PNS (sebuah curhat tak tentu)


Public servant.  Kata itu dalam makna paling literal, paling harfiah bermakna pelayan publik. Pelayan masyarakat. Saya tidak tahu padanan kata itu dalam bahasa yang lain. Namun dalam bahasa indonesia. Public servant ini diterjemahkan dengan bebas sebagai pegawai negeri sipil. Padanan ini tentu kita dapati tidak sangat tepat !

Saya berpendapat bahwa sebutan pegawai negeri sipil itu tidak lebih dari gambaran mudah upaya mendikotomikan pekerja (pegawai.pen) yang bekerja untuk negeri (negara) dan sipil, dari pegawai negeri lain yang bukan sipil, melainkan militer.  Lebih jauh lagi sebutan itu, menurut saya hanyalah eufemisme untuk menyebut orang gajian yang menerima upahnya dari rakyat.

Tapi, mengapa meributkan sekedar padanan kata, singkatan dan atau penafsiran itu saat ini. Terutama setelah sekian tahun berada dalam pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil itu. Terus terang saya tidak bisa menjawab lebih jujur pertanyaan itu dari sekedar persoalan emosional saja.

Baru saja... sore ini saya membaca sebuah blog yang menulis seperti ini 

“ lalu aku teringat. setelah aku bekerja, semakin aku nggak bisa menghormati PNS, saking banyaknya kejadian yang aku alami sendiri, tentang bagaimana nggak tau malu dan mata duitan dan nggak bertanggung jawabnya mereka sama kerjaan mereka sendiri “

Kalimat itu dengan segera membelokan saya dari keinginan untuk menulis tentang diskriminasi dan hegemoni budaya kepada soal PNS dengan segala tetek bengek penafsiran, singkatan, padanan makna dan entah apa lagi.

Saya tak tahu jelas, kapan tepatnya profesi sebagai pegawai negara mulai menjadi bahan olok-olokan dan ejekan. Namun saya mengira, ejekan itu tercipta bersamaan dengan terciptanya pemerintahan. 

Saat pemerintah diciptakan, kontrak sosial yang memindahkan beban dan tanggung jawab juga kehormatan memerintah itu sepertinya diserahkan juga bersama-sama dengan keranjang sampah. Keranjang sampah itu sendiri sepertinya perlambang dari  segala sesuatu beban yang tak ingin dikerjakan masyarakat dan karena itu diserahkan pada pemerintah. Lebih dari itu, saya mengira keranjang sampah itu mungkin juga sarana agar pemerintah dan perangkatnya bisa membuang sedikit demi sedikit integritas dirinya sampai hilang dan dengan demikian, kita bisa terus membentuk pemerintah baru, juga membeli keranjang sampah yang masih mengkilap.

Bila demikian, pemerintah yang terejek dan diolok-olok, pegawai negara yang tak becus, tak peduli dan tak bertanggung jawab mungkin adalah sudah galibnya. Sudah dari sananya dan mesti akan tetap begitu. Betapapun baiknya berusaha, pemerintah mungkin memanglah dibentuk untuk juga menjadi kambing hitam dan harus siap menerima lemparan. Tomat dan telur busuk, jarang sekali bunga.

Perkiraan saya itu mungkin tidak salah, tapi penjelasan yang mengikutinya tentu bisa kita debatkan. Kenyataanya saya mendapati juga kalau kesimpulan seperti itu tidak pernah cukup dan memang tidak menyelesaikan apa-apa. Termasuk menyelesaikan keresahan seorang pegawai negara muda yang terejek.

Mau tidak mau saya menyadari dan tentu membenarkan pernyataan bahwa cap buruk yang diletakan di dahi para pegawai negara dan tentu negara itu sendiri, jelas adalah sebuah kesimpulan empirik yang dilatarbelakangi oleh pengalaman masyarakat ketika berhadapan dengan birokrasi dan tentunya para pegawainya. Penggalan blog yang terbaca diatas misalnya sama sekali tak ada hubungannya dengan pemahaman filosofis tugas negara lain untuk “mau tidak mau” juga menjadi keranjang sampah.

Namun kemudian, apakah dosa terbesar Pegawai Negara itu sebenarnya ? yang membuat mereka pantas di ejek dan dipermalukan seperti hari ini. 

Bagi saya, dosa itu tidak lain adalah ketidak pedulian dan sikap malas yang sangat tidak bisa ditoleransi lagi. menurut dua orang teman yang ada di samping saya (*lirik @iphankdewe dan @almascatie) dosa itu adalah korupsi yang menggurita pada semua jenjang pemerintahan dan aparat negara. Dalam bahasa lain yang lebih lokal dan telanjang. Keduanya menyebut dosa terbesar itu sebagai dosa “ PANCURI “.

Untuk yang satu ini, saya tidak sangat setuju dengan mereka berdua. 
Bagi saya masalah yang lebih berat dalam pekerjaan pegawai negara itu tetaplah soal ketidakpedulian,ketidak becusan dan malas itu. Singkatnya saya hendak menandaskan kalau (pegawai negara) yang tidak mencuri pun akan menjadi sangat tidak berguna bila tidak peduli, malas dan tidak capable.

Mengapa saya berpendapat seperti itu. (siap-siap, saya akan mulai membela diri dan membuat penjelasan panjang lebar *nyengir selebar-lebarnya). Begini.......

Saya yakin kita semua (*seperti  juga @almascatie dan @Iphankdewe) pasti, bisa membuat variabel dan indikator mengenai dosa-dosa para pelayan negara itu dari mulai yang terkecil sampai yang paling fenomenal dan spektakuler. But then, so what ?

Setelah sekian tahun kesadaran tentang korupsi dan buruknya birokrasi serta kinerja pelayan negara di negeri ini menghampiri kita, kita toh belum benar-benar berhasil membubarkan birokrasi yang lelet dan selalu lebih sering macet-macet itu. Juga para pegawai negara yang diolok dan terejek itu kelihatannya sedikit sekali berubah dan rasa-rasanya kok seperti hampir tidak pernah melakukan sesuatu (*nampar diri sendiri berulang kali).

Apakah ini, karena civil society yang kurang berusaha “lebih” keras ataukah karena kepedulian dan rasa tanggung jawab memang adalah masalah besar dalam profesi sebagai pegawai  negara hari ini. Seperti yang telah teman-teman baca sebelumnya, saya jelas lebih memilih pendapat paling akhir.

Ketidakpedulian dan rendahnya rasa tanggung jawab, diluar korupsi, percayalah adalah dosa terbesar Pegawai negara dan terutama adalah sebab rendahnya penghormatan terhadap profesi sebagai pegawai negara hari ini. Betapa tidak, ketidakpedulian dan lack of responsibility itulah jua sebab hilangnya motivasi dan kehendak berinovasi yang membuat PNS jatuh, makin dalam didasar lobang ejekan ketidakmampuan menyelesaikan masalah. Ketidakpedulian itulah jua yang membuat pegawai negara bisa merasa berkuasa sementara lupa bahwa tugas mereka adalah pelayan atas rakyat yang membayar mereka untuk menyelesaikan persoalan. Persoalan yang tak pernah terasa terselesaikan.

Profesi sebagai pegawai negara hari ini (*sebab ketidakpedulian itu) dengan sendirinya seakan bertransformasi menjadi profesi bagi orang-orang arogan dan tanpa peduli. Profesi  bagi manusia dengan sumber daya otak yang cekak, yang tak mampu mengantisipasi perubahan yang bergerak cepat mendahului mereka.

Pada akhirnya profesi sebagai pegawai negeri sipil saat ini nampaknya tidak lebih sebagai pilihan mudah dan tidak beresiko untuk mendapatkan jaminan penghasilan dan pensiun. Hasilnya Pegawai Negeri Sipil dalam kesimpulan yang sangat terburu-buru lalu kita simpulkan sebagai sekumpulan orang-orang penakut yang tanpa mimpi dan motivasi besar yang akhirnya melarikan diri pada selimut nyaman bernama pegawai negara. Suatu gambaran yang dengan bersemangat tentu saya dukung. Kenyataanya memang seperti itu di banyak tempat.

Hanya saja saya juga hendak menyampaikan bahwa kesimpulan terburu-buru dan tanpa pandang bulu untuk mengelompokan birokrasi sebagai sarang dari orang-orang sakit dan sebaliknya mendefinisikan pilihan profesi di private sector dan aktivis civil society sebagai komunitas orang-orang berakal sehat yang dengan telanjang bisa menyebutkan kesalahan-kesalahan kutub yang lain. Juga tidak sepenuhnya tepat, dapat digeneralisasi dan sepenuhnya saya dukung. Pada titik yang lain saya hendak juga mengikutkan pendapat bahwa semua pihak “tentu saja” memiliki kekurangan, dan hendaknya tidak berlupa bahwa pada titik paling dasar kita semua pada hakikatnya adalah sama-sama manusia yang bukan kumpulan bangunan dan atau komputer serta mesin ketik saja.

Kebanyakan pegawai negeri memang adalah “sama seperti saya” manusia yang dengan cepat menerima peluang yang ada dihadapannya dan memanfaatkannya tanpa terlebih dahulu berpikir tentang pilihan-pilihan yang mungkin lebih baik di masa yang akan datang.  kebanyakan dari kami memang manusia biasa saja yang umumnya tak hendak meresikokan sesuatu bila ada jalan yang lebih aman mudah untuk ditempuh. Singkatnya Kebanyakan dari PNS memang hanya manusia kebanyakan seperti anda juga.

Saya sendiri tak ingat lagi, mengapa setelah lulus SMA saya memilih masuk STPDN dan akhirnya menjalani profesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (ya... teman-teman, saya sekolah di sekolah beken itu. Selamat bertemu dengan sedikit manusia di negeri ini  yang telah dikelompokan sebagai manusia beringas dengan insting membunuh * siap2 pose dihadapan kamera). Jawaban termudah yang saya ingat hanyalah karena terlanjur lulus dan mengikuti kehendak orang tua yang pada waktu itu “ sepertinya” terlihat bangga. Anehnya dalam lingkungan yang seringkali dipandang serba kontradiktif itulah saya juga belajar tentang idealisme dan idealnya seorang pegawai negara.

Percaya tidak percaya, kebanyakan pegawai negeri sipil yang malas tak peduli dan sering tidak bertanggung jawab itu pada mulanya adalah juga anak-anak yang hendak membanggakan orang tua. Sedikit diantara mereka bahkan anak-anak yang bermotivasi untuk melakukan perubahan di pemerintahan. Anak-anak muda penuh motivasi dan mimpi yang adalah cream of the crop di masa menempuh pendidikan. Anak-anak muda dengan integritas yang kemudian berkenalan dengan birokrasi, menghantam temboknya, kecewa dan akhirnya tak peduli dan mengecewakan diri mereka sendiri.

Maka jangan salah. Dalam kepala banyak pegawai negara yang muda-muda itu  nyatanya juga terjadi debat tentang mengapa profesi yang seharusnya menempatkan mereka pada posisi terdepan melakukan perubahan dan melayani masyarakat nyatanya memang seringkali kontradiktif dengan harapan mereka  dan alih-alih menempatkan mereka dalam posisi sebagai penjahat dari harapan masyarakat.

kebanyakan dari mereka seperti juga saya seringkali kecewa, iri dan merasa rendah diri. Soal rendahnya rata-rata penghasilan mereka dibandingkan teman-teman di private sector, kompleksitas pekerjaan mereka,yang mereka anggap tak menantang dan hilangnya fokus atas tujuan juga stigma yang terlanjur melekat seringkali membuat anak-anak muda itu menjadi personal yang under achiever. Lebih dari itu seringkali mereka menjadi personal yang resisten terhadap kritik, menolak untuk berubah karena merasa tidak peru berubah kalau tak kunjung jua dihargai secara profesional. Lacurnya, seringkali merekapun sudah lupa apa itu profesionalisme. Dan dari sudut pandang mana mereka harus menerapkan profesionalisme dalam bekerja.

Kesalahan kebanyakan Pegawai Negeri Sipil termasuk dan terutama para pegawai Negeri yang muda dan Fresh Graduate dari lembaga pendidikan tinggi adalah perasaan bahwa quality  only comes with the good prices. Seringkali alasan profesionalisme yang bersanding dengan prices, fare, salary dan sebangsanya membuat mereka tidak melaksanakan apa yang mereka mengerti bisa mereka lakukan dengan cara yang lebih efektif dan lebih baik dalam dunia kerja. Pilihan menjadi Pegawai Negara seakan membuat mereka kehilangan inovasi dan merasa sudah semestinya berhenti dinamis dan berkreatifitas dalam masalah pekerjaan.

Selebihnya “yang” terlebih dahulu merasa telah menganalisa persoalan birokrasi pegawai negera sebelum menjadi PNS “merasa” harus menunggu perubahan menyeluruh dalam sistem kerja pegawai negara sebelum mengimplementasi apa yang mereka tahu dan bisa mereka lakukan. Tanpa sadar kita (btw.saya juga pernah seperti itu) telah merelakan diri tereduksi menjadi semacam robot yang mengaktifkan metode bila ditekan tombolnya oleh entah siapa di negeri yang jauh. Tanpa sadar dan tanpa merasa, kita telah menjadi manusia tanpa peduli dan disanalah dosa sesungguhnya mungkin bermula.

Namun sebelum lebih jauh, mari kita duduk sebentar dan coba mengerti bahwa kebanyakan pegawai negara itu sama seperti seluruh mahluk manusia yang ada di muka bumi saat ini adalah juga korban dari konsumerisme dan materi yang mereka sendiri ciptakan. Kesalahan mereka adalah mereka mengambil posisi sebagai pekerja negara, pelayan masyarakat yang dalam banyak kitab agama seharusnya mulia dan tak banyak bercela. Pada kondisi ini maka janganlah menyeru mereka untuk tak menyadari nilai kerja dan uang serta benda lalu mengharapkan mereka menjadi semacam resi mulia atau seorang budak bodoh yang harus selalu bisa membantu kerja dan kebutuhan kita.

Sekali lagi, sesungguhnya tak berbeda dengan kita, Pegawai Negara sesungguhnya juga manusia. Seorang anak, bapak, ayah dan atau seorang ibu yang memikirkan kebutuhan anak-anaknya. Kita yang tak mengambil peran mereka juga mungkin harus melihat sedikit lebih menyeluruh dan mendalam sebelum begitu saja bicara. Tokh, anda mungkin tak pernah mau mengambil peran dan porsi pekerjaan mereka. Tentu saja mereka juga mesti diingatkan bahwa hidup rata-rata mereka sesungguhnya masih lebih baik kondisinya dari kebanyakan masyarakat jujur yang berharap pada peran dan tugas mereka (*kembali nampar diri sendiri ; kali ini lebih keras) !

Jadi apakah yang hendak saya ributkan dari curhat tak tentu dan bertele-tele ini sesungguhnya.

Tidak lain hanya statement bahwa tak ada yang bisa memperbaiki stigma rendahnya mutu PNS dan atau perasaaan ketidakbecusan PNS itu selain para Pegawai Negara itu sendiri terutama mereka yang muda. Mestinya inovasi, kreativitas dan motivasi yang tinggi serta tentu saja kejujuran selalu menjadi nilai yang digenggam. Bukan hanya karena itu adalah bagian dari sumpah menjadi pegawai negara yang harusnya kita lakukan. Tapi karena itu adalah jati diri tiap manusia yang peduli dan bertanggung jawab. Juga tentu saja sebagai orang muda. Motivasi, inovasi dan kreativitas adalah bagian dari sikap kita. Hendaknya kita tak pernah lupa bahwa kita, tentu saja adalah Pegawai Negara, namun kita tetaplah orang muda. Penerus harapan, pembawa perubahan.

Berikutnya saya akan sedikit bersyukur kalau kemudian saya juga bisa membuat teman-teman yang ada disekitar saya untuk melihat sedikit lebih adil dan tidak terlebih dahulu menghakimi terhadap pilihan pekerjaan yang diambil oleh sekelompok besar anak muda yang juga adalah bagian dari bangsa ini untuk menjadi Pegawai Negeri Sipil.

Terakhir, teman-teman fresh graduate yang hendak jadi pegawai negeri sipil, hendaknya sadar. Sesungguhnya pilihan pekerjaan ini bukan pilihan yang cepat, mudah dan bergelimang materi. Mari bersiap di ejek dan memanggul keranjang sampah. Karena mungkin itu sesungguhnya tugas utama pegawai negara. Sebagai keranjang sampah.

Piss..... se piss piss nya.......

@tero2_boshu
M Burhanudin B

*nb. Baru ingat klo kenyataanya banyak profesi PNS yang juga tetap bisa profesional, inovatif, profesional dan spektakuler kok. Yang jadi dosen, dokter, peneliti, auditor, guru etc.... so mari pake ukuran yang benar dan adil !

3 komentar: