Ambon, kemiskinan, dan hal-hal yang belum selesai !

source: globalnews.id


Tahun 2007, Chen dan Ravalion, keduanya akademisi Bank dunia, melaporkan bahwa angka kemiskinan absolut global telah turun secara drastis, terutama di Asia. Dunia, menurut keduanya akan segera menyaksikan berkurangnya separuh angka kemiskinan global. Nubuat itu 'terbukti'. Tahun 2010, salah satu dari target pertama Millennium Development Goals tercapai (World Bank 2013).

Sayangnya, kesimpulan turunnya angka kemiskinan global itu tak benar-benar disambut penuh gegap gempita. Sebagian cendekiawan meragukan klaim dan laporan Bank Dunia itu. Sanjay Reddy dan Camelia Minou (2007) misalnya menyebut kesimpulan turunnya angka kemiskinan global itu sebagai ‘tak konklusif’. Pangkal soalnya, data angka kemiskinan di India dan China, penyumbang terbesar turunnya angka kemiskinan global, tak dianggap reliable. Cendekiawan lain tak kalah keras bersuara. Sebagian secara khusus menyoroti  standar $1 per hari yang mereka anggap tak mewakili konsumsi minimal warga dunia, bahkan pada negara-negara paling miskin sekalipun. Kemiskinan, menurut cendekiawan-cendekiawan ini, boleh jadi tak sama sekali berkurang bila standar pengeluaran $2 per hari digunakan sebagai standard perhitungan.

Dengan nuansa yang agak berbeda, cendikiawan dan praktisi pengusung perspektif multidimensional jua ikut meragukan laporan Bank Dunia di atas. Bagi mereka, analisis kemiskinan yang menggunakan pendekatan moneter sebagai semata-mata standar itu bahkan keliru secara fundamental. Golongan ini haqul yaqin kalau kemiskinan ialah perkara multi kompleks. Perkara yang tak semata hanya soal pendapatan. Amartya sen, sang pengusung utama perspektif multidimensional itu misalnya, tegas berseru bahwa sumber daya untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhan manusia pada dasarnya relative, terutama ketika kesejahteraan bertumpu pada tujuan hakikinya yakni kebahagiaan. Kebahagiaan, bagi Sen dan mungkin bagi banyak diantara kita, tak selalu terbeli dengan uang. Maka itu, tugas pengentasan kemiskinan bukanlah semata meningkatkan pendapatan melainkan meningkatkan kemampuan manusia untuk menjalani hidup secara lebih bermakna (Sen 1999).

Berkaca pada keraguan yang melingkupi klaim turunnya angka kemiskinan global ini, kita mengerti bahwa mendefinisikan dan menghitung keberhasilan pengentasan kemiskinan bukanlah perkara sederhana. Kompleksitas persoalan dan dimensi politik yang melingkupi kemiskinan acap kali membuat uraiannya menjadi tak terang, kontradiktif dan tak konklusif. Luderchi (2003) dan sejawatnya tegas menyebut kondisi ini sebagai ironi. Ironi ditengah kebijakan pembangunan yang hari ini berarus utama pengentasan kemiskinan.

Untungnya, betapapun ironis, keruwetan mendefisnikan kemiskinan tak selamanya merugikan. Setidaknya, keruwetan ini mendorong konsumen data untuk lebih mawas diri dalam membaca data kemiskinan dan atau keberhasilan pengentasan kemiskinan. Kita semua karenanya  patut mempertanyakan asumsi dan pendekatan dari data yang dilansir badan pemerintah dan atau organisasi-organisasi yang mengadvokasi orang miskin. Bahkan tidak hanya itu, keruwetan ini jua menghendaki kita untuk  menerjemahkan persentasi dan grafik ke dalam bahasa awam. Dengan begitu, kita lebih mudah melihat potensi dan tantangan pengentasan kemiskinan pada suatu daerah.  

Saya menulis artikel ini di atas fondasi kesadaran semacam itu.

Beberapa saat lalu, Walikota Ambon mengumumkan data BPS mengenai turunnya angka kemiskinan di kota Ambon. Menurut laporan ini, dari semula 6.83 persen jumlah orang miskin di kota Ambon telahbberkurang menjadi 4.42 persen. Penurunan sebesar 2,41 persen ini ialah reduksi konsisten yang melanjutkan trend turunnya angka kemiskinan di Kota Ambon sejak tahun 2011. 
Pada kesempatan yang sama, Walikota juga melaporkan bahwa indeks pebangunan Manusia (IPM) di Ambon masih yang terbaik di Maluku. Dengan persentasi sebesar 79.58 persen, Kota Ambon melampaui semua kabupaten/ Kota lainnya di Maluku dan tercatat sebagai terbaik ke 7 secara nasional. Pendek kata, berdasarkan standar pendapatan, konsumsi ataupun standar kemiskinan lainnya yang relative lebih kompleks, kondisi kota Ambon semakin membaik.

Secara statistic angka 4 persen kemiskinan itu memang relative sangat rendah. Angka ini menunjukan bahwa ‘hanya’ terdapat 16.900 warga dari 400.000an warga kota Ambon yang hari ini hidup dengan kategori sangat miskin. Kita, akan tetapi, hendaknya tak lupa bahwa angka ini ditentukan oleh asumsi dan standar garis kemiskinan yang digunakan. Tahun 2012, standar pengeluaran minimal yang digunakan sebagai batas garis kemiskinan kota Ambon hanya lebih sedikit dari 360 ribu rupiah. Angka yang relative kecil ini tak jauh berbeda dengan standar konsumsi minimal beberapa kabupaten kota lain di Maluku.

Kesimpulan yang berbeda atas data kemiskinan yang baru saja dirilis tentu akan kita temui bila asumsi standar kemiskinan kita berbeda. Sebuah studi di Amerika latin oleh Szekely dan sejawat mengkonfirmasi kecendrungan ini. Skezely et.al (2003) menunjukan bahwa persentasi kemiskinan antar negara dapat berbeda pada kisaran 13 hingga 66 persen bila asumsi berbeda digunakan untuk sebuah objek kemiskinan yang serupa. Ambon jua tak luput dari kondisi semacam ini. Kalkulasi Badan pemberdayaan masyarakat (BPM) kota Ambon, misalnya, mencatat prevelansi jumlah warga miskin yang lebih tinggi dari rata-rata data BPS. Sebagai perbandingan, jumlah warga miskin tercatat di tahun 2013 menurut BPM Kota ialah sebanyak 43.888 jiwa atau sebanyak 10.441 keluarga. Jumlah ini dua kali lipat lebih besar dari rilis angka kemiskinan BPS di tahun yang sama.

Tanpa perbedaan indikatorpun, kemungkinan lebih besarnya prevelansi warga miskin di kota ini dapat ditelisik dari standar garis kemiskinan yang digunakan. Sebabnya sederhana, standar konsumsi yang mengacu pada pendekatan kebutuhan dasar itu sangat potensial tak melingkupi kebutuhan konsumsi warga yang mendiami kawasan urban. Tak cuma itu, telisik lebih jauh terhadap standar pengeluaran yang demikian rendah vis a vis pola konsumsi rata-rata masyarakat urban mungkin juga mengungkap persentase ketimpangan kesejahteraan yang relative tinggi di Ambon. Bagaimana tidak, biaya hidup yang dinisbatkan sebagai standar garis kemiskinan itu kurang lebih setara dengan agregat konsumsi hiburan kelas menengah kota ini.

Keresahan kita terhadap sejumlah kepala keluarga miskin di kota ini mestinya memang tak cuman soal ketimpangan atau bahkan tentang nilai standar garis kemiskinan yang berada dibawah standar $2 per hari, standar yang hari ini dianggap lebih mewakili kebutuhan konsumsi warga. Keresahan yang lebih penting mestinya, terletak pada fakta bahwa angka 89.29 persen potensi kesempatan kerja di kota ini, sebagaimana rilis BPS, ternyata tak selalu berbanding lurus dengan  pendapatan dan kemampuan konsumsi warga. Jumlah 16.900 warga miskin ini mestinya membuat kita tak lekas bertepuk tangan. Seharusnya angka ini menyadarkan kita bahwa asumsi mengenai mudahnya mencari uang di Ambon boleh jadi tak selamanya benar.

Sebagian pihak tentu boleh mengemukakan telaah tentang kemiskinan dan konsumsi yang bukan hanya soal pendapatan untuk menjawab kritisi diatas. Nyatanya memang demikian. Di banyak tempat dan keadaan, akses terhadap sumber dayalah yang menentukan seseorang benar-benar miskin atau tidak. Keluarga dan individu yang memiliki kebun dan kolam di belakang rumah misalnya tak perlu menghabiskan 12 ribu rupiah sehari untuk belanja. Warga berpendapatan minim yang tinggal bersama keluarga dekat jua bisa berbagi beban konsumsi. Alam dan keluarga nyatanya seringkali memberikan akses terhadap sumber daya di tengah kekurangan pendapatan. Maka itu, kemiskinan sebagian orang seringkali berasal dari kelalain pemerhati kemiskinan untuk mengkuantifikasi apa yang dimiliki oleh keluarga-keluarga yang berkebun dan atau saling membantu itu.

Sayangnya, prevelansi kemiskinan di Ambon mungkin sama sekali tak berasal dari kegagalan mengkuantifikasi aspek-aspek sumber daya yang dimiliki warga. Status ambon sebagai kota membuat kemiskinan lebih mungkin berpangkal pada ketidakmampuan mengakses pekerjaan yang memungkinkan terpenuhinya kebutuhan dasar warganya. Lacurnya, data 4,42 persen warga miskin yang baru dirilis BPS tak mengungkapkan kedalamam level kemiskinan antar hampir 17.000an warga miskin di kota ini. Kita, dengan demikian, tak benar-benar tahu berapa pendapatan terendah warga miskin kota ini dan seberapa lebar perbedaan antara si kaya dan si miskin dan atau antara si  miskin dan si setengah miskin yang potensial jatuh dalam kemiskinan. Kita jua tak tahu benar berapa agregat rata-rata sumber daya yang dibutuhkan untuk mengentaskan kemiskinan berdasarkan konsumsi. Singkatnya, selain kegembiraan temporal “turunnya” perentase warga miskin, angka –angka itu tak benar-benar membantu kebijakan lanjutan pengentasan kemiskinan.

Khalayak seharusnya memang tak diajak untuk lekas bertepuk tangan. Sebaliknya, mungkin penting untuk mengajak warga dan pembuat kebijakan ingat bahwa tantangan mengentaskan kemiskinan di kota ini tak menjadi lebih mudah, berapapun angka penurunan kemiskinan yang baru dirilis. Status Ambon sebagai kota dengan mayoritas penduduk mendiami kawasan urban, misalnya, harus disadari membuat Ambon rentan terhadap terciptanya kemiskinan khas perkotaan dengan segala kompleksitasnya. Urbanisasi, akan meningkatkan angka penggangguran dan menciptakan warga miskin baru secara eksponensial. Selain itu, dinamika harga jua rentan membuat warga dengan pendapatan pas-pasan jatuh pada kemiskinan temporal. Di Ambon, karenanya, angka kemiskinan jangka pendek lebih mungkin naik tajam dibandingkan kabupaten kota lainnya, ketika ekonomi bergerak ke arah yang tak menguntungkan.

Preksprisi kebijakan pengentasan kemiskinan dengan demikian menjadi lebih kompleks, bagi Ambon. Sekedar meningkatkan pertumbuhan ekonomi menjadi tak cukup memadai sebagai solusi. Pada derajat tertentu, bahkan, kualitas pertumbuhan ekonomi yang tak berimplikasi pemerataan, seperti yang hari ini disaksikan di banyak kota besar Indonesia (koefisien gini nasional meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir.red) harus dihindari. Lebarnya jurang pendapatan, marginalisasi akses-akses publik dan kecemburuan sosial adalah adonan yang harus dihindari kota yang belum sembuh benar dari konflik antar warga ini.

Bahwa pertumbuhan ekonomi yang timpang mesti dihindari jelas tak berarti bahwa pertumbuhan ekonomi tak penting bagi Ambon. Kota ini juga butuh geliat ekonomi untuk mendorong perbaikan pendapatan dan konsumsi warganya. Hanya saja, penting kiranya untuk mengupayakan pertumbuhan itu dalam kerangka kebijakan yang lebih berpihak pada warga miskin namun tetap berimplikasi pertumbuhan. The pro-poor-pro-growth policies, demikian cendekiawan-cendikiawan asing menyebutnya. Kita, warga kota ini, jua mengenal kerangka semacam itu. Tokh, sudah sejak lama, kota ini mendambakan warga yang manggurebe maju sama-sama.

Dalam kerangka berpikir ini, adalah penting untuk mentransformasi dan memperkuat sumber-sumber utama penyumbang pertumbuhan ekonomi Ambon. Konsumsi pemerintah yang bertahun-tahun menggerakan sektor jasa, sektor penyumbang terbesar pertumbuhan di Ambon itu, semestinya tak terus menjadi semata-mata andalan. Sektor jasa mesti digerakan juga oleh konsumsi yang berimplikasi produksi barang dan jasa, jua pekerjaan. Investasi mestinya ialah pilihan yang ideal. Bilapun tidak, maka alokasi sumber daya pemerintah harus turut didorong untuk menyiapkan struktur ekonomi yang lebih produktif tersebut. Bagi Ambon, sebenarnya terbuka peluang untuk menggerakan sektor parawisata dan seni kreatif sebagai lokomotif pertumbuhan yang mendorong sektor lainnya. Yang diperlukan ialah kesediaan pemerintah untuk konsisten berinvestasi dalam pemberdayaan masyarakat seraya membenahi regulatory setting dan bangunan institusional yang menghambat investasi. Hanya dengan konsistensi kebijakan pemerintah lapangan-lapangan kerja baru disektor produksi non-formal dapat menopang pertumbuhan ekonomi.

Bagi pengentasan kemiskinan di Ambon konsistensi pemerintah ini penting mengingat dua alasan. Pertama agar buah pertumbuhan ekonomi tidak melulu dinikmati warga kota yang secara ekonomi terhubung langsung dengan belanja pemerintah (pegawai.red), dan yang kedua, dan ini tak kalah penting, ialah agar pertumbuhan ekonomi juga berimplikasi perubahan paradigma dalam memandang pekerjaan. Sektor non formal harus bisa diletakan sebagai sumber pendapatan yang tak lagi dianggap sebelah mata.

Kemiskinan di Ambon, nyatanya, memang berhubungan dengan ketidakpercayaan sebagian besar pencari kerja, utamanya warga dengan pendidikan relative tinggi, terhadap sector informal produktif. Data mengindikasikan bahwa kemiskinan di ambon relative kecil hubungannya dengan rendahnya tingkat pendidikan. Rilis BPS tahun 2014 misalnya menunjukan bahwa angka pengangguran terbuka tertinggi diwakili oleh segmen masyarakat dengan level pendidikan SMA hingga universitas. Data SIMPADU Bappenas juga menunjukan bahwa hampir separuh (48.70 %) penduduk dan kepala keluarga miskin di Ambon berpendidikan SMA ke atas.  Kelompok warga ini gagal memanfaatkan potensi lapangan pekerjaan di kota ini (89 persen) yang didominasi oleh sektor non formal. Hanya sekitar 28 persen warga miskin usia produktif, kemungkinan besar berpendidikan di bawah SMA, yang bekerja di sektor informal, selebihnya ialah pengangguran. 

Tentu ada banyak alasan yang menyebabkan warga dengan pendidikan relative tinggi terjebak dalam siklus kemiskinan. Ketiadaan kemampuan (skill) bekerja di sektor non-formal atau mungkin rasa malu dapat menjadi alasan warga untuk mundur dari bursa kerja sektor informal. Namun, apapun alasannya, tak diresponnya potensi lapangan pekerjaan oleh warga miskin berpendidikan relative tinggi menunjukan bahwa mungkin ada yang salah dalam kebijakan pendidikan dan cara sebagian orang Ambon memaknai pekerjaan.

Mengentaskan kemiskinan karenanya tak boleh dilepaskan dari usaha merubah mindset berpikir warga. Kebijakan pendidikan menjadi penting disini. Tentu saja, tujuannya tak boleh sesempit angka partisipasi sekolah atau persentase kelulusan. Tokh, Ambon telah mencetak skor cukup baik dalam indicator-indikator kaku itu. Yang lebih penting dalam kebijakan pendidikan mendatang mestinya ialah menciptakan kondisi pendidikan yang, seperti petuah Sen dan Freire tak mengekang melainkan membebaskan. Bila tidak, calon pekerja terdidik hanya akan sangat tergantung pada supply pekerjaan di sektor formal yang semakin stagnan. Lant Pritchet (2000), ekonom Harvard itu, menyebut stagnansi lapangan pekerjaan yang tak selaras dengan supply tenaga terdidik ini sebagai salah satu sebab seringkali tak berkorelasinya pendidikan dan kesejahteraan warga. Itu mengapa penting fokus pada pendidikan yang membuat warga mampu mengenali potensi ekonomi dan berdaya memajukan hidupnya melalui cara-cara yang mereka ketahui. Konsep ini secara praktikal bisa diterjemahkan melaui fokus pada pengembangan pendidikan kejuruan berbasis pendekatan potensi lokal.

Selain kebijakan pendidikan, tak kalah pentingya bagi Kota Ambon ialah kebijakan insulasi bagi warga miskin dan mereka yang rentan jatuh miskin dari fluktuasi ekonomi khas perkotaan. Proteksi sosial warga ini tak cuma penting sebagai sarana redistribusi buah pembangunan dan proteksi jangka pendek bagi warga marginal. Sebaliknya, proteksi social semacam subsidi kesehatan, pendidikan dan atau hal sepele semacam belanja makanan tambahan bagi balita miskin ialah investasi jangka panjang. Proteksi masa depan bagi warga miskin.

Kita lalu tentu patut bertanya adakah proteksi social telah terepresentasi dengan baik dalam postur belanja Kota Ambon?  Atau bahkan lebih jauh lagi mampukah kota ini membiayai sendiri program-program proteksi sosialnya ? Pertanyaan ini agaknya bukanlah pertanyaan yang bisa dijawab sepenuh yakin oleh pemerintah. Pangkal soal terletak tidak hanya pada ketiadaan agregat data yang dapat mensuplai informasi kebutuhan sumber daya minimal guna pembenahan kesejahteraan, masalah jua terletak pada keterbatasan fiscal dan, sedikit banyak, soal klasik yang bernama komitmen. Tahun lalu, misalnya, belanja pegawai menyandera lebih 70 persen alokasi anggaran belanja. Sementara itu, belanja pemberdayaan masyarakat hanya mengambil 0.66 persen dari keseluruhan porsi belanja APBD. Pemeriksaan detail pada komponen dana proteksi sosial ini, bahkan, menunjukan bahwa komponen biaya tersebut juga didominasi oleh belanja-belanja administratif.

Membaca alokasi belanja semacam itu, kita lekas tahu bahwa ada persoalan komitmen alokasi sumber daya fiskal yang serius di tingkat perencanaan belanja. Ini tokh galib terjadi di banyak kota. Sayangnya, masalah kota ini mungkin tak cuma sebatas komitmen alokasi. Postur belanja dan pendapatan kota Ambon jua memberi tahu kita bahwa terlepas dari persoalan komitmen, kemampuan pemerintah mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan tak mampu mengkompensasi keterbatasan fiscal guna pengentasan kemiskinan. Singkatnya, pemerintah tak mampu mengentaskan kemiskinan sendirian dan karenanya warga miskin kota ini harus bergantung, terutama, pada skema jaminan sosial nasional yang dijalankan pemerintah pusat.

Hari-hari ini, komitmen proteksi social warga marginal memang telah diartikulasi dengan lugas dalam undang-undang jaminan sosial nasional. Kewajiban perlindungan social warga telah ditarik ke atas dan ditegaskan kembali sebagai urusan mutlak pemerintah. Proteksi social karenanya menjadi lebih universal cakupannya, lebih terintegrasi dan memberi harapan, terutama bagi warga miskin di daerah yang kapasitas fiskalnya relative terbatas. Sayangnya, aplikasi penuh dari system jaminan social nasional ini masih menyisakan banyak pekerjaan besar, tak terkecuali dan atau terutama di aras lokal.

Beberapa pekerjaan penting yang berhubungan dengan keterbatasan fiscal dan skema jaminan sosial nasional memang harus dilakukan pemerintah kota Ambon. Dari sisi alokasi sumber daya, meningkatkan incentive warga untuk terlibat dalam perencanaan dan pengawasan alokasi belanja mutlak dilakukan. Caranya tak melulu memanfaatkan proses deliberasi publik macam Musrenbang yang bagi sebagian kalangan telah dianggap hanya sekedar instrument meminjam legitimasi warga. Metode lain ialah dengan menselaraskan fungsi-fungsi terkait pengentasan kemiskinan dalam satu bangunan organisasi pelayanan satu pintu. Melalui cara ini, pengentasan kemiskinan tak hanya akan cenderung menjadi lebih cost-effective melainkan juga akan lebih  effisien dalam menggalang pengawasan warga marginal terhadap fungsi-fungsi pemerintah yang bertugas membenahi kesejahteraan warga. Caiden dan Sundaram (2004), cendekiawan yang banyak menulis tentang reformasi organisasi dalam konteks Asia itu, menyebut terwakilinya aspirasi dan kebutuhan kaum miskin sebagai prasyarat keberhasilan dalam transformasi organisasi public. Sragen, kabupaten yang berulang kali dianugerahi penghargaan tertinggi kualitas pelayanan public itu telah membuktikannya. Langkah kabupaten ini menggabungkan fungsi-fungsi pengentasan kemiskinan dalam satu organisasi pelayanan berbuah alokasi belanja yang lebih efektif dan pengawasan yang lebih baik dari warga terhadap kinerja pengentasan kemiskinan.  Ambon semestinya mereplikasi contoh baik ini.

Pekerjaan lain yang juga harus dilakukan adalah mengefektifkan kinerja skema proteksi sosial nasional di kota Ambon. Pada titik ini, penting untuk mengingat bahwa skema jaminan sosial nasional (JSN) utamanya bekerja melalui skema subsidi silang warga. Melalui skema ini, pekerja sektor formal dan informal membayar premi yang tak hanya memproteksi diri mereka sendiri, namun jua memproteksi mereka yang miskin dan tak bekerja. Premi warga memperkuat jaminan sosial pemerintah terhadap semua warga Negara, termasuk pembayar premi sendiri. Maka itu, memastikan kepatuhan pekerja, terutama pekerja sektor formal, juga badan usaha, untuk terlibat dalam skema JSN ialah pekerjaan yang harus disegerakan oleh pemerintah kota Ambon. Tidak bisa tidak. Studi Muliati (2013), seorang analis muda di world bank, mengenai skema proteksi sosial tenaga kerja jauh-jauh hari mengingatkan bahwa kemampuan pemerintah membiayai proteksi sosial nasional sangat dipengaruhi oleh keikutsertaan dan kepatuhan warga dalam membayar premi. Tambahnya, Pemerintah tak boleh mengulang kegagalan melindungi tenaga kerja secara universal melalui skema Jamsostek.

Usaha memastikan kepatuhan warga dalam hal ini tentu tak boleh dicantelkan semata-mata kepada aturan. Memastikan warga untuk bergabung dalam skema JSN harus dilakukan dengan memberi incentive bahwa mereka benar-benar menolong mereka yang tak berpunya. Karena itu memastikan elegibilitas penerima subsidi proteksi sosial menjadi sangat penting. Ada dua pekerjaan prinsip yang harus dikerjakan pemerintah kota Ambon untuk memastikan hal ini. Pertama, sangat penting untuk merancang dan mengusulkan kriteria yang peka terhadap konteks warga miskin Kota ini. Yang kedua, dan ini sama pentingnya, ialah mendorong terus terjadinya reformasi administrasi kependudukan. Kedua pekerjaan ini harus dilakukan tidak hanya untuk meminimalisir kerancuan penetapan warga penerima manfaat jaminan sosial, namun juga untuk menjaga incentive warga non-miskin untuk tak mundur dari skema JSN. Pendeknya, menjaga kemampuan pemerintah melakukan proteksi menyeluruh, terutama kepada warga tak berpunya.

Seperti yang kita saksikan, pekerjaan tak kurang banyaknya bagi pembuat kebijakan kota ini, jua tentu bagi para pekerja negara. Daftar pekerjaan bahkan masih mungkin bertambah bila elemen lain lain diikutsertakan dalam diskusi. Pun, bila preskripsi pengentasan kemiskinan ini tak lebih dari sejumlah jari tangan, menentukan prioritas ditengah keterbatasan fiscal, sumber daya manusia dan atau bahkan hiruk pikuk politik bukanlah urusan sederhana. Nyatanya, bahkan, membaca analysis sederhana inipun telah cukup melelahkan.

Memang, mungkin belum ada alasan untuk lekas-lekas, apalagi keras-keras, bertepuk tangan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar