source: globalnews.id |
Tahun 2007, Chen dan Ravalion, keduanya akademisi Bank dunia, melaporkan bahwa angka kemiskinan
absolut global telah turun secara drastis, terutama di Asia. Dunia, menurut keduanya akan segera menyaksikan berkurangnya separuh angka kemiskinan global. Nubuat itu 'terbukti'. Tahun 2010, salah satu dari target
pertama Millennium Development Goals tercapai (World Bank 2013).
Sayangnya, kesimpulan
turunnya angka kemiskinan global itu tak benar-benar disambut penuh gegap gempita. Sebagian
cendekiawan meragukan klaim dan
laporan Bank Dunia itu. Sanjay Reddy dan Camelia Minou (2007) misalnya menyebut
kesimpulan turunnya angka kemiskinan global itu sebagai ‘tak konklusif’. Pangkal
soalnya, data angka kemiskinan di India dan China, penyumbang terbesar turunnya
angka kemiskinan global, tak dianggap reliable. Cendekiawan lain tak kalah keras
bersuara. Sebagian secara khusus menyoroti standar $1 per hari yang mereka anggap tak mewakili
konsumsi minimal warga dunia, bahkan pada negara-negara paling miskin sekalipun.
Kemiskinan, menurut cendekiawan-cendekiawan ini, boleh jadi tak sama sekali
berkurang bila standar pengeluaran $2 per hari digunakan sebagai standard
perhitungan.
Dengan nuansa yang agak berbeda, cendikiawan dan praktisi pengusung perspektif multidimensional jua ikut meragukan laporan Bank Dunia di atas. Bagi mereka, analisis kemiskinan yang menggunakan pendekatan moneter sebagai semata-mata standar itu bahkan keliru secara fundamental. Golongan ini haqul yaqin kalau kemiskinan ialah perkara multi kompleks. Perkara yang tak semata hanya soal pendapatan. Amartya sen, sang pengusung utama perspektif multidimensional itu misalnya, tegas berseru bahwa sumber daya untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhan manusia pada dasarnya relative, terutama ketika kesejahteraan bertumpu pada tujuan hakikinya yakni kebahagiaan. Kebahagiaan, bagi Sen dan mungkin bagi banyak diantara kita, tak selalu terbeli dengan uang. Maka itu, tugas pengentasan kemiskinan bukanlah semata meningkatkan pendapatan melainkan meningkatkan kemampuan manusia untuk menjalani hidup secara lebih bermakna (Sen 1999).
Berkaca pada
keraguan yang melingkupi klaim turunnya angka kemiskinan global ini, kita mengerti
bahwa mendefinisikan dan menghitung keberhasilan pengentasan kemiskinan bukanlah
perkara sederhana. Kompleksitas persoalan dan dimensi politik yang melingkupi kemiskinan acap kali membuat uraiannya menjadi tak terang, kontradiktif dan tak konklusif. Luderchi (2003) dan sejawatnya tegas menyebut kondisi ini sebagai ironi. Ironi ditengah kebijakan pembangunan yang hari ini
berarus utama pengentasan kemiskinan.
Untungnya, betapapun ironis,
keruwetan mendefisnikan kemiskinan tak selamanya merugikan. Setidaknya, keruwetan ini mendorong konsumen data untuk lebih mawas diri dalam membaca data kemiskinan dan atau keberhasilan pengentasan kemiskinan. Kita semua karenanya patut mempertanyakan asumsi dan pendekatan dari data yang dilansir badan
pemerintah dan atau organisasi-organisasi yang mengadvokasi orang miskin.
Bahkan tidak hanya itu, keruwetan ini jua
menghendaki kita untuk menerjemahkan persentasi dan grafik ke dalam
bahasa awam. Dengan begitu, kita lebih
mudah melihat potensi dan tantangan pengentasan kemiskinan pada suatu
daerah.
Saya menulis
artikel ini di atas fondasi kesadaran semacam itu.
Beberapa
saat lalu, Walikota Ambon mengumumkan data BPS mengenai turunnya
angka kemiskinan di kota Ambon. Menurut laporan ini, dari semula 6.83 persen jumlah
orang miskin di kota Ambon telahbberkurang menjadi 4.42 persen. Penurunan sebesar 2,41 persen
ini ialah reduksi konsisten yang melanjutkan trend turunnya angka kemiskinan di Kota Ambon sejak tahun
2011.
Pada kesempatan yang sama, Walikota juga melaporkan bahwa indeks pebangunan Manusia (IPM) di Ambon masih yang terbaik di Maluku. Dengan persentasi sebesar 79.58 persen, Kota Ambon melampaui semua kabupaten/ Kota lainnya di Maluku dan tercatat sebagai terbaik ke 7 secara nasional. Pendek kata, berdasarkan standar pendapatan, konsumsi ataupun standar kemiskinan lainnya yang relative lebih kompleks, kondisi kota Ambon semakin membaik.
Pada kesempatan yang sama, Walikota juga melaporkan bahwa indeks pebangunan Manusia (IPM) di Ambon masih yang terbaik di Maluku. Dengan persentasi sebesar 79.58 persen, Kota Ambon melampaui semua kabupaten/ Kota lainnya di Maluku dan tercatat sebagai terbaik ke 7 secara nasional. Pendek kata, berdasarkan standar pendapatan, konsumsi ataupun standar kemiskinan lainnya yang relative lebih kompleks, kondisi kota Ambon semakin membaik.
Secara
statistic angka 4 persen kemiskinan itu memang relative sangat rendah. Angka
ini menunjukan bahwa ‘hanya’ terdapat 16.900 warga dari 400.000an warga kota
Ambon yang hari ini hidup dengan kategori sangat
miskin. Kita,
akan tetapi, hendaknya tak lupa bahwa angka ini ditentukan oleh asumsi dan
standar garis kemiskinan yang digunakan. Tahun 2012, standar pengeluaran minimal
yang digunakan sebagai batas garis kemiskinan kota Ambon hanya lebih sedikit
dari 360 ribu rupiah. Angka yang
relative kecil ini
tak jauh berbeda dengan standar konsumsi minimal beberapa kabupaten
kota lain di Maluku.
Kesimpulan
yang berbeda atas data kemiskinan yang baru saja dirilis tentu akan kita temui bila
asumsi standar
kemiskinan kita berbeda. Sebuah studi di Amerika latin oleh Szekely dan sejawat mengkonfirmasi kecendrungan ini. Skezely et.al (2003) menunjukan
bahwa persentasi kemiskinan antar negara dapat berbeda pada kisaran 13 hingga
66 persen bila asumsi berbeda digunakan untuk sebuah objek kemiskinan yang
serupa. Ambon jua tak luput dari kondisi semacam ini. Kalkulasi Badan
pemberdayaan masyarakat (BPM) kota Ambon, misalnya, mencatat prevelansi jumlah warga miskin yang lebih tinggi
dari rata-rata data BPS. Sebagai perbandingan, jumlah warga miskin tercatat di
tahun 2013 menurut BPM Kota ialah sebanyak 43.888 jiwa atau sebanyak 10.441
keluarga. Jumlah ini dua kali lipat lebih besar dari rilis angka kemiskinan BPS
di tahun yang sama.
Tanpa
perbedaan indikatorpun, kemungkinan lebih besarnya prevelansi warga miskin di
kota ini dapat ditelisik dari standar garis kemiskinan yang digunakan. Sebabnya
sederhana, standar konsumsi
yang mengacu pada pendekatan kebutuhan dasar itu sangat potensial tak melingkupi
kebutuhan konsumsi warga yang mendiami kawasan urban. Tak cuma itu,
telisik lebih jauh terhadap standar pengeluaran yang demikian rendah vis a vis pola konsumsi rata-rata
masyarakat urban mungkin juga mengungkap persentase ketimpangan kesejahteraan
yang relative tinggi di Ambon. Bagaimana tidak, biaya hidup yang dinisbatkan
sebagai standar garis kemiskinan itu
kurang lebih setara dengan agregat konsumsi hiburan kelas menengah kota
ini.
Keresahan kita
terhadap sejumlah kepala keluarga miskin di kota ini mestinya memang tak cuman
soal ketimpangan atau bahkan tentang nilai standar garis kemiskinan yang berada
dibawah standar $2 per hari, standar yang hari ini dianggap lebih mewakili
kebutuhan konsumsi warga. Keresahan yang lebih penting mestinya, terletak pada
fakta bahwa angka 89.29 persen potensi kesempatan kerja di kota ini,
sebagaimana rilis BPS, ternyata tak selalu berbanding lurus dengan pendapatan dan kemampuan konsumsi warga.
Jumlah 16.900 warga miskin ini mestinya membuat kita tak lekas bertepuk tangan.
Seharusnya angka ini menyadarkan kita bahwa asumsi mengenai mudahnya mencari
uang di Ambon boleh jadi tak selamanya benar.
Sebagian
pihak tentu boleh mengemukakan telaah tentang kemiskinan dan konsumsi yang
bukan hanya soal pendapatan untuk menjawab kritisi diatas. Nyatanya memang
demikian. Di banyak tempat dan keadaan, akses terhadap sumber dayalah yang
menentukan seseorang benar-benar miskin atau tidak. Keluarga dan individu yang
memiliki kebun dan kolam di belakang rumah misalnya tak perlu menghabiskan 12
ribu rupiah sehari untuk belanja. Warga berpendapatan minim yang tinggal
bersama keluarga dekat jua bisa berbagi beban konsumsi. Alam dan keluarga nyatanya
seringkali memberikan akses terhadap sumber daya di tengah kekurangan pendapatan.
Maka itu, kemiskinan sebagian orang seringkali berasal dari kelalain pemerhati
kemiskinan untuk mengkuantifikasi apa yang dimiliki oleh keluarga-keluarga yang
berkebun dan atau saling membantu itu.
Sayangnya,
prevelansi kemiskinan di Ambon mungkin sama sekali tak berasal dari kegagalan mengkuantifikasi
aspek-aspek sumber daya yang dimiliki warga. Status ambon sebagai kota membuat
kemiskinan lebih mungkin berpangkal pada ketidakmampuan mengakses pekerjaan yang
memungkinkan terpenuhinya kebutuhan dasar warganya. Lacurnya, data 4,42 persen warga
miskin yang baru dirilis BPS tak mengungkapkan kedalamam level kemiskinan antar
hampir 17.000an warga miskin di kota ini. Kita, dengan demikian, tak
benar-benar tahu berapa pendapatan terendah warga miskin kota ini dan seberapa
lebar perbedaan antara si kaya dan si miskin dan atau antara si miskin dan si setengah miskin yang potensial
jatuh dalam kemiskinan. Kita jua tak tahu benar berapa agregat rata-rata sumber
daya yang dibutuhkan untuk mengentaskan kemiskinan berdasarkan konsumsi. Singkatnya,
selain kegembiraan temporal “turunnya” perentase warga miskin, angka –angka itu
tak benar-benar membantu kebijakan lanjutan pengentasan kemiskinan.
Khalayak
seharusnya memang tak diajak untuk lekas bertepuk tangan. Sebaliknya, mungkin
penting untuk mengajak warga dan pembuat kebijakan ingat bahwa tantangan
mengentaskan kemiskinan di kota ini tak menjadi lebih mudah, berapapun angka
penurunan kemiskinan yang baru dirilis. Status Ambon sebagai kota dengan
mayoritas penduduk mendiami kawasan urban, misalnya, harus disadari membuat Ambon rentan
terhadap terciptanya kemiskinan khas perkotaan dengan segala kompleksitasnya. Urbanisasi, akan meningkatkan angka penggangguran dan menciptakan warga miskin
baru secara eksponensial. Selain itu, dinamika harga jua rentan membuat warga
dengan pendapatan pas-pasan jatuh pada kemiskinan temporal. Di Ambon, karenanya, angka
kemiskinan jangka pendek lebih mungkin naik tajam dibandingkan kabupaten kota
lainnya, ketika ekonomi bergerak ke arah yang tak menguntungkan.
Preksprisi
kebijakan pengentasan kemiskinan dengan demikian menjadi lebih kompleks, bagi Ambon. Sekedar
meningkatkan pertumbuhan ekonomi menjadi tak cukup memadai sebagai solusi. Pada derajat tertentu,
bahkan, kualitas pertumbuhan ekonomi yang tak berimplikasi pemerataan, seperti
yang hari ini disaksikan di banyak kota besar Indonesia (koefisien gini
nasional meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir.red) harus dihindari. Lebarnya
jurang pendapatan, marginalisasi akses-akses publik dan kecemburuan sosial
adalah adonan yang harus dihindari kota yang belum sembuh benar dari konflik
antar warga ini.
Bahwa
pertumbuhan ekonomi yang timpang mesti dihindari jelas tak berarti bahwa pertumbuhan
ekonomi tak penting bagi Ambon. Kota ini juga butuh geliat ekonomi untuk
mendorong perbaikan pendapatan dan konsumsi warganya. Hanya saja, penting
kiranya untuk mengupayakan pertumbuhan itu dalam kerangka kebijakan yang lebih berpihak
pada warga miskin namun tetap berimplikasi pertumbuhan. The pro-poor-pro-growth
policies, demikian cendekiawan-cendikiawan asing menyebutnya. Kita, warga
kota ini, jua mengenal kerangka semacam itu. Tokh, sudah sejak lama, kota ini mendambakan
warga yang manggurebe maju sama-sama.
Dalam
kerangka berpikir ini, adalah penting untuk mentransformasi dan memperkuat sumber-sumber
utama penyumbang pertumbuhan ekonomi Ambon. Konsumsi pemerintah yang
bertahun-tahun menggerakan sektor jasa, sektor penyumbang terbesar pertumbuhan
di Ambon itu, semestinya tak terus menjadi semata-mata andalan. Sektor jasa
mesti digerakan juga
oleh konsumsi yang berimplikasi produksi barang dan jasa, jua
pekerjaan. Investasi mestinya ialah pilihan yang ideal. Bilapun tidak, maka alokasi
sumber daya pemerintah harus turut didorong untuk menyiapkan struktur ekonomi
yang lebih produktif tersebut. Bagi Ambon, sebenarnya terbuka peluang untuk
menggerakan sektor parawisata dan seni kreatif sebagai lokomotif pertumbuhan yang mendorong sektor lainnya. Yang diperlukan ialah kesediaan pemerintah untuk
konsisten berinvestasi dalam pemberdayaan masyarakat seraya membenahi
regulatory setting dan bangunan institusional yang menghambat investasi. Hanya
dengan konsistensi kebijakan
pemerintah lapangan-lapangan kerja baru disektor produksi non-formal dapat
menopang pertumbuhan ekonomi.
Bagi
pengentasan kemiskinan di Ambon konsistensi
pemerintah ini penting
mengingat dua alasan. Pertama agar buah pertumbuhan ekonomi tidak melulu
dinikmati warga kota yang secara ekonomi terhubung langsung dengan belanja
pemerintah (pegawai.red), dan yang
kedua, dan ini tak kalah penting, ialah agar pertumbuhan ekonomi juga
berimplikasi perubahan paradigma dalam memandang pekerjaan. Sektor non formal harus bisa diletakan sebagai sumber pendapatan yang tak lagi dianggap
sebelah mata.
Kemiskinan
di Ambon, nyatanya, memang berhubungan dengan ketidakpercayaan sebagian besar pencari
kerja, utamanya warga dengan pendidikan relative tinggi, terhadap sector
informal produktif. Data mengindikasikan
bahwa kemiskinan di ambon relative kecil hubungannya dengan rendahnya tingkat
pendidikan. Rilis BPS tahun 2014 misalnya menunjukan bahwa angka pengangguran
terbuka tertinggi diwakili oleh segmen masyarakat dengan level pendidikan SMA
hingga universitas. Data SIMPADU Bappenas juga menunjukan bahwa hampir separuh (48.70 %) penduduk dan kepala keluarga miskin di Ambon berpendidikan SMA ke atas. Kelompok warga ini gagal memanfaatkan
potensi lapangan pekerjaan di kota ini (89 persen) yang didominasi oleh sektor
non formal. Hanya sekitar 28 persen warga miskin usia produktif, kemungkinan besar berpendidikan di bawah SMA, yang bekerja di sektor informal, selebihnya ialah pengangguran.
Tentu ada banyak
alasan yang menyebabkan warga dengan pendidikan relative tinggi terjebak dalam
siklus kemiskinan. Ketiadaan kemampuan (skill) bekerja di sektor non-formal atau
mungkin rasa malu dapat menjadi alasan
warga untuk mundur dari bursa kerja sektor informal. Namun, apapun
alasannya, tak diresponnya potensi lapangan pekerjaan oleh warga
miskin berpendidikan relative tinggi menunjukan
bahwa mungkin ada yang salah dalam kebijakan pendidikan dan cara sebagian orang Ambon memaknai
pekerjaan.
Mengentaskan
kemiskinan karenanya tak boleh dilepaskan dari usaha merubah mindset
berpikir warga. Kebijakan pendidikan menjadi penting disini. Tentu saja, tujuannya
tak boleh sesempit angka partisipasi sekolah atau persentase kelulusan. Tokh, Ambon telah
mencetak skor cukup baik dalam indicator-indikator kaku itu. Yang lebih penting
dalam kebijakan pendidikan mendatang mestinya ialah menciptakan kondisi pendidikan
yang, seperti petuah Sen dan Freire tak mengekang melainkan membebaskan. Bila tidak, calon pekerja terdidik hanya akan sangat tergantung pada supply pekerjaan di sektor formal yang semakin stagnan. Lant Pritchet (2000), ekonom Harvard itu, menyebut stagnansi lapangan pekerjaan yang tak selaras dengan supply tenaga terdidik ini sebagai salah satu sebab seringkali tak berkorelasinya pendidikan dan kesejahteraan warga. Itu mengapa penting fokus pada pendidikan yang membuat warga mampu mengenali potensi ekonomi dan berdaya
memajukan hidupnya melalui cara-cara yang mereka ketahui. Konsep ini secara
praktikal bisa diterjemahkan melaui fokus pada pengembangan pendidikan kejuruan
berbasis pendekatan potensi lokal.
Selain
kebijakan pendidikan, tak kalah pentingya bagi Kota Ambon ialah kebijakan insulasi
bagi warga miskin dan mereka yang rentan jatuh miskin dari fluktuasi ekonomi
khas perkotaan. Proteksi sosial warga ini tak cuma penting sebagai sarana
redistribusi buah pembangunan dan proteksi jangka pendek bagi warga marginal.
Sebaliknya, proteksi social semacam subsidi kesehatan, pendidikan dan atau hal sepele semacam belanja
makanan tambahan bagi balita miskin ialah investasi jangka panjang. Proteksi masa depan bagi warga
miskin.
Kita lalu tentu patut
bertanya adakah proteksi social telah terepresentasi dengan baik dalam postur belanja
Kota Ambon? Atau bahkan lebih jauh lagi
mampukah kota ini membiayai sendiri program-program proteksi sosialnya ? Pertanyaan
ini agaknya bukanlah pertanyaan yang bisa dijawab sepenuh yakin oleh
pemerintah. Pangkal soal terletak tidak hanya pada ketiadaan agregat data yang
dapat mensuplai informasi kebutuhan sumber daya minimal guna pembenahan
kesejahteraan, masalah jua terletak pada keterbatasan fiscal dan, sedikit
banyak, soal klasik yang bernama komitmen. Tahun lalu, misalnya, belanja
pegawai menyandera lebih 70 persen alokasi anggaran belanja. Sementara itu,
belanja pemberdayaan masyarakat hanya mengambil 0.66 persen dari keseluruhan
porsi belanja APBD. Pemeriksaan detail pada komponen dana proteksi sosial ini, bahkan,
menunjukan bahwa komponen biaya tersebut
juga didominasi oleh belanja-belanja administratif.
Membaca
alokasi belanja semacam itu, kita lekas tahu bahwa ada persoalan komitmen
alokasi sumber daya fiskal yang serius di tingkat perencanaan belanja. Ini tokh
galib terjadi di banyak kota. Sayangnya, masalah kota ini mungkin tak cuma
sebatas komitmen alokasi. Postur belanja dan pendapatan kota Ambon jua memberi
tahu kita bahwa terlepas dari persoalan komitmen, kemampuan pemerintah
mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan tak mampu mengkompensasi keterbatasan
fiscal guna pengentasan kemiskinan. Singkatnya, pemerintah tak mampu mengentaskan
kemiskinan sendirian dan karenanya warga miskin kota ini harus bergantung,
terutama, pada skema jaminan sosial nasional yang dijalankan pemerintah pusat.
Hari-hari
ini, komitmen proteksi social warga marginal memang telah diartikulasi dengan lugas
dalam undang-undang jaminan sosial nasional. Kewajiban perlindungan social warga
telah ditarik ke atas dan ditegaskan kembali sebagai urusan mutlak pemerintah.
Proteksi social karenanya menjadi lebih universal cakupannya, lebih terintegrasi
dan memberi harapan, terutama bagi warga miskin di daerah yang kapasitas
fiskalnya relative terbatas. Sayangnya, aplikasi penuh dari system jaminan
social nasional ini masih menyisakan banyak pekerjaan besar, tak terkecuali dan
atau terutama di aras lokal.
Beberapa
pekerjaan penting yang berhubungan dengan keterbatasan fiscal dan skema jaminan
sosial nasional memang harus dilakukan pemerintah kota Ambon. Dari sisi alokasi
sumber daya, meningkatkan incentive warga untuk terlibat dalam perencanaan dan
pengawasan alokasi belanja mutlak dilakukan. Caranya tak melulu memanfaatkan
proses deliberasi publik macam Musrenbang yang bagi sebagian kalangan telah
dianggap hanya sekedar instrument meminjam legitimasi warga. Metode lain ialah
dengan menselaraskan fungsi-fungsi terkait pengentasan kemiskinan dalam satu
bangunan organisasi pelayanan satu pintu. Melalui cara ini, pengentasan
kemiskinan tak hanya akan cenderung menjadi lebih cost-effective melainkan juga
akan lebih effisien dalam menggalang
pengawasan warga marginal terhadap fungsi-fungsi pemerintah yang bertugas
membenahi kesejahteraan warga. Caiden dan
Sundaram (2004), cendekiawan yang banyak menulis tentang reformasi organisasi
dalam konteks Asia itu, menyebut terwakilinya aspirasi dan kebutuhan kaum
miskin sebagai prasyarat keberhasilan dalam transformasi organisasi public. Sragen,
kabupaten yang berulang kali dianugerahi penghargaan tertinggi kualitas
pelayanan public itu telah membuktikannya. Langkah kabupaten ini menggabungkan
fungsi-fungsi pengentasan kemiskinan dalam satu organisasi pelayanan berbuah
alokasi belanja yang lebih efektif dan pengawasan yang lebih baik dari warga
terhadap kinerja pengentasan kemiskinan. Ambon semestinya
mereplikasi contoh baik ini.
Pekerjaan
lain yang juga harus dilakukan adalah mengefektifkan kinerja skema proteksi
sosial nasional di kota Ambon. Pada titik ini, penting untuk mengingat bahwa skema
jaminan sosial nasional (JSN) utamanya bekerja melalui skema subsidi silang
warga. Melalui skema ini, pekerja sektor formal dan informal membayar premi
yang tak hanya memproteksi diri mereka sendiri, namun jua memproteksi mereka
yang miskin dan tak bekerja.
Premi warga memperkuat jaminan sosial pemerintah terhadap semua warga Negara,
termasuk pembayar premi sendiri. Maka itu, memastikan kepatuhan pekerja,
terutama pekerja sektor formal, juga badan usaha, untuk terlibat dalam skema JSN
ialah pekerjaan yang harus disegerakan oleh pemerintah kota Ambon. Tidak bisa
tidak. Studi Muliati (2013), seorang analis muda di world bank, mengenai skema proteksi sosial tenaga kerja jauh-jauh
hari mengingatkan bahwa
kemampuan pemerintah membiayai proteksi sosial nasional sangat dipengaruhi oleh
keikutsertaan dan kepatuhan warga dalam membayar premi. Tambahnya, Pemerintah
tak boleh mengulang kegagalan melindungi tenaga kerja secara universal melalui
skema Jamsostek.
Usaha memastikan kepatuhan warga dalam
hal ini tentu tak boleh dicantelkan semata-mata kepada aturan. Memastikan warga
untuk bergabung dalam skema JSN harus dilakukan dengan memberi incentive bahwa
mereka benar-benar menolong mereka yang tak berpunya. Karena itu memastikan
elegibilitas penerima subsidi proteksi sosial menjadi sangat penting.
Ada dua pekerjaan prinsip yang harus dikerjakan pemerintah kota Ambon untuk memastikan
hal ini. Pertama, sangat penting untuk merancang dan mengusulkan kriteria yang
peka terhadap konteks warga miskin Kota ini. Yang kedua, dan ini sama
pentingnya, ialah mendorong terus terjadinya reformasi administrasi
kependudukan. Kedua pekerjaan ini harus dilakukan tidak hanya untuk
meminimalisir kerancuan penetapan warga penerima manfaat jaminan sosial, namun
juga untuk menjaga incentive warga non-miskin untuk tak mundur dari skema JSN. Pendeknya, menjaga kemampuan
pemerintah melakukan proteksi menyeluruh, terutama kepada warga tak berpunya.
Seperti yang
kita saksikan, pekerjaan tak kurang banyaknya bagi pembuat kebijakan kota ini,
jua tentu bagi para pekerja negara. Daftar
pekerjaan bahkan masih mungkin bertambah bila elemen lain lain
diikutsertakan dalam diskusi. Pun, bila preskripsi pengentasan kemiskinan ini tak
lebih dari sejumlah jari tangan, menentukan prioritas ditengah keterbatasan
fiscal, sumber daya manusia dan atau bahkan hiruk pikuk politik bukanlah urusan
sederhana. Nyatanya, bahkan, membaca analysis sederhana inipun telah
cukup melelahkan.
Memang, mungkin belum ada alasan
untuk lekas-lekas, apalagi keras-keras, bertepuk tangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar