Jika Kau Mengerti | *cerpen


Dia selalu bercerita padaku kalau mereka berdua selalu berjanji untuk bilang “ I Love You “ setiap kali mereka berpisah, setiap hari. Dia juga bilang, kalau diakhir semua pertemuan, dia selalu akan melihat kebelakang setelah berlalu beberapa langkah.

Katanya dia ingin memastikan tiap hati mereka selalu saling merindu. Dia selalu ingin memastikan bahwa mereka berdua tak berpaut atas jarak dimana mata mereka tak saling memandang. Katanya, dia ingin memastikan kalau mereka selalu merasa jatuh cinta setiap hari.


Akh….Aku selalu membayangkan setiap peristiwa-peristiwa itu dengan sangat indah. Mengkhayalkannya sebagai sesuatu yang membelai di dalam perasaan. Bahkan aku telah  menempatkannya sebagai momen melankolis di dalam hatiku sendiri. Entah bagaimana aku selalu menempatkan semua remah kenangannya sebagai cermin bagi diriku sendiri, sampai-sampai pada titik tertentu aku seringkali merasa emosi itu sudah menjadi empati yang terlampau berlebihan. Bahkan omong kosong dan terus terang konyol untuk senantiasa dilibatkan dalam pikiran, berulang-ulang. 


Tapi bagaimana lagi, hidupku sudah berpaut dalam cerita-cerita itu melalui cara yang tak bisa kuurai sendiri. Aku sudah berendam kusut dalam kolam dingin perasaannya terlampau lama hingga tak ingat jelas lagi kapan awalnya dan akan bagaimanakah aku tenggelam. Aku terlanjur menangkap diriku dalam bayang-bayang kenangannya.

Baru saja lepas malam ini dia kembali bercerita kepadaku tentang apa yang baru saja terjadi. Katanya dia, merasa malam ini mereka bertemu kembali sebagai dua orang yang berbeda. Seakan dua orang asing yang tak pernah berada pada jalan hidup kenangan yang sama. Dia mengeluh kepadaku kalau Rina bahkan tak memandangnya saat mereka berpapasan, dan dia bingung juga tak habis mengerti bagaimana hidup bisa menempatkannya dalam situasi takdir seperti itu. sedrastis itu.

Gio, tak pernah tahu kalau disaat-saat seperti itu aku akan selalu tertelan dalam sesal perasaannya untuk dapat berkata dengan jernih dan cukup masuk akal. Dia bahkan mungkin tak pernah menghitung kalau apa yang kusampaikan padanya selalu adalah kalimat penutup rutin untuk keadaan seperti itu.

Ya, aku selalu akan mengulang kalimat itu setenang mungkin sambil menunduk dalam menyembunyikan raut mukaku sendiri.

Aku akan selalu bilang padanya kalau


“ itu semua bukan soal hidup Gi, itu soal ruang, waktu, dan keberadaan. Soal kehadiran.


“ Ruang mencipta jarak, waktu menghabiskan jejak ingatan dan ketiadaan.
ketiadaan teman, selalu menghanyutkan rindu ke laut tak bertepi “


Akh…. terlampau melankolis bukan kalimat terakhir itu. Apalagi bila disampaikan halus, merdu, dan sedramatis mungkin terbenam di kolam telinganya. Kata-kata sekuat itu pasti punya efek yang mengagumkan pada hati seseorang. Setidaknya aku merasakannya seperti itu dalam perasaanku sendiri.


Tapi masalahnya aku tak pernah bisa berkata sepuitis itu dihadapannya. Aku tak pernah cukup berani untuk bicara lebih terang. Yang bisa kulakukan hanyalah menggumamkannya dalam hatiku. Mulutku cuma mampu berkisah pendek soal waktu dan kehadiran sebelum kembali lelap diam. Dialah, dia justru yang senantiasa akan berpuisi pada tiap kata-katanya dalam keadaan seperti itu. Dialah seseorang yang akan selalu bilang :


“ semua hal yang dilakukan dua orang yang mencinta akan berpaut.
Setelah cinta mengait dua jiwa saling mengingat“


Kalimat sama yang selalu disampaikannya setiap kali aku memprotes keter “tenggelam “ annya dalam kenangannya sendiri. Kalimat yang kembali disampaikannya padaku malam ini.


Aku tak tahu lagi sudah keberapa ratus kali kami mengalami ulangan waktu se-brengsek itu. Sudah berapa kali kami membahas tentang kenangan demi kenangannya yang seakan tak akan pernah selesai. Sudah berapa ratus kali hatiku selalu miris memikirkan bagaimana dia bisa mengingat setiap detail mimik senyum dan gusar dari wanita yang selalu dipujanya itu. Setiap hitungan jumlah buah sawit muda yang jatuh di jalanan saat dia menunggu sang pujaan hati diujung portal asrama putri. Juga setiap kertas yang bertuliskan salam dan sekian surat yang selalu dibacakannya untukku seakan membacakan sebuah kitab suci.


Aku selalu terlalu kesal untuk dapat menimbang-nimbang perasaannya. Aku selalu akan berkata dengan gusar kalau :


“ Mungkin , itulah masalahnya Gio, itulah alasannya.
Mungkin dia memang ga cukup mencintai kamu lagi,
untuk mengingat-ngingat apa yang pernah terjadi “


dan sama pada setiap kali itu, anehnya aku selalu ga akan punya cukup keberanian untuk meneruskan kata-kata itu dengan kalimat.


“ mungkin dia memang sudah melupakan kamu “.


 Sama seperti malam ini.


Seperti biasa dia akan hanya terdiam pada tiap akhir kalimatku itu, seolah tak peduli. Dia hanya akan nampak gusar tanpa berkata. Dan aku hanya dapat memandanginya, larut bersama, mengantar malam yang akan menjadi panjang dalam kesunyian perasaan.


Bila sudah seperti itu, dia akan perlahan melangkah menuju pojokan itu. Melarikan dirinya tanpa terompet mundur dari apa yang sedang berkecamuk dalam batinku dan batinnya. Dia akan mendaratkan dirinya pada bantal duduk tua yang seakan sudah menyatu dengan dinding bata dan gipsum berperedam itu. Lalu meraih gitar dan bergumam. Gumam kesekian dari sunyi malam yang mendawai indah dalam setiap bunyinya.


Aku selalu terpaku pada ruangan bila dia sudah melakukan ritualnya itu. Tersentak setiap kali dalam gumaman-gumaman pelan itu. Bertanya-tanya betapa sekedar Hmm…nya yang rendah selalu dapat bercerita lebih banyak dari yang sudah dia sampaikan padaku lewat bibirnya. Aku akan selalu terluka pada tiap gumaman itu. luka yang kian lama kian perih, kian lama kian kalut hingga luruh menggenang. Aku selalu akan tenggelam tak kunjung mati.


* * *


Gio, aku selalu lebih suka menyebut dirinya dengan nama pendeknya itu daripada harus memanggilnya dengan sebutan lain, yang akan terdengar seperti terong busuk. Bagiku, susunan 3 kata yang membentuk namanya itu sudah terlampau sakral untuk dibandingkan dengan call sign yang membuatnya seringkali terasa absurd sebagai seorang yang kukenal sangat pendiam dan posesif. Aku ingin mengenalnya sesederhana Gio saja. Tanpa tambahan apapun tanpa kepura-puraan versi manapun.


Tapi katanya padaku, call sign itu cocok untuknya. Nama yang berasal dari sejenis boneka jepang itu penting baginya. Sepenting tugas boneka itu sendiri, tergantung melambai di depan rumah untuk mengusir roh jahat. Menurutnya nama itu semacam doa bagi dirinya sendiri. Dia bahkan bilang kalau dia ingin mencoba menjadi seseorang yang baru, menjadi orang yang berbeda melalui panggilan itu. Katanya dia ingin menjadi lebih ceria dan bersahabat, lebih bermanfaat. Akh... betapa itupun kontradiksi yang terlampau membingungkan saat ini.


Menemaninya di pojokan itu, kini selalu membuatku membenci kenyataan betapa keinginan otak dan kehendak hati bisa sangat bertentangan tanpa mengumumkan perang kepada siapapun. Sejujurnya aku membenci perasaan seperti itu. Perasaan ketika kejujuran menjadi sesuatu yang terlampau menyakitkan untuk dihadirkan. Perasaan ketika aku ingin berpaling dari kebenaran kepada kepura-puraannya. Perasaan ketika pertemanan ini seakan hanya membuatku menjadi semacam tukang sampah yang harus memungut tiap pahit kenangannya.


Aku tak bisa terus melihatnya membuat kami berdua tenggelam dalam tiap dengung gumaman rendah itu. Melihatnya terus memanggil semua roh jahat kekalutan dalam perasaannya. Melihatnya menyiksa dirinya sendiri sembari meninggalkanku terheran-heran betapa orang yang bisa sangat rasional menjelaskan sekian alasan dari sebuah kejadian dapat terus jatuh dalam jurang sentimentil sedalam itu tanpa mencoba untuk keluar darinya. Padahal dia bisa saja terbang dari semua alasan itu.


Fiuhh........

aku memang bukan sosok yang selalu rasional tapi tetap saja aku membenci bila dirinya menjadi sesentimentil itu.

“ udahlah gi elo kayak lagi manggil jaelangkung lagi. Ngumam-nguman begitu. Kayak bilang “ Datang tak dijemput, pulang tak diantar. Serem akh….. “


Gio menoleh pelan ke arahku sambil tersenyum tipis. lirih. Tergeragap oleh tatapannya aku berusaha acuh. Gio ga boleh menangkap kegugupanku disaat-saat seperti ini.


“ Gio aku balik dulu ya. Ini gerah banget make kebaya terus sampe malam. Sanggul-sanggulku juga udah pada lepas-lepas semua.


 Lagian kepalaku agak berat Gi. Pening kali berdiri lama-lama waktu resepsi tadi.


Aku berusaha mengucapkan kata-kata itu semantap mungkin. Selihai yang aku bisa agar kalimat itu tak terlalu terdengar seakan menghindar dan lari dari momen yang tak menyenangkan ini. Ya, aku akan tetap mencoba berbohong walaupun tahu kalau Gio pasti membaca isyarat mundur itu seperti melihatku yang kini berdiri agak limbung. Jelas sekali.


 Tokh kami memang bukan dua anak kecil yang baru merasakan ajaibnya emosi. Kami atau mungkin cuma aku sudah terlalu sering berusaha mengulang kebohongan-kebohongan yang kuciptakan untuk menguatkan diriku sendiri. Aku sudah terlalu sering berbohong pada diri sendiri agar mampu bertahan berjalan hingga batas dimana aku harus merelakannya tenggelam dalam benaknya sendirian.


Gio hanya memandangku kosong. Matanya jernih sekali, jujur. Katanya “ tunggu sebentar nes “. Sembari perlahan berdiri. Dia hanya berpaling kembali untuk menatapku sebentar, menggamit gitar yang tadi digunakannya dan melangkah perlahan menuju kamar produksi. Untuk sesaat aku termenung tanpa melangkah. Hingga perlahan suara dawainya yang bergetar, menyusup pelan melalui speaker yang tergantung disisi atas lorong menuju kamar produksi itu. Aku melangkah kesana membawa diriku yang tertegun.


Gio membunyikan dawai itu lirih sekali, selembut bunga kapas yang terbang dibalut angin, berlalu tanpa beban dibuai udara, menepi pada semua hati sambil mengirim pesan yang hanya sebuah isyarat berarti rindu. Aku masih saja membatu pada ruangan itu, membeku menatap pantulan diriku sendiri yang terlihat gamang pada kaca bening yang memburamkan dirinya dari tatapanku. Mataku berair dan mulai panas.

Oh…. Ruangan ini tahu betapa aku selalu membenci saat-saat seperti ini. Ruangan ini bahkan bisa bercerita tentang diriku sendiri. Aku sudah terlalu banyak membenci diriku sendiri untuk satu malam ini saja.


Tiba-tiba bunyi deras yang menghujam diluar sana menyadarkanku dari sesuatu yang hendak membutir di ujung kelopak mataku.


“ udah…nes, dia menepuk bahuku perlahan


Eh…. Kamu nanti baliknya sama aku aja ya. Mobilmu kan belum diganti bannya bahaya lagi kalo sedang hujan gini. Aku hanya terdiam mengunci diriku sendiri yang belum begitu sadar dari ketertegunan yang baru lewat. Gio kembali mengisi tiap spasi kosong yang tercipa itu dengan kata-katanya sendiri


Ini rekaman lagu yang tadi,

ehmmm tolongin bikinin syairnya ya nes.
Biar ga jadi mantra buat manggil jaelangkung. Dia tersenyum kembali di akhir kalimatnya sendiri dan aku mau tak mau harus ikut tersenyum. Tipis, pelan dan perlahan.

* * *


Waktu memang tak cukup sering membuatku tersenyum, tapi tidak di setiap pagi. Mendengar siaran Gio dalam perjalananku ke kantor selalu memberiku semangat untuk memulai hari. Suaranya sudah menjadi razones para vivir en la mañana bagiku. Dia selalu menjadi alasanku untuk cepat bangun pagi. Entah bagaimana dia memang selalu dapat meniupkan sedikit ruh semangat.


Aku sedang mendengarnya saat tepat di simpang ring road menuju kota sebuah nada lembut tanpa permisi menyeruak dari speaker dihadapanku. Bunyi-bunyi itu teramat pelan, lirih. Tapi aku mengenali nada itu, mengakrabi setiap bilah kata yang terucapkan itu, kata demi kata, bait demi bait.


Jika kau mengerti ( * )


Tlah kulepas semua kenangan
Tentang indah dirimu
Namun semua tak semudah itu
Saat malam ingatkanku

Biarkanlah bulan,
Tertawa kesepian
Berteriak kencang,
Hatiku berkata
“ ku masih butuhkanmu “

Jika kau sadari....,
Betapa besar aku menginginkanmu
Jadi yang terbaik dihatiku
Jika kau mengerti ............
betapa besar artimu bagi hidupku


Ok, that is
" belasting " with jika kau mengerti dan elo semua masih terus sama gue di tempat mangkal anak muda. Graha Puskud Lt. 3 No. 34. Apa kabar buat semuanya yang baru dalam perjalanan ke kantor.. he...he... telat ya bro. Mudah-mudahan bosnya juga ikutan terlambat deh biar elo ga dimarahin. 

By the way
mau kirim salam dulu nih, buat yang belum nongol di kantor. Tumben telat. Aniwei just wanna say thanks alot buat yang udah bikinin syair dari lagu yang tadi baru aja kita denger. Handalisme banget kan kerabat muda semua. The big pointnya is gue pingin bilang “ thanks untuk selalu tahu apa yang ingin gue katakan..

Kata-kata berikutnya tak lagi jelas terdengar. Aku hanya merasakan sayup-sayup bunyi yang kian menghilang digantikan bunyi lain yang mengalir saja dalam ruangan mobilku. Semesta hatiku terasa kian kosong, kesunyian itu merambat perlahan memenuhi hatiku. Detik berikutnya ketika aku menemukan diriku kembali didepan gerbang kenangan aku harus berkata pelan pada diriku sendiri. Perlahan dan gemetar

 


* * *


Tepat saat jam siarannya selesai, dia menghampiriku kembali untuk bercerita. Dia duduk di tepian tangan kursiku sambil tersenyum dan mata bersinar. Awalnya dia bercerita tentang betapa senangnya dia menerima syair lagu itu. Menurutnya lirik itu sesuai dengan suasana ketentraman dan ketertiban dalam hatinya. Bahasanya “ pas banget “ dia kembali mengulang frasa itu.


Binarnya belum lagi redup, saat dia kembali bercerita padaku tentang hal lain, kali ini film. Salah satu obrolan yang disenanginya. Siang ini dia bercerita kembali padaku.. Katanya dia menonton filmya demi moore malam tadi, judulnya indicent proposal. Katanya dia menyukai film itu.


“ Banyak banget kata-katanya yang bagus... “ ucapnya


 Aku juga nonton kok gi, balasku


 Oh ya ..... ?
emang kamu suka nonton film drama ?

sejak kapan ?

tumben kamu suka !


 Filmnya memang bagus kok, balasku lagi.


Gio belum berkata lagi, hanya matanya yang bersinar sangat cerah saat itu. Dia seperti menemukan tiap dirinya sendiri dalam percakapan itu. Aku cuma bulan yang berbagi cahaya indahnya.


“ masih ingat potongan dialog yang paling bagus, inget ga ?


 Inget dong.....


 Yang mana ?


 yang ini kan.....


Have I ever say I Love You “


“ no “
balasnya

I do,
ucapku

Still..... ?

 Always !


Di akhir kata itu, aku merinding tak bisa menepiskan tatapan matanya yang merajaiku.
  

----------------------------------------------------------------------------------------------------
 

| M Burhanudin B / @tero2_boshu
my lovely compie. 01 September 2009

* terinspirasi oleh lagu belasting " Jika Kau Mengerti "

Terimakasih buat Romi untuk 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar