Semesta pekat, diam, berlagak tenang. Ada sebuah titik muncul menarik perhatian pada lengkung batas. Horison yang meledak dalam senyap. Pancaran sinar itu luruh merata, menyebar kesegala arah, transversal, longitudinal, diagonal dan acak.. Hamparan energi yang impulsif dengan diaroma yang indah.Pelangi, memang tidak muncul saat malam, namun ruang selayaknya segala, selalu akan berhenti pada saat keindahan datang. Supernova meledak sejenak dan yang terpana hanyalah diam dalam diam. Ya semesta memang cuma diam dan tak berkata, melangkahi zaman yang makin lapuk, menjadi saksi, menatap bintang-bintang baru yang lahir kemudian mati, juga kelahiran, kematian, putus asa dan harapan.
Seorang pendongeng berkata, bahwa setiap bintang mewakili jiwa yang hidup dan ketika sebuah bintang redup ada sebuah kehidupan tercerabut. Tapi, benarkah ruang mengambil hidup, waktu menyurutkan harapan dan putus asa adalah bagian tak lepas dari hidup? Bukankah katanya harapan tak boleh mati ?, bukankah bahkan bila engkau menginginkan sesuatu seluruh semesta akan membantumu menggapainya ?.
Tapi, langit cuma diam dan gelap pekat itu seakan tanpa harapan. Sebuah suar hidup berkelip diatas sana, masihkah ada harapan ? apakah itu pesan ?. Semesta cuma diam dan tanyaku tidak juga terjawab. Belum mungkin. Ya, kita cuma bisa berharap mungkin pada bintang diatas sana. Mungkin ???
* * *
[ RUANGAN PERTAMA ]
" Never Ending ……Dream’ s "
Welcome Aboard, this is Trans World Aviation plane Flight number FA-134, this your captain Burhan speaking, we will take off aproximately in 15 second from now. So please have a seat and fasten ur seat belt. May you enjoying this flight thank you. Suara berat yang empuk itu baru berakhir diujung speaker ketika serentak lampu-lampu kabin menjadi redup. Pada sisi-sisi ujung antara tempat duduk penumpang dan dinding kabin tulisan-tulisan kecil berkedip kerlap-kerlip, sebuah tanda melingkar dengan garis diagonal menutup sebuah gambar rokok yang setengah berasap tampak mencolok. Ada tulisan kecil dibawahnya yang ikut berkedip “ No smoking “. Sekian detik kemudian suara klik jatuh bersamaan laksana koor dan suara mesin yang mendengung halus mulai mengisi ruang kabin yang kosong.
Bandara transinternasional XXXXXX belum juga terlalu sibuk, bahkan mungkin tidak akan terlampau sibuk di awal hari ini. Diluar gedung utama sebelah selatan passenger room hanya beberapa pesawat geostasioner kelas B terlihat akan mengangkasa, selebihnya seperti juga dunia di awal pagi ini, seakan masih terlelap merayakan kelelahan menikmati pesta semalam suntuk.
Dalam kabin salah satu pesawat geostasioner itu seorang lelaki muda sedang duduk dengan gelisah. Matanya yang masih sayu sesekali mencoba nyalang, menatap dengan terawang yang jauh melintasi bening kuarsa membeku yang membatasinya dengan dunia luar. Jauh diluar sana, melintasi batas landasan dan hutan kecil di luar bandara.
Dunia baru melangkah diawal Tahun 20xx ini, memasuki episode selanjutnya dari garis peradaban dan mentari seperti ikut berpesta hingga terlambat bangun. Sementara dibalik bukit sana bulan mulai gelisah dan gelapnya yang berpendar cemerlang mulai pudar. Sebagian mulai luruh kelabu. Untung saja penantiannya tak perlu terlalu lama karena beberapa saat kemudian Mentari mulai muncul dengan senyum maaf yang sedikit malu-malu.
Didalam pesawat, lelaki itu masih membatu. Sesekali menggeser duduknya mencari posisi yang paling nyaman untuk meluruskan punggung. Pandangannya belum juga menatap ketitik yang lain. Binar yang redup itu bukan hanya karena sayu, dia jelas gelisah. Mungkin gundah. Awal hari ini memang bukan saat yang tepat untuk terbang (apalagi untuk orang yang sama sekali tidak menikmati penerbangan). Bagaimana tidak, saat semua orang sedang memunggungi langit, terlelap setelah puas berpesta hingga suntuk seseorang harus berdamai dengan kenyataan atas nama tugas, tanggung jawab dan idealisme. Slogan yang terkadang terasa sangat hipokrit.
Memang ada segenap perasaan tidak tentu pagi ini yang berdentum-dentum dalam benaknya dan seketika menghantam jantung. Awalnya dia merasa semua itu hanya karena dia disadarkan terlalu pagi ditengah malam justru ketika pesta baru mulai dinikmatinya, mungkin karena dia marah atau bosan pada semua rutinitas ini, atau mungkin juga ada persoalan lain yang turut membenam dalam nebula otak yang hingga kini belum kunjung disadarinya, mungkin …...
Tapi, perasaan memang tidak bisa berbohong dan dia tahu itu. Langkahnya yang melambat saat kakinya menjejak tangga pesawat menyadarkannya akan sebuah ekspresi lain dalam segenap perasaannya. Dia merasa seakan pernah mengalami perasaan ini pada masa yang telah lewat. De ja Vu. Perasaan menghentak yang sama, serupa saat keberadaan integritas hidupnya limbung, masa lalunya sejenak nampak.
Sebuah nada ringan yang mengalir kemudian membuat pandangan sang lelaki beralih dari jendela yang mulai berembun. Sebuah senyum seorang pramugari menatapnya lama mulai menerangkan dan memperagakan prosedur standar keselamatan penerbangan yang juga tak didengar dan diindahkannya. Dihadapannya, ruang kabin mulai menguapkan hawa dingin yang tertembusi geliat mentari yang baru hadir. Terawang sinarnya yang hangat melintasi bening kaca, membentuk setengah oval spektrum berkilau sebuah pelangi kecil yang indah. Cukup indah untuk membuat sang lelaki menarik napas panjang mencoba bersabar dari kutukan diawal tahun barunya. Gusar yang menggerus perasaanya untuk sementara tidak berkubang makin dalam, keindahan itu menahannya.
Beberapa detik kemudian, suara mesin yang mendengung perlahan mulai menghasilkan getaran-getaran halus. Tanpa menunggu lagi getar-getar halus itu merayap, lalu menggetarkan halus kursi dimana dia duduk. Setelahnya, sebuah energi terlepas dan dengan aman mengangkat badan pesawat melawan gravitasi secara vertikal beberapa meter keatas. Pesawat itu mengangkasa dan diam sebentar sebelum kemudian dengan halus mulus mengangkat moncongnya membentuk sebuah sudut elevasi bersiap melakukan V.T.O.L.S [vertical Take Off and landing Systeem ]
Cuma sepersekian milisekon setelahnya pesawat itu tiba-tiba melesat diagonal, terlepas seperti panah yang melesat dari busurnya, membumbung jauh meninggalkan landasan yang makin kecil dibawahnya dengan kecepatan yang fantastis. Terperanjat dari keadaan yang tiba-tiba berubah drastis lelaki ini tersentak. Pada saat yang bersamaan dia merasa seakan-akan rohnya tercerabut dari tubuh, seolah-olah beberapa bagian-bagian tubuhnya melesat berpisah dan sebagian yang lain tertinggal. Ketenangan yang sejenak tergapai meledak, dan setiap partikel damai itu luruh menjadi titik bulir hangat yang saat ini mencari jalan pada sela-sela lehernya….
Sejak lebih dari satu dasawarsa yang lewat, pola penerbangan dan prosedur keselamatan udara memang telah banyak berubah. Demikian banyaknya pesawat udara yang tergelincir saat lepas landas dan mendarat, meledaknya industri penerbangan, perang tarif yang menggila, produksi massal pesawat udara yang dibatasi pertambahan pertumbuhan bandara membuat efektifitas dan efisiensi tidak terelakkan. Selain itu, semua prosedur keselamatan penerbangan mau tidak mau harus dievaluasi, direvisi dan ditinjau ulang.
Penerbangan dengan demikian berubah menjadi makin aman, murah dan tentu saja super ekspress. Pesawat-pesawat udara kini dapat terbang pada ketinggian geostasioner, dan penumpang dapat menikmati sensasi yang dahulu hanya dapat dinikmati astronot, satelit GPS dan balon-balon cuaca. Lebih dari itu, pesawat udara juga dapat terbang dan mendarat tanpa perlu bantuan panduan dari aiport trafic control officer seperti masa lalu. Masing-masing pesawat punya sistem navigasi otomatis sendiri yang terintegrasi pada sistem navigasi badan keselamatan penerbangan nasional.
Akan tetapi, layaknya sisi mata uang perubahan yang terjadi memang tidak hanya menghasilkan perubahan yang positif. Pola lepas landas dan mendarat vertikal (VTOLS) dan pengurangan jumlah pramugari hingga jumlah minimal, bahkan nyaris nihil (kecuali pada penerbangan kelas eksekutif dan VVIP) adalah beberapa perubahan yang menjemukan. Pesawat geostasioner trans aviaton world misalnya bahkan tidak memiliki lebih dari satu orang pramugari. Efisiensi dan kompetisi memang adalah slogan juga secret spell yang menjadi alasan kuat, terjadinya perubahan-perubahan pada dasawarsa kedua abad 21 ini. Bagaimanapun perubahan memang tak terhindarkan dan harus dijalani seperi garis tangan. Memang tak ada yang konstan dalam hidup.
Pesawat geostasioner kelas B itu masih terbang melesat, berpindah dari satu detik waktu kedetik waktu lainnya melintasi satu ruang keruang yang lain, menembus awan, mempermainkan hembusan angin menuju pada satu titik dibatas horison. Kecepatannya yang semula seakan meledak telah berubah konstan dan tenang. Pesawat itu tetap melaju mulus merambah udara. Didalamnya, beberapa orang penumpang duduk tenang bahkan terlelap tanpa merasakan gesekan udara pada badan pesawat akibat pergerakan kecepatan yang luar biasa. Mereka bersandar rileks, merasakan nyamannya penerbangan seakan mendarat halus pada sebuah kasur yang benar-benar empuk setelah lompatan adreanalin yang tiba-tiba mencapai angka seratus saat lepas landas.
Hanya seorang lelaki yang tidak dapat menyembunyikan kegusaran yang ada didalam kembali menerawangkan pandangan keluar dinding kabin. Mencari ketenangan yang dapat membunuh kegundahan entah dimana. Sebuah awan hitam besar yang murung baru terlewati saat rotasi memorinya tiba-tiba menghadirkan perasaan yang sama saat kakinya menjejak tangga pesawat. Pompa darahnya serentak menhentak cepat, tangan serta kakinya gamang, merasakan adanya ancaman refleks kakinya diluruskan mencoba berdiri. Sayangnya sabuk-sabuk itu mengikat otomatis dan tak bisa terlepas. Sekilas sebuah memori terlepas dan Lelaki itu mulai menutup matanya mencari ketenangan.
Bulir-bulir yang hangat menjadi makin hangat, bahkan sapuan pendingin ruangan yang tetap mengalir tak bisa meredam riak butir-butir gelisah yang datang. Sebuah gambar berputar mencari bentuk, sebuah puzzle yang terserak diatas meja juga menghasilkan bentuk yang aneh. Ada kegelapan sempurna yang pecah saat hitam membayang, luruh menjadi kelabu. Pada batas-batas tipis antar warna menyeruak suara juga nada-nada mendesing yang makin bising dan mata itu tetap mencari ketenangan dalam gelap.
Hantaman turbulensi tiba-tiba menunggu menggoncang tiap sambungan dan lempeng titanium menimbulkan derak yang tak tertahan peredam. Gerakan yang semula mulus kian berubah fraktal, terdorong dan menghempas. Sebuah hantaman keras terjadi tiba-tiba dan sebuah gesekan yang amat bising mendesing, menderit nyaring. Detik berikutnya sebuah hantaman seakan melesak masuk sampai kabin. Seperti ada energi yang luar biasa besar menariknya dari kursi. Energi yang tak tertahan dinding, energi yang seakan meluruhkan, integritas jiwa, raga dan pikiran bersamaan. Seketika lampu-lampu kabin padam serentak. setelahnya kembali suara bising menyeruak bersama kerlip lampu merah dan lintasan fosfor yang nyalang.
Lelaki itu kemudian menatap pada matanya seakan mencari bayang dirinya sendiri dalam pantulan tatapan seorang. Narciscus mencari-cari ketenangan yang entah kenapa tak membayang pada pantulan bening sang danau. Mata itu menatap kembali, kali ini lebih dalam menuju dasar, lebih menusuk dalam hati. Ada transmisi pesan yang ingin dihantarkan dalam kilasan cahaya yang menembus retina. Namun tiba-tiba semua warna meluruh dan ketenangan gelap yang bersembunyi tiba-tiba bergetar. Bersiap-siap untuk meledak.
Lidah yang semulanya lincah mendadak kaku dan tak dapat bersuara, punggung-punggung leher yang biasanya hangat menjadi dingin sedingin es, ada retakan yang mulai muncul pada tepian bayangan tiba-tiba pecah menghapus semua kegelapan, warna-warna, cahaya, bahkan keberadaan. Tatapan mata yang beradu itu hilang lenyap, ….prang……terbelah-belah.
Wandannn….. wan…. Wanndan………suara seorang wanita menyeruak kesepian malam yang makin tenggelam. Bulir-bulir hangat memenuhi dahi dan sekujur tubuhnya, perempuan itu dingin dan setengah ketakutan. Matanya masih sayu menampakkan kelelahan, dia merasa seakan habis berlari puluhan kilometer, tangannya yang gemetar menyeka bulir-bulir itu. Semacam anomali, dahinya merasakan panas yang hangat. dia mengalaminya kembali malam ini.
Telah berminggu-minggu lewat sejak kejadian itu terjadi namun dia tetap tak dapat menerima semuanya, belum, dia belum dapat menerima kenyataan bahwa seseorang yang dulu dikenalnya, begitu dekat, saat ini tak dapat lagi disentuhnya, tak ada lagi kata-kata dan ungkapan kasar menusuk terdengar melintas ditelinganya, tak ada lagi tatapan tajam tanpa kompromi yang membuatnya malas berdebat, tak juga ada lagi sokongan bahu kuat yang menopang harapan dan mimpinya. Tak ada lagi kebencian dan emosi yang kemudian melahirkan rindu. Tak ada lagi. Tak ada lagi keberanian yang menguatkannya melawan rasa takut sendirian.
Mataharani Maysita wardani bahkan belum bisa menarik napas panjang menghela ketenangan kedalam dadanya. Tepi-tepi bibirnya juga masih bergetar menahan resah saat suara ketukan yang tertelan menghentak-hentak daun pintu kamarnya.
“ Ran…,Ita…. Buka pintunya nak…. Suara itu masih sayup. Sita menepiskan guling yang sejak tadi dipeluknya kepinggiran ranjang. Mencoba mengumpulkan semua kekuatan. Kedua tangannya ditopang mendorong tubuhnya ketepian lalu mencoba berdiri walau masih agak getar menuju depan pintu dan membuka.
Tepat dibalik hamparan coklat daun pintu yang membuka ke samping dua pasang mata yang cemas segera kembali mencari alasan pada mata Sita. Matanya tak dapat menjelaskan perasaan lain selain rasa takut pada kedua mata itu. Sadar dengan apa yang terjadi keduanya menyerah dan tanpa menunggu segera menghampiri badannya, memeluknya, dalam dekapan erat yang lekat. Sita membalas pelukan itu tak kalah erat seakan ingin mendapatkan kekuatan dari pelukan tubuh itu. Dia sadar dia benar-benar membutuhkan kekuatan saat ini. Pelukan itu membawanya kembali ketepian ranjang, kemudian mendudukannya.
“ tenang nak, kamu musti tenang…….
Semua yang terjadi ini cobaan.. …
jangan terlalu dipikirkan…
Nak.
Belaian yang hangat membelai wajahnya yang masih sayu.
Semua yang terjadi ini cobaan.. …
jangan terlalu dipikirkan…
Nak.
Belaian yang hangat membelai wajahnya yang masih sayu.
Ga pa pa kok ma…
Sita cuma mimpi buruk… katanya masih agak getar.
Maaf sudah mengganggu tidur Ayah dan Bunda.
Sita sudah ga papa kok.
Entah darimana kalimat itu meluncur saja dari mulutnya.
Kali ini intonasinya jauh didalam. Rupanya jauh dibawah sana Sita tidak ingin membuat kedua orang tuanya lebih khawatir lagi. Sebuah senyum yang setengah lebar dipaksakannya tersungging membentuk lesung pipit yang tanggung. Begitupun senyum itu dipaksakan lesungnya tetap saja manis.
“ Ayah pikir sudah saatnya kamu menenangkan diri kamu Nduk, besok sore pergilah ke om Rahman ayah akan memesan tempat buat kamu malam ini “ seru Ayahnya sembari tetap menggenggam tangan anaknya.
tapi yah…. Sita sudah ga papa kok…. Mungkin hanya karena Sita terlalu capek yah sergah Sita berusaha mengelak dari ajakan papanya.
tapi Nduk ini bukan pertama kali kamu mengalami mimpi buruk itu dalam minggu-minggu terakhir ini. Mama pikir ayahmu ada benarnya juga….ada baiknya buat kamu untuk belajar melupakan semua yang pernah dan telah terjadi antara kamu dan…. Akh…..
Mungkin saja ommu rahman punya metode yang bagus agar kamu dapat melupakan persoalan ini sejenak nak…….
Mungkin saja ommu rahman punya metode yang bagus agar kamu dapat melupakan persoalan ini sejenak nak…….
Sita menjadi tidak nyaman dengan semua pertanyaan dan ajakan itu, dia merasa diperlakukan seperti seorang penderita kelainan jiwa yang serius. Untung saja belaian yang hangat itu masih membelai belahan rambutnya. Menciptakan ketenangan. Untuk sesaat Sita terdiam dan mencoba mencari alasan pada seluruh ruangan yang berpendar dengan sinar kelabu yang redup itu sebelum akhirnya kembali menundukan wajahnya menatap seprei bermotif seekor tikus dengan senyum manis yang lebar. Suaranya pelan tertahan dalam mulut
“ bunda …. Ayah ….. Sita pikir Sita cuma kelelahan…… entahlah semua ini terjadi begitu cepat dan sepertinya baru kemarin Wandan ada kembali disini …….. baru kemarin dia …….…. bunda……. Sita……… suara pelan itu pasti dan makin bergetar meninggi… sebuah bulir asin tanpa disadari dengan perlahan mengalir membanjiri bukit wajahnya. Sita tertunduk kembali….
Sepasang orang tua itu hanya dapat menarik napas panjang menyaksikan buah hati mereka tertelan dalam kepedihan. Mereka hanya dapat berharap hampa itu tidak bertahan lama dan menggerus terlalu dalam jauh disana. Tanpa perlu bertanya keduanya kembali memeluk tubuh berguncang yang saat ini telah duduk pada tepian ranjang, menepuk halus punggungnya, membelai halus rambutnya, menyeka keringat dingin yang membutir pada dahinya, meniupkan kata-kata penenang berulang-ulang perlahan dalam nada ritmis seakan-akan melafalkan kitraan. Melakukan apa saja untuk menenangkannya.
“ Lepaskan nak……
lepaskan semuanya……
jangan dipendam…
bagi kesedihan itu… …..
luapkan,…..
banjiri…….
jangan endapkan dalam batin.
Tanpa disadari sang suara yang menenangkan juga telah bergetar… Ayah Sita menghampiri pinggiran ranjang dengan segelas air putih, kemudian mengangkat perlahan wajah Sita….
“ Nak…..
ini minum dulu. Tenangkan dirimu……….
Sita meminum setengah dari gelas air itu sebelum menepis tegukan berikut yang hendak disodorkan ayahnya.
“ tidak ada salahnya kamu mencoba saran Ayah dan Bunda. Kami hanya tidak ingin Sita terlalu lama menyimpan rasa ini sendirian.
Tapi…… kalau kamu belum siap, Ayah dan bunda mengerti …
ibunya kembali mengambil peran,
sekarang tenangkan diri Sita, atau Sita ingin ibu menemani Sita malam ini.
Sudah lama Ibu tidak memeluk kamu saat terlelap bukan ?
Mata Ibu Sita bersinar penuh kekuatan pada kalimat itu. Sita kembali tersenyum tipis…..
“ ga usah bunda…… Sita bisa sendiri kok.
Lagian sekarang sepertinya Sita sudah agak tenang. Makasih ya Ayah, bunda…. …..
Lagian sekarang sepertinya Sita sudah agak tenang. Makasih ya Ayah, bunda…. …..
“….. ya sudah istirahat deh, jangan pikirkan lagi dulu soal itu. Tidur ya….
Pintu kayu itu menutup pelan…. Menghilangkan juga kedua sosok itu dari ruang. Sita masih menatap keduanya. Perasaannya memang belum tenang sepenuhnya, namun setidaknya saat ini tidak benar-benar kosong. Ada sebuah kekuatan dan dorongan yang konstan, perlahan tapi pasti merayapi relung. Sita mencoba menangkapnya dan memenjarakannya selama yang dia mampu. Dan kekuatan serta dorongan itu menjompak makin hangat di dalam sana . Sita kembali mencoba tidur walau mimpi itu belum juga selesai.
* * *
script. m burhanudin ; @tero2_boshu
script. m burhanudin ; @tero2_boshu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar