Dua cangkir kopi, setengah botol air mineral dan jeruk setengah masam, tergeletak di atas meja. Di sampingnya, dua tubuh diam membatu. Di depan ada Danau Batur, di langit, burung berenang seakan tanpa beban, sedangkan di kedalaman, ikan melayang rendah di antara awan putih yang memantul di cermin danau. Langit sudah hampir sore, dan tempias biru-hijau yang payau, teduh mewarnai langit. Siang segera beranjak, bersalin rupa.
“Apa yang ingin kau temukan dalam hidup?
” Dira mengucapkan kalimat itu hampir bergumam.
Aku diam saja, pura-pura tak mendengar...
Terus terang aku bingung. Aku memang tak pernah benar-benar paham apakah Dira sedang bertanya atau memberikan pernyataan. Keduanya terlalu tipis sebagai bunyi. Juga intonasi ketika baris kata itu meloncat dari bibirnya tak pernah benar aku mengerti.
Mulutnya hanya sedikit terbuka dan wajahnya berpaling menjauhi wajahku. Bibirnya seperti tak bergidik, seakan-akan bukan lidahnya yang bicara.
Aku belum pernah ikut kursus membaca gerak bibir, pun, pada hampir sore begini aku tak ingin banyak bicara. Beberapa tahun ini, aku sudah melatih diriku sendiri untuk tak jadi sentimentil, teruya di kala senja luruh.
Namaku Adrian, aku memang bukan seorang pendengar yang baik, mungkin juga bukan tukang bicara yang cakap. Beberapa waktu terakhir aku bahkan sadar bahwa aku sudah buta dan tuli terhadap gaung di dalam lembaga batin sendiri.
Hatiku tak lagi bercerita. Terlalu banyak gumaman dan imajinasi pendek yang tak mampu marathon atau meloncat tinggi sebagai kata-kata. Pun aku jua sadar kalau beberapa tahun ini kalimatku sudah mengkerut dari menara cahaya menjadi hanya pos monyet.
Ya, segala-segala yang menjulang dan tinggi sebagai harapan sudah harus aku rawat sebagai bonsai, dipupuk, diberi air, tumbuh, kemudian dipasrahkan kepada gunting hidup yang tak kenal ampun. Aku tak lagi berani menaruh hidup sebagai kembang bunga atau buah panen untuk dikomentari. Kebunku sempit dan aku menjadi kikir atas harapan.
Hidup nyatanya demikian, kata seorang kawan. Menurutku sendiri juga begitu. Walapun tidak semestinya .
Aku sudah jauh sadar pada " bila " dari hakikat manusia. Sesungguhnya kita penakut atau setidaknya aku meyakni begitu pada diri sendiri.
Aku diam saja, pura-pura tak mendengar...
Terus terang aku bingung. Aku memang tak pernah benar-benar paham apakah Dira sedang bertanya atau memberikan pernyataan. Keduanya terlalu tipis sebagai bunyi. Juga intonasi ketika baris kata itu meloncat dari bibirnya tak pernah benar aku mengerti.
Mulutnya hanya sedikit terbuka dan wajahnya berpaling menjauhi wajahku. Bibirnya seperti tak bergidik, seakan-akan bukan lidahnya yang bicara.
Aku belum pernah ikut kursus membaca gerak bibir, pun, pada hampir sore begini aku tak ingin banyak bicara. Beberapa tahun ini, aku sudah melatih diriku sendiri untuk tak jadi sentimentil, teruya di kala senja luruh.
Namaku Adrian, aku memang bukan seorang pendengar yang baik, mungkin juga bukan tukang bicara yang cakap. Beberapa waktu terakhir aku bahkan sadar bahwa aku sudah buta dan tuli terhadap gaung di dalam lembaga batin sendiri.
Hatiku tak lagi bercerita. Terlalu banyak gumaman dan imajinasi pendek yang tak mampu marathon atau meloncat tinggi sebagai kata-kata. Pun aku jua sadar kalau beberapa tahun ini kalimatku sudah mengkerut dari menara cahaya menjadi hanya pos monyet.
Ya, segala-segala yang menjulang dan tinggi sebagai harapan sudah harus aku rawat sebagai bonsai, dipupuk, diberi air, tumbuh, kemudian dipasrahkan kepada gunting hidup yang tak kenal ampun. Aku tak lagi berani menaruh hidup sebagai kembang bunga atau buah panen untuk dikomentari. Kebunku sempit dan aku menjadi kikir atas harapan.
Hidup nyatanya demikian, kata seorang kawan. Menurutku sendiri juga begitu. Walapun tidak semestinya .
Aku sudah jauh sadar pada " bila " dari hakikat manusia. Sesungguhnya kita penakut atau setidaknya aku meyakni begitu pada diri sendiri.
Aku tak pernah jadi pribadi yang memelihara harapan dengan bercerita kepada handai dan taulan.
Aku tertutup. Sudah galibnya begitu.
* * *
“Kamu pernah berpikir kamu akan jadi apa? “
Dira memulai kalimat pertama setelah setengah jam yang kosong antara kami berdua. Itu waktu yang lumayan pendek. Biasanya kami, atau mungkin lebih tepatnya Dira, butuh waktu lebih lama, sejam atau mungkin dua jam sebelum kembali "bergumam".
Hari itu memang sedikit khusus. Pagi itu tanpa banyak komentar aku terima ajakan Dira menuju Danau Batur dan berenang di salah satu pemandian air panas yang sering kami kunjungi. Aku tahu dia sedang banyak pikiran dan butuh teman untuk melamun.
Yang begini sudah seperti siklus, 3 bulan atau 6 bulan sekali, semacam shit de ja vu.
Aku sepenuhnya menyadari keadaan. Kalimat tadi, hanya cara Dira untuk memulai sesi curhat panjang.
Maka aku tak kunjung menjawab. Tanganku pura-pura sibuk menggambar sketsa gunung batur di kejauhan.
Aku tertutup. Sudah galibnya begitu.
* * *
“Kamu pernah berpikir kamu akan jadi apa? “
Dira memulai kalimat pertama setelah setengah jam yang kosong antara kami berdua. Itu waktu yang lumayan pendek. Biasanya kami, atau mungkin lebih tepatnya Dira, butuh waktu lebih lama, sejam atau mungkin dua jam sebelum kembali "bergumam".
Hari itu memang sedikit khusus. Pagi itu tanpa banyak komentar aku terima ajakan Dira menuju Danau Batur dan berenang di salah satu pemandian air panas yang sering kami kunjungi. Aku tahu dia sedang banyak pikiran dan butuh teman untuk melamun.
Yang begini sudah seperti siklus, 3 bulan atau 6 bulan sekali, semacam shit de ja vu.
Aku sepenuhnya menyadari keadaan. Kalimat tadi, hanya cara Dira untuk memulai sesi curhat panjang.
Maka aku tak kunjung menjawab. Tanganku pura-pura sibuk menggambar sketsa gunung batur di kejauhan.
Lalu, Dira menjatuhkan kata-kata baru.
“Kamu gak mau masuk air lagi Ai ?"
“Kamu gak mau masuk air lagi Ai ?"
Gak ! jawabku pendek.
“Udah mulai rame tuh “
“Udah mulai rame tuh “
sambungnya sembari menunjuk ke serombongan anak muda yang keluar dari ruang ganti, menuju tiang bilas.
Gak !
“Ya udah, aku duluan masuk air ya... “
Sehabis itu Dira melangkah pergi dan aku hanya menatapnya bayangannya melintas.
Dari belakang, aku tahu kalau dia menghela napas panjang.
Itu 2 minggu lalu...
* * *
Dira memanggilku Ai, sudah sejak lama. Kami berkawan sejak SMP ketika berkenalan di tempat kursus komputer yang sama. Sejak itu, kami berteman erat, kebetulan juga kami satu sekolah saat SMA, lalu juga masuk universitas yang sama.
Gak !
“Ya udah, aku duluan masuk air ya... “
Sehabis itu Dira melangkah pergi dan aku hanya menatapnya bayangannya melintas.
Dari belakang, aku tahu kalau dia menghela napas panjang.
Itu 2 minggu lalu...
* * *
Kantor tempat kami bekerja juga tak terlalu berjauhan. Agency tempatku bekerja tak sampai 150 meter, dari hotel dimana Dira bertugas sebagai senior marketing manager.
Dira memang selalu bergumam di hari-hari ketika hatinya kelabu. Saat putus dari pacarnya yang entah ke berapa, dia akan selalu mengajakku boncengan motor hingga jauh ke atas gunung hanya untuk menarik napas panjang dan menangis diam-diam.
Dira memang selalu bergumam di hari-hari ketika hatinya kelabu. Saat putus dari pacarnya yang entah ke berapa, dia akan selalu mengajakku boncengan motor hingga jauh ke atas gunung hanya untuk menarik napas panjang dan menangis diam-diam.
Dira adalah jenis perempuan yang selalu bisa menyerahkan kesedihannya kepada angin, kepada semilir yang lewat, mendengar, lalu diam berlalu.
Sudah lama aku paham kenapa dia tak gusar berteman denganku yang sejatinya adalah batu.
Lepas dari sehari dua harinya yang gelap setelah putus dari lelaki-lekaki yang disebutnya “pacar” Dira selalu bisa menangani hari-harinya dengan baik. Jatuh cinta dan putus tokh sudah jadi keahliannya. Karena itu tak butuh waktu lama bagi senyum untuk terpasang kembali di wajah ovalnya. Pipinya akan kembali merona disapu matahari dan matanya di hari-hari yang biasa akan selalu bening dan tenang supaya kamu dapat bercermin lalu tenggelam di sana.
Mata Dira memang sejenis jamu pemikat, namun senyum jelas adalah beranda utama parasnya. Kamu bisa melihat percikan bahagia melompat dari jarak 100 meter ketika dia tersenyum. Dia jenis perempuan yang akan kamu sayangi, mungkin jatuh cinta, seketika kau mengenal dan menggenggam tangannya.
Sebaliknya, seperti sisi koin, Dira jua bukanlah perempuan yang sulit jatuh suka pada mahluk bernama Pria.Tidak, Dia tidak naif. Dia cuman punya kemampuan di atas rata-rata untuk tidak percaya kepada kualitas "brengsek"nya laki-laki.
Serombongan senyuman yang diimbangi kata-kata sopan serta sikap manis akan dengan mudah membuatnya percaya dan menganggapmu “layak” menjadi pacar.
Tentu saja, fisik bukanlah hal yang tidak penting. Tak sekalipun rombongan pacar-pacarnya itu, tak termasuk kategori pria kalender. Tak satupun dari mereka jua datang dari jenis laki-laki yang biasa-biasa saja.
“Kamu pernah berpikir kamu mau jadi apa nanti?”
Dira kembali bertanya…
Aku masih diam saja sejak pertanyaan pertamanya bermenit yang lalu. Biasanya aku memang tak menjawab pertanyaan standar seperti ini.
Tapi hari ini memang hari yang berbeda. Setelah menit-menit yang berlalu kosong itu, Dira menatapku lekat-lekat. Dia menyorongkan badannya semakin dekat, seluruh tubuhnya yang dibalut selimut sudah dipalingkan ke arahku.
Dia bertanya sekali lagi..
“kami pernah berpikir akan bagaimana hidup kamu beberapa tahun lagi?
Maksud kamu cita-cita Ra? jawabku sekenanya.
Bukan Ai... bukan cita-cita.. tegasnya, pendek.
Semua yang pernah kita bayangkan untuk hendak kita raih sudah kita lupakan, sudah kita raih, atau kita ganti dengan mimpi baru.
Kamu tahu kan, kalo aku bukan guru TK?
dan kamu jelas bukan anak TK.
Sudah lama aku paham kenapa dia tak gusar berteman denganku yang sejatinya adalah batu.
Lepas dari sehari dua harinya yang gelap setelah putus dari lelaki-lekaki yang disebutnya “pacar” Dira selalu bisa menangani hari-harinya dengan baik. Jatuh cinta dan putus tokh sudah jadi keahliannya. Karena itu tak butuh waktu lama bagi senyum untuk terpasang kembali di wajah ovalnya. Pipinya akan kembali merona disapu matahari dan matanya di hari-hari yang biasa akan selalu bening dan tenang supaya kamu dapat bercermin lalu tenggelam di sana.
Mata Dira memang sejenis jamu pemikat, namun senyum jelas adalah beranda utama parasnya. Kamu bisa melihat percikan bahagia melompat dari jarak 100 meter ketika dia tersenyum. Dia jenis perempuan yang akan kamu sayangi, mungkin jatuh cinta, seketika kau mengenal dan menggenggam tangannya.
Sebaliknya, seperti sisi koin, Dira jua bukanlah perempuan yang sulit jatuh suka pada mahluk bernama Pria.Tidak, Dia tidak naif. Dia cuman punya kemampuan di atas rata-rata untuk tidak percaya kepada kualitas "brengsek"nya laki-laki.
Serombongan senyuman yang diimbangi kata-kata sopan serta sikap manis akan dengan mudah membuatnya percaya dan menganggapmu “layak” menjadi pacar.
Tentu saja, fisik bukanlah hal yang tidak penting. Tak sekalipun rombongan pacar-pacarnya itu, tak termasuk kategori pria kalender. Tak satupun dari mereka jua datang dari jenis laki-laki yang biasa-biasa saja.
* * *
“Kamu pernah berpikir kamu mau jadi apa nanti?”
Dira kembali bertanya…
Aku masih diam saja sejak pertanyaan pertamanya bermenit yang lalu. Biasanya aku memang tak menjawab pertanyaan standar seperti ini.
Tapi hari ini memang hari yang berbeda. Setelah menit-menit yang berlalu kosong itu, Dira menatapku lekat-lekat. Dia menyorongkan badannya semakin dekat, seluruh tubuhnya yang dibalut selimut sudah dipalingkan ke arahku.
Dia bertanya sekali lagi..
“kami pernah berpikir akan bagaimana hidup kamu beberapa tahun lagi?
Maksud kamu cita-cita Ra? jawabku sekenanya.
Bukan Ai... bukan cita-cita.. tegasnya, pendek.
Semua yang pernah kita bayangkan untuk hendak kita raih sudah kita lupakan, sudah kita raih, atau kita ganti dengan mimpi baru.
Kamu tahu kan, kalo aku bukan guru TK?
dan kamu jelas bukan anak TK.
bukankah begitu?
Aku diam lagi.
Aku tahu, itu bukan pertanyaan.
Dira lalu menghela napas panjang.....
Beberapa menit kosong sebelum dia bertanya kembali.....
Ai....
Kamu pernah berpikir....
"Kita akan jadi apa?"
semenit,
Dua menit,
10 menit....
Aku diam saja
tak mampu menjawab pertanyaannku sendiri.
--------------------------------------
tero2boshu
Danau Batur, September 2012
Aku diam lagi.
Aku tahu, itu bukan pertanyaan.
Dira lalu menghela napas panjang.....
Beberapa menit kosong sebelum dia bertanya kembali.....
Ai....
Kamu pernah berpikir....
"Kita akan jadi apa?"
semenit,
Dua menit,
10 menit....
Aku diam saja
tak mampu menjawab pertanyaannku sendiri.
--------------------------------------
tero2boshu
Danau Batur, September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar