in memoriam of senioritas (*cerpen)



“ Senioritas semakin jauh dari ganknya. Aktivitas kampus yang lumayan ekstrim dan amat ditakuti oleh yuniornya itu tidak pernah lagi menampakkan diri akhir-akhir ini. Perlahan namun pasti pergi dari peredaran. Ujung-ujungnya, gank-nya yang dulu sampai membuat stres ( tapi tetap punya kharisma ) mulai kehilangan power “.

Brengsek, anak baru yang katanya anak pejabat itu kurang ajar bener sama gue. Masa dia nolak waktu gue suruh ngambil air di kantin” ada salah satu kroco senioritas yang konon jago mukul dengan trik tendangan bayangan tanpa disadari yunior. Hanya bisa complain nggak mampu bertindak lebih.

“Ah itu sih masih bisa ditolerir. Kali aja kakinya keseleo atau mentalnya lagi nyakit. Lha gue ? bener-bener dilecehin yunior waktu lari siang kemaren. Malah ada yang suit-suitin tahu nggak lu? Dulu, mana berani kita tetap tinggal di tempat kalau ada senior yang dihukum. Spontan kabur kayak lihat hantu” versi lain yang cukup memerahkan telinga.


“ Jangan membanding-bandingakn angkatan. Percuma semua juga tahu kalau angkatan kita yang the best. Tanyakan saja pada Bung Respek dan Bung Loyal”.
“Tapi, kita seharusnya prihatin dengan future kampus kita. Kalau atmosfirnya mulai berubah, apalagi yang membedakan kita dengan sekolah-sekolah lainnya ?”
“ Itu sih bukan urusan kita. Yang penting kita bisa kuliah, lancar dan mulus. Nggak berurusan dengan Bung Ransel, jadi alumnus dan kerja.”

“Apatis ! artinya kamu nggak punya sense of belonging dong terhadap almamater. Peduli dong, peduli !”
“Maksud kamu, yang kita peroleh dari angkatan-angkatan sebelumnya harus kita turunkan ke yunior dan juga angkatan selanjutnya agar terjadi persamaan pembinaan ?” Saya setuju sekali. Tapi toh kita bisa memilah-milah mana yang baik kita wariskan dan mana yang harus dibuang. Kita toh punya logika dan bukan sekedar show of force. Kita toh pernah merasakan kejamnya pembinaan yang over dosis. Kita toh boleh membijaksanai. Iya toh ? nggak sekedar mewariskan saja. Ada porsinya, harus proporsional, yang sehat lah ……….”

“Lho kok kita jadi berantem sendiri. Satu angkatan yang kompak lah. Jangan karena masalah yunior kita jadi pecah. Bung senioritas ke mana sih ? di saat-saat kacau begini seharusnya dia hadir di tengah-tengah kita. Bukannya lari. Atau …….. ada yang melarikan diri ? menculik dia ? atau berusaha melenyapkan dia. Wah ada unsur kolusi dan reformasi nih. Bahaya untuk masa depan kampus. Cari solusi. Tapi apa ?”

Semua kasak-kusuk, memangnya senioritas ke mana sih, info terakhir, ia dicekal Rektor karena dinilai terlalu vokal dan pretensius saat memaparkan rencana ospek mahasiswa baru. Isinya memang cukup seram dan bakal membuat mereka shock. Surprise !!! SENIORITAS DICEKAL ABISSSS. Untuk beberapa saat nggak boleh membaur dalam kegiatan kampus yang visinya jauh ke depan tersebut. Menghasilkan output yang akan memegang posisi vital dalam pemerintahan. Pencekalan yang belum pernah ada presedennya dalam sejarah aktivitas kampus. Apalagi yang berkaitan dengan yunior-yunior baru. Kronco-kronconya yang sudah gatal menanti momen bersejarah untuk menjungkirbalikkan mahasiswa baru dengan alasan pengosongan kembali serta pembinaan mental yang baru yang mendadak lemas tak bertenaga. Bukannya takut sih menghadapi siswa baru yang mayoritas berasal dari golongan the haves. Tapi apalah arti rotasi kampus tanpa senioritas. Sosok yang dituakan, disegani yang mewarnai kehidupan kampus, yang menjaga wibawa senior di mata yunior, yang amat sensitif pada pelecehan.

Ya, apa solusinya. Demo ke gedung rektorat ? wah bukan zamannya lagi. Negara kita amat demokrasi (katanya), bukan barbarian. Pro otak kontra otot. Mogok kuliah ? pemikiran kerdil. Bukankah segala sesuatu yang diawali dengan kebaikan akan berakhir dengan kebaikan pula ? nah kalo pencarian solusinya diawali dengan niat buruk, bisa ditebak ending-nya juga. Atau rekonsiliasi dengan Rektor ? wah sulit. Susah berjiwa besar itu. Polling-pun disebar. Hasilnya sudah bisa ditebak. Pro dan kontra. Sebagian kecil (kecil sekali) setuju senioritas dienyahkan dan sebagian besar tidak setuju. “Dia terlalu kejam. Tidak punya rasa kemanusiaan. Mengambil hak mahasiswa baru yang polos. Yunior-yunior yang sudah satu dua tahun tinggal di sini pun masih diperlakukan sama. Sudah saatnya ia makan karma. Lagipula apa sih manfaatnya ???. Megalomania, pretensius, powervisionist, apa tidak ada alternatif lain untuk bisa tetap dihargai ?”

Sementara yang pro :
“Kita harus mengembalikan senioritas ke tengah-tengah kita. Jangan sampai sistem binasa. Percayalah tanpa dia akan muncul ego tiap angkatan. Akan tumbuh ketidakaturan dan saling menghujat. Bayangkan hidup tanpa rasa menghormati dari yang muda ke yang tua. Prosedurnya memang salah, kita akui itu. Tapi hanya itulah yang bisa kita petahankan dan hanya karena dengan itulah kerespekan dan loyalitas tumbuh. Kamu yakin semua itu bisa muncul tanpa paksaan ?”

Akhirnya digelarlah seminar sehari. Didalangi oleh sebagian kecil sahabat-sahabat senioritas yang masih punya rasa memiliki terhadap masa depan alamamater. Sengaja dihadirkan tokoh-tokoh vokal dari senat dengan kesamaan misi, menggugah hati yang mulai menghianati senioritas. Kecuali mahasiswa baru yang masih memakai seragam hitam putih, semua mahasiswa diikutkan. Biar ramai dan heboh. Sekaligus ingin melihat respon apakah mereka setuju senioritas dipulangkan di tengah-tengah mereka atau biarlah tetap dicekal dan pensiun dari semua aktifitas. Hening ………. Di kursi bagian depan duduk senior-senior kampiun. Bung Stelling, Bung PPM Bung Loyal, Bung Respek, Bung Perdupma, dan Bung Ransel yang datang tergopoh-gopoh dan senantiasa sangar. Dia baru saja mengeksekusi salah seorang yunior yang bandel. Nggak percuma dia dijadikan kepala pembinaan mental kampus. Semua mahasiswa (apalagi yunior) keder melihatnya. Dan berjanji untuk menjadi mahasiswa yang baik. Tapi bernasib baik kan sulit, friends….

“Intinya kita semua harus jujur kalau kita menginginkan bos kita kembali. Tapi kalo ada pertimbangan lain, oke. Kesempatan untuk berbicara terbuka lebar. Yunior, jangan berpresepsi sistem di sini akan membungkam mulut kalian. Kami tahu kapan menempatkan diri sebagai senior dan kapan sebagai mitra. Nah, ada rekan-rekan atau adik-adik yang mau berbicara ? kalau ada yang segan pada kharisma senioritas, kebetulan dia tidak ada. Jangan khawatir, tidak ada kelanjutannya di luar ruangan ini” prolog dari bung perdupma yang selama ini membantu Rektor mendata peraturan-peraturan yang harus dipatuhi mahasiswa.
Lama baru ada yang mengacungkan jari, ternyata puteri. Rekan mereka juga. “Saya rasa ada baikya senioritas dicekal pak …………”
“Huuuuuuuu….. yang lain bersorak protes. Tapi mendadak diam begitu Bung Respek dan Bung Loyal kompak menggebrak meja.”
“Gimana gitu ya, saya orangnya nggak tegaan sih. Sementara perilaku senior kita sama-sama tahulah, kurang manusiawi. Tidak pantas diterapkan bagi kader pemimpin seperti kita. Tanpa kita sadari, kita telah menanamkan sifat penyakit gila hormat, kesewenangan terhadap yang lemah, kekerasan dan otoriter. Sudah saatnya dibenahi”
“Ya, saya setuju !” teriak seorang yunior dengan tegar. “karena tingkahnya yang sadis mengatasnamakan Bung Loyal dan Bung Respek, saya kira masih banyak cara lain yang manusiawi. Tidak perlu memakai tangan atau kaki. Perintah sana perintah sini. Coercif power-ah, naif sekali. Hitler gaya baru.” Bung PPM melotot.

“Tahukah kamu kalau rasa hormat itu tidak bisa muncul dengan sendirinya ? harus ada alat. Dan senioritas, pahlawan kita telah membuka jalan ke sana”. “niatnya bagus, tapi caranya salah”. Yunior tadi ngotot. Kalau senioritas ada di sana, bisa jadi ia dipanggil ke ruang senat untuk hadiah pengototannya. Bukk !!
“Yang posisinya masih di bawah memang banyak complain-nya, dan bisa dimaklumi. Tapi sebentar lagi kamu akan jadi senior. Pada saat itu kamu akan merasa malu kalo mengingat pendapatmu barusan. Rasakan bagaimana dongkolnya dilecehkan yunior. Kamu tahu, kakak dulu adalah demonstran yang paling gigih melawan sistem. Setelah menjadi senior ………. Berbalik 360 derajat. Jangan banting pintulah, kadang kita ternyata mesti kembali lewat pintu itu” nasihat Bung Loyal prihatin. Yunior tadi ternganga. “Saya tetap tak setuju” tiba-tiba terdengar lengkingan kecil dan pemiliknya sama kecilnya. Menilik dari ekspresinya, kayaknya selama ini dia sudah banyak diperlakukan tidak manusiawi.” Saya bosan dengan susasana kampus yang hotter than hell dan sama sekali tidak mencirikan tempat kawah candradimuka calon pemimpin. Apa-apa dibatasi, kehilangan hak dan selalu diintai. Marilah kita bikin suasana baru yang lebih sehat” sarannya malu-malu campur takut. Yang lain menahan nafas. Dag dig dug. “Kekeluargaan bukan rasa ketakutan”.”Huuu, bersorak lagi, malah ada yang tertawa terpingkal-pingkal geli.
“Hei, kamu salah masuk jurusan. Seharusnya kamu menjadi pengikut ibu Theresa. Jujur saja, kamu sudah tahu kerasnya pembinaan kampus ini sebelum masuk kan ? kenapa berusaha merusak tradisi ? kamu teroris ya ? ada yang memperalat kamu ? siapa di belakang kamu ?” Selidik Bung Ransel dingin. Anak ceking itu duduk dengan wajah pucat. Sia-sia suara orang kecil memang seperti angin lalu. “Ada pendapat lain ?” Bung Perdupma simpatik. Ya tak semua senior itu perlu ditakuti. Tapi kata Lee Kuan Yew : Lebih baik ditakuti daripada dicintai. Ditakuti berarti kita punya arti.
“Saya setuju bila seniortas diturunkan lagi ke kita. Ingatlah adik-adik, apa-apa yang kalian rasakan pernah kami rasakan, dan apa-apa yang sekarang kami rasakan akan kalian rasakan juga. Hanya soal waktu. Segala sesuatu akan ada waktunya. Kalau kami bisa melewati masa-masa sulit itu, kenapa kalian tidak ? Buktikan kalau kalian tidak cengeng. Ingat ketegaran di sini akan membantu kalian di lapangan. Ikuti arus, tapi jangan sampai terbawa arus, setuju …..?”.

“Setuju ……….!” Bung PPM angkat bicara. “Hanya menambahkan sedikit, sekaligus jadi pertimbangan bagi kita semua. Saya diberi wewenang untuk mengurus kepeduliab yunior terhadap senior dalam hal penghormatan. Dan saya menilai tingkat penghargaan mulai minus. Terjadi dekadensi dan krisis penghormatan. Apa kita suatu hari nanti, kita cuma just say hello tanpa angkat tangan lagi ? Ingat, menghormati seorang kakak tidak akan membuat kita bokek atau mati. Yang tua memang harus dihargai, toh ? Di lapangan nanti ada atasan dan bawahan. Kalau di sini telah jadi habit, nantipun akan terbawa sikap demikian. Bagaimana kita dihormati oleh orang lain sedang kita sendiri tidak bisa menghargai orang lain ?”

“ Dan saya Bung Steling kesigapan dan decision making kalian saya nilai amat kurang. Gimana output kita nanti coba ? Klemar-klemer ? Sekolah kita visinya leadership yang cepat tanggap. Contoh kecil, bagaimana kalau ada kerusuhan dan kita sebagai kepala wilayah bangun tidur dengan ele’ ele’an ?. Percayalah seaneh apapun pembinaan kita terhadap yunior, ada manfaatnya. Buka mata kalian…”. Hening. Introspeksi diri.
“Maaf” Puteri lagi “agak menyimpang sedikit dari intinya. Sekarang mari kita bicarakan mengenai figur dikaitan dengan loyalitas. Seorang pemimpin harus mampu memberikan yang terbaik hingga pantas menjadi anutan. Terlepas dari jabatannya, dia memang manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Tapi idealnya dia kan harus perfect. Setidak-tidaknya didepan bawahan. Nah, kita tidak bisa menutup mata kalau kita selama ini kurang menghargai nilai dan prestise kita didepan yunior. Kita membina adik agar mereka baik dan tidak melanggar peraturan. Kita hukum bila salah, tapi tanpa kita sadari kita sendiri sering memberi contoh kurang baik. Artinya kita hanya berteori tapi tak berpraktek. NATO, no action talk only. Bagaimana yunior bisa respek dan loyal ? dari sinilah awalnya perlawanan itu terjadi dan kita vonis kalo itu pelecehan. Padahal yang salah kan kita”.

“Ah…kamu menjatuhkan angkatan sendiri” sungut Bung Ransel risih. Suara gumaman terdengar dimana-mana. Yunior senyum-senyum. “ Tidak. Sekedar introspeksi untuk adik-adik. Agar mulai mempersiapkan diri menjadikan atasan yang lebih banyak dicontoh. Coba lihat keluar. Mahasiswa-mahasiswa baru yang tengah belajar PBB itu polos sekali. Ibaratnya mereka kertas putih. Yang menjadikan mereka hitam, pink, atau kelabu adalah kakak-kakaknya. Khususnya adik-adik tingkat dua yang jadi operasional. Tolonglah dicamkan. Intinya seniotirtas kita harapkan pulang, tetapi kita usahakan agar agar ada perubahan pada kinerjanya dan citranya. Jadi tak perlu ada yang hilang antara kita”.

Pendapat yang kontroversial untuk kampus itu. Tapi semua terhipnotis mendengarnya. Apa yang menyatakannya adalah seorang puteri yang selama ini menjadi peredam dan dapat menjadi motivator bagi putera yang krisis mental. “ Kesimpulannya berbanggalah kita menjadi bagian kecil dari kampus tercinta ini. Kita tersiksa, tapi kita bangga jika tetap tegar. Tidak ada pelaut ulung dilautan yang tenang. Anggap saja semua yang kita alami disini adalah riak kecil dalam revolusi. Itu kata bijak dari Bung Karno. Badai pasti berlalu. Klise, tapi toh tetap jadi kalimat penghibur ditiap angkatan. Rekan-rekan dan adik-adik, apakkah kita menghendaki senioritas dikembalikan ketengah-tengah kita lagi atau biarlah ia pergi…” seru Bung Perdupma membahana.
Hening lagi………….

Mungin memang tak perlu dijawab. Karena tak cukup hanya berkoar-koar, tapi bertindak. Kepada pembaca, mungkin ini hanya sebagian kecil dari banyak hal-hal besar yang terlupa atau tak terpikirkan sama sekali. Bisa juga sekelumit cerita diatas sekedar intermezzo, pengisi waktu senggang. Banyak hikmah yang dapat kita petik dari sekian tahun kita berada di kampus ini. Masalahnya, apakah kita dapat melihat dan merasakan hikmah itu ? Kalaupun bisa, maukah kita menarik hikmah itu ?

- andhita - *


( ada ga yang tau nama asli kakak ini.. ga ?
sepertinya anak teater persada
anak teater ada yang tahu kah ?

ditulis kembali dari sebuah cerpen lama yg mungkin relevan
pada tumpukan berdebu Majalah Abdi Praja

1 komentar: