Angka Palungku Par Musik (*Band) di Ambon


 Angka palungku par musik (*band) di Ambon, begitu kata-kata ian, vokalis expo yang tampil pada gelaran Sprite d plong di lapangan merdeka ambon. Lebih dari separuh crowd yang ada didepan panggung lantas mengepalkan tangan kanannya ke udara menerima ajakan itu. Momen itu menurut saya penting dalam pergerakan musik di Ambon.

Ian tidak sedang mengkampanyekan perlawanan terhadap penguasa, juga tidak sedang berusaha menyuarakan pesan separatisme. Ian, sang vokalis panggung terbaik dari band yang telah dianggap sebagai local hero itu, dengan kepalan tangan yang mengacung ke udara sebenarnya sedang membagi harapannya dengan puluhan ribu pengunjung acara sprite d plong di lapangan merdeka. Membagi harapannya untuk kebangkitan musik (*band) di kota ini.


Kalimat diatas mungkin terkesan berlebihan untuk menggambarkan aksi panggung sebuah band lokal yang mungkin tidak terlalu banyak dikenal diluar komunitas musik kota ini. Tapi percayalah bagi banyak anak band di kota Ambon, aksi Ian semalam adalah sebuah tindakan penting. Penting, karena untuk pertama kalinya seorang musisi lokal muda kota ini menyampaikan secara langsung keresahannya tentang kemajuan scene musik band Ambon sembari menghadirkan persoalan menahun yang bernama apresiasi kepada penonton.


 Apresiasi, dukungan ataupun susunan huruf latin yang berarti kurang lebih sama, percaya tidak percaya, sesungguhnya memang menjadi semacam bagian kekecawaan tak tersampaikan dari anak band Ambon kepada crowd acara musik yang menyaksikan penampilan musisi lokal muda kota ini. Seorang anak band dalam blognya (www.hardpapeda.blogspot.com) misalnya dengan menyesal menulis sikap crowd semcam itu sebagai sikap patung yang menjengkelkan dan bahkan menghubungkannya dengan ketiadaan musisi lokal muda kota ini yang berhasil maju tidak melalui jalur cepat ajang pencarian bakat televisi.

Membaca tulisan itu dan menghubungkannya dengan peristiwa semalam, kita mungkin bisa dengan mudah mengerti keunikan dari tindakan Ian yang mengacungkan kepalan tangan ke udara. Kita mungkin langsung bisa memahami tindakannya yang menghimbau tepuk tangan penonton, merubah repertoar dengan musik yang lebih gampang dicerna, meminta berulang kali penonton bernyanyi bersama hingga bahkan memotivasi dan bercerita tentang keberhasilan mereka sebagai satu-satunya band Ambon yang pernah rekaman di musica studio.


Kita bisa langsung memahami sikap Ian sebagai upaya yang jauh dari sikap berusaha sombong melainkan upaya tak kenal lelah untuk memotivasi dan memberi contoh pada crowd bagaimana menghargai musik dan membiarkan musik menguasai ekspressi apreasisi mereka. Baginya dengan begitu, crowd “ mungkin “ akan bisa lebih apresiatif terhadap performa dan eksistensi musisi (*band) lokal muda kota ini.


Ya, ternyata penonton pun perlu dididik untuk bisa mengapresiasi musik yang dimainkan para performer di atas panggung.


Terlepas dari kualitas performer itu sendiri untuk bisa diapresiasi atau tidak oleh penonton, kualitas penonton sendiri tidak bisa disangkal turut menentukan bagaimana mereka mengapresiasi musik yang dimainkan oleh sang performer. Penonton dan musisi yang refrensi musiknya berjarak terlalu jauh bagaimanapun memang akan menemui masalah dalam komunikasi bermusik.


Kita kemudian memang pantas bertanya apakah dengan demikian kualitas penonton di Ambon relatif belum menjangkau kualitas bermusik musisi lokal muda kita. Apakah itu yang menyebabkan penonton  kita cenderung tidak apresiatif terhadap penampilan dan eksistensi musisi lokal muda kota ini ?


Wendi Putranto editor majalah musik terkemuka, Rolling Stone indonesia yang kebetulan menjadi juri malam kemarin menyebut kalau “ dimana saja musisi memang selalu beberapa langkah lebih maju dari penonton dalam hal refrensi bermusik”. Maka itu komunikasi dan kompromi lantas menjadi cara menyeimbangkan kesenjangan antara musisi dan penontonnya. Pertanyaannya adalah apakah kompromi semacam itu tak dilakukan oleh teman-teman band di kota ini. Jawabannya tentu saja tidak.
 Inisiatif Ian dan Expo Band untuk merubah repertoar dan menyanyikan lagu menye2 dgn arransemen yg berbeda misalnya adalah sebuah bentuk kompromi.

Di luar komunikasi panggung yang lemah dan kesenjangan atas referensi musik yang dimainkan performer, pangkal soal sikap patung penonton di Ambon, mungkin juga bisa di alamatkan kepada kurangnya frekuensi event musik, atau bahkan referensi musik dan ketidakhadiran radio lokal atau distribusi majalah musik yang berkualitas. Semua elemen ini penting untuk meningkatkan kualitas apresiasi penonton terhadap pertunjukan musik dan para performer di atas panggung.


Dan kalau itu semua tidak maka mau tidak mau, adalah tugas suci musisi lokal untuk mendidik crowdnya hingga crowd bisa mengapresiasi musik dan memberikan dukungannya.


Kurangnya penghargaan terhadap musisi lokal muda memang bukan persoalan spesial yang terjadi di kota ini saja. Banyak kota lain di Indonesia sebenarnya juga mengalami keresahan yang kurang lebih sama. Menumpuknya pusat kapital industri musik dan kreatifitas di kota-kota besar saja telahtmembuat penghargaan seakan-akan hanya boleh diberikan kepada penampil yang berasal atau memiliki embel-embel label artis dari kota besar saja. Tentu saja ini bukan gejala umum di semua tempat, namun juga bukan kasus yang terisolasi. Lebih parah lagi, pemusatan
 kapital musik itu jua yang pada akhirnya membuat semua anak daerah harus menuju ke kota besar untuk bisa maju dan memperoleh kemegahan.

Namun itu tentu bukan alasan untuk menerima begitu saja keadaan dan membuat kita tetap berada di titik yang sama ketika kita bisa bergerak maju kalau kita mau. Apa yang Ian himbau dan disampaikannya melalui simbol angka palungku itu sebenarnya berasal dari keresahan seperti serupa. Keresahan sederhana seorang musisi lokal muda yang mewakili banyak musisi lokal muda lain kota ini yang bersemangat, ingin maju dan tak mau padam menyerah.


Pertanyaannya, sudah siapkah kita bergoyang.


Palungku (*kepalan tangan red) untuk kebangkitan musik lokal (*band) kota ini jelas adalah simbol agar musisi lokal dan masyarakat kota ini bisa saling mendukung. Itu saja caranya untuk maju. Lain tidak.

Angka palungku par musik (*band) di Ambon. Bergerak , Maju !

1 komentar:

  1. IZIN SHARE GAN?

    MAU X KARAOKE 8 PRO 2015 KUNJUNGI LINK DIBAWAH INI :

    http://comelmuewa.blogspot.com/2015/09/x-karaoke-8-pro-terbaru-2015.html


    IZIN SHARE GAN?

    MAU DZONE EXTREME KARAOKE 8 PRO 2015 KUNJUNGI LINK DIBAWAH INI :

    http://comelmuewa.blogspot.com/2015/09/dzone-xtreme-8-pro-with-serial-number.html

    BalasHapus