalui karya dokumenter. Kata kuncinya dengan demikian memang adalah memperluas cakupan penerima pesan dan menyesuaikan pesan film dengan mayoritas audiens, para pemula yang hendak diajak tertarik kepada sejarah. 

Sebab itu, obrolan panjang dan berat tentang silang paut sejarah Nusantara yang bermula dari Banda tak disinggung dengan mendalam. Penonton sepertinya diharapkan untuk men
capai sendiri buah pengetahuan lainnya tentang Banda dengan membaca dan diskusi. Banda 'sebenarnya' seperti jua pada masa lalu, mungkin diharapkan akan menjadi pencarian dan petualangan masing-masing penonton. 

Film Banda karenanya tidak mengelaborasi sebuah periode yang menarik dan penting tentang diaspora warga Banda pasca peristiwa tahun 1621 ke banyak tempat di Nusantara. Banda Eli dan Elat, dua buah kampung di tepian Pulau Kei Besar di mana sebagian warga asli memelihara budaya mereka secara distinctive tak ambil bagian dalam cerita film ini. Bahkan jangankan Banda Eli yang nun jauh di kepulauan Kei, sepotong narasi tentang kampung Bandan di wilayah Jakarta Utara, wilayah yg jelas merekam jejak orang banda di Batavia tak jua disebutkan di dalam Banda. 

Saya tentu tak memahami benar alasan mengapa film ini tak memaparkan fakta-fakta penting dan mendalam lainnya tentang Banda. Namun sejauh yang bisa saya kira, selain kebutuhan khusus menyeimbangkan bobot narasi dengan penerima pesan, tim produksi Banda tentu harus berakrobat dengan keterbatasan durasi, sumber daya dan jua resiko. Mau tak mau, seperti sudah galib, pembuat film ini mesti fokus hanya pada cerita tentang kepulauan Banda dan fase-fase sejarahnya yang pokok supaya dapat memenuhi tujuan-tujuannya secara lebih efektif.

Tidak hadirnya narasi yang lebih utuh tentang diaspora dan atau cerita tentang banda ely dalam film ini tentu patut kita sayangkan, namun demikian penting kiranya untuk menyadari bahwa usaha 
untuk mendokumentasikan dan memperkenalkan kembali sejarah, sebuah tempat seperti Banda (yang demikian kompleks) adalah perkara yang tidak mudah dan barang tentu melelahkan. Bayangkan saja, memampatkan sejarah lebih dari 400 tahun dalam 90 menit visual dan narasi. Karena itu sebagai sebuah karya seni dokumentasi, apresiasi yang tinggi tetap patut dihaturkan terhadap usaha tim produksi Banda untuk memperkenalkan dan mendekatkan lagi memori kita semua terhadap kepulauan Banda. 

Terakhir, kita tentu paham bahwa karya ini, tidak tanpa kekurangan. Karya tentang sejarah bahkan lazim berada pada wilayah perdebatan interpretasi atas sebuah persitiwa. Saya percaya, tim produksi Banda membaca dengan hati-hati berbagai interpretasi sejarah yang ada sebelum menghamparkannya kembali ke hadapan para penikmat Banda. Karena itu, pun bila ada polemik saya berdoa semoga debat yang akan datang adalah debat yang konstruktif yang akan menjadi pintu untuk melahirkan karya-karya yang lain tentang Banda atau sejarah lain nusantara yang seapik atau bahkan lebih baik dari Banda.

Saya merekomendasikan film ini untuk ditonton siapa saja yang hendak merayakan seni dan berdiskusi dengan antusias tentang Indonesia, tentang asal usul dan takdir bangsa ini yang semestinya di antara bangsa-bangsa di dunia. Banda memang harus diingat sebagai pelajaran supaya cerita tentang negeri kaya di khatulistiwa ini tak terus menerus jadi ironi, namun harapan.

Selamat menonton Banda.

CATATAN:


Akhir-akhir ini terjadi polemik terkait kesalahan mengutip pada laman berita sebuah media online yang menyatakan bahwa Film Banda mengisahkan bahwa Genosida di Banda menyebabkan tak ada lagi orang Banda Asli yang tersisa. Kesalahan kutipan ini telah diklarifikasi melalui hak jawab dan telah diperbaiki pada laman berita yang bersangkutan.

Saya pribadi selaku keturunan warga Wandan (Banda) yang hijrah ke kepulauan Kei juga telah meminta klarifikasi secara langsung kepada produser, sutradara dan penulis naskah terkait pernyataan yang menjadi polemik dimaksud. Jawaban sutradara melegakan. Pernyataan itu sama sekali tidak pernah disampaikan oleh tim produksi Banda. Selain itu Produser telah meminta maaf secara langsung pada acara yang disiarkan secara live dihadapan para jurnalis media dan warga yang hadir pada sesi diskusi yang difasilitasi Rappler.com.

Terakhir, saya yang telah menonton film ini secara langsung tak menemukan narasi semacam itu dalam film ini. Sekali lagi, Film ini tak sama sekali menyebutkan bahwa keturunan orang Banda Asli telah punah dari muka bumi. 

3 komentar:

  1. Sangat setuju.... Semoga Banda the dark forgotten trail become the bright Banda

    BalasHapus
  2. Terima kasih atas pernyataan tim produksi film ini karena saya termasuk keturunan asli Banda yg masih hidup dan keluarga kami masih meneruskan tradisi adat d kampung tua lonthoir, sebagai tanda masih ada tersisa anak keturunan penduduk asli Banda pasca kejadian genosida tersebut.
    Saya berharap film "Banda The Dark Forgotten Trail" bisa diputar d kota ambon dan sekitarnya sbg nostalgia kehidupan nenek moyang kami semasa itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. ca Susie Taman terima kasih atas komentarnya. Beta anak wandan, kalo demikian katong masih sodara.

      Hapus