Tak ada yang pernah bisa sangat tahu bagaimana tepatnya cinta mereplikasi diri dalam hati manusia, dia juga tidak. Yang dapat dibayangkannya hanyalah sekian alasan dan sebab yang mengantarkan perasaan pada alamat yang bernama hati. Yang dapat diuraikannya hanyalah cerita-cerita tentang bagaimana cinta menemukan hati, ataukah justru sebaliknya hati yang menemukan cinta. Akh... itupun kata-kata yang terlanjur membingungkan.
Bagi Kinar hidup tak akan pernah lagi sesederhana sediakala. Peristiwa demi peristiwa beberapa tahun ini telah mengajarinya untuk tidak lagi menjadi impulsif, menjadi tergesa-gesa dan terlampau ceroboh dalam mengambil keputusan. Dia telah berketetapan hati, dia tak akan pernah lagi mengambil keputusan hanya dalam satu detik.
Hari ini adalah bukti tabungan kesabaran detik demi detik itu. Saat ini adalah total dari semua keberanian yang dihimpunnya sejak lama untuk menentukan hal penting bagi dirinya sendiri. Momen inilah saatnya menjadi egois bagi dirinya sendiri. Ini saatnya tiba pada kesimpulan yang sangat individualis.
Kini, pelan dan laun, semua yang pernah berlalu mengalir di hadapan benaknya. Menampilkan semua jalan yang membawa dirinya hingga sampai pada tepian waktu ini. Kinar belum melupakan semua itu.
Kinar belum lupa bagaimana dia memutuskan menikah di usia yang sangat muda. Kerepotan-kerepotan yang harus dialaminya karena menjalani pernikahan berrentang jarak selama satu setengah tahun, tiap hal sepele yang menjadi perdebatan, kesenjangan budaya, perbedaan-perbedaan kecil yang dan semua pertengkaran demi pertengkaran yang makin lama-makin terasa kian prinsip.
Kinar bahkan tak dapat mengenyahkan kenangan akan kesunyian-kesunyian yang panjang dan menjemukan tanpa buah hati itu. Tiap kenangan dalam rumah dinas di sudut kota kecil yang tak menawarkan banyak hiburan itu berulang dengan jelas di kepalanya. Seakan mengejek, seakan mengulang dua pertanyaan yang tak pernah bisa dijawabnya “ tentang mengapa dia setuju untuk menunda kehamilan dan mengapa Andra terlampau serius menjalani tugasnya sebagai seorang asisten pribadi kepala daerah".
Setiap renik memori itu membuatnya tak habis pikir bagaimana semua hal yang dulu dia rasa benar dan pantas telah menjadi bodoh dan terasa salah. Dia hanya tak bisa dengan mudah mengerti bagaimana sesuatu bisa tergerus dalam perasaannya. Bagaimana hatinya bisa mulai terasa kosong.
Tapi bukan semua itu picu ledaknya. Lebih dari perasaan bodoh dan kosong semuanya, Kinar benar-benar membenci dirinya yang kini seperti memakai topeng dan menjalani hidup yang berpura-pura. Dia merasa seperti terbungkus dalam kotak sabun yang perlahan menggerus eksistensinya, menggerus orisinalitas keberadaannya hingga tinggal puing. Dia lupa kapan dia benar-benar menjadi dirinya, dia lupa momen orisinil terakhirnya.
Perlahan Kinar menepis kelabat semua keresahan itu. Ditariknya sehelaan napas panjang yang dalam, berusaha melambat pada tiap kepedihan dan penyesalan. Kinar berusaha untuk menguasai dirinya sendiri, kenangannya sendiri. Dia hendak mengingat kembali pertanyaan hakim yang tak mampu dijawabnya di awal sidang pagi tadi.
“ bagaimana kalian bertemu “.
Kinar tercekat dalam kosong.
Tanpa berkata Andra melangkah keluar ruangan dia berlari cepat di jalan yang menenggelamkannya di antara bayangan demi bayangan.
Perlahan Kinar menepis kelabat semua keresahan itu. Ditariknya sehelaan napas panjang yang dalam, berusaha melambat pada tiap kepedihan dan penyesalan. Kinar berusaha untuk menguasai dirinya sendiri, kenangannya sendiri. Dia hendak mengingat kembali pertanyaan hakim yang tak mampu dijawabnya di awal sidang pagi tadi.
“ bagaimana kalian bertemu “.
Kinar tercekat dalam kosong.
* * *
Senyum-senyum itu berbuah ember Ndra!
Rizki kembali melepas kalimat itu. Entah sudah berapa kali aku mendengarkannya. Dia selalu melafalkannya seakan mengucap selamat pagi dan selamat siang pada senior-senior yang berpapasan dengan kami di pinggir jalan. Detik ini juga, Rizki tak hendak melepas niat yang dibacanya ada dalam kepalaku tanpa mengikat sikapku dalam kekang kalimat pendek itu.
Sejak pertama aku melangkah menuruni tangga wisma itu, dia sudah sudah menunggu di tepian turunannya untuk mengulang kata-kata itu hingga sepuluh kali. Sepuluh kali yang kian intimidatif. Sepuluh kali yang juga kian pelan saat langkah demi langkahku semakin menurun dan menapak kian kuat. Pada akhirnya hanya ada desau pelannya yang mendenging tipis diantara kepala dan kupingku. Bunyi yang terlalu tipis untuk terindahkan lagi.
Rizki, aku dan sebagian besar putra dua wisma ini memang seakan punya semacam dendam pribadi dengan putri-putri dari wisma sebelah itu. Entah bagaimana mulanya. Tokh perseteruan itu sudah terjadi seperti sebuah kisah benci dan rindu dari sinetron yang sebenarnya tidak terlalu menarik untuk diperhatikan. Tapi mau bagaimana lagi, tidak terlampau banyak kegiatan lain yang cukup menghibur untuk diceritakan di antara kami setiap bangun tidur siang di hadapan tempat tidur masing-masing.
Maka itu, tingkah putri-putri wisma sebelah yang hanya tersenyum kala menyembunyikan ember dibelakang badannya itu selalu teringat dan menjadi menarik untuk dibahas. Terkadang cerita itu bahkan menjadi kian menarik dengan bonus tentang sapaan sapaan tak terbalas di depan kelas dan perpustakaan dari putra-putra yang sukarela menjadi duta ember untuk wisma sebelah.
Lambat laun cerita demi cerita itulah yang berkembang menjadi kesal. Kesal menumpuk yang kemudian berubah menjadi dongkol. Dongkol yang lambat tapi pasti berubah menjadi tak acuh. Tak acuh yang segera berganti menjadi boikot yang tidak diumumkan. Aku bukannya acuh tapi bagaimana lagi, hidup mungkin memang sudah mengatur lintasan perjalananku untuk menuruni tangga ini.
Dengan perlahan aku mengarah pada keran air itu. Menguatkan tiap niat yang sejak mulanya sudah terbangun dalam pikiran. Aku memang hanya perlu melangkah beberapa meter dari keran menuju tangga itu untuk menuntaskan episode yang tak perlu dipanjang-panjangkan ini.
Akh, apalah juga gunanya menunda sebuah kegelisahan. Terlebih bila kegelisahan itu adalah sejenis siksaan yang terlampau menyesakan dada. Terlebih bila sesak itu lebih terngiang dari hukuman senior usil yang harus terhadapi malam demi malam.
Akh, apalah juga gunanya menunda sebuah kegelisahan. Terlebih bila kegelisahan itu adalah sejenis siksaan yang terlampau menyesakan dada. Terlebih bila sesak itu lebih terngiang dari hukuman senior usil yang harus terhadapi malam demi malam.
Aku berhenti sebentar hendak menyembunyikan kegugupan yang mulai mengembun. Menarik napas dalam yang semestinya tak terperhatikan. Tak jauh dari tempatku berhenti, beberapa putra yang duduk berbisik pelan. Mengurai alasan demi alasan yang jua tak ingin kudengarkan. Aku ingin mengindahkan semua bisikan dan protes itu dulu saat ini. Bahkan bila mungkin aku ingin buta sebentar pada semua mata dari empat wisma atas dan bawah yang sekarang sedang menelanjangi punggungku itu.
Semua mata yang kini memang sedang menguras kolam perbuatan, berusaha menjangkau dasar niat dari tindakan yang akan kulakukan. Mencabut setiap akar yang menjalar dari perbuatan ini, menelanjangi motivasi terdalam, mengkoreksi kata tulus yang kini hendak kutempelkan dengan tulisan besar yang cukup terbaca di depan dahiku.
Semua mata yang kini memang sedang menguras kolam perbuatan, berusaha menjangkau dasar niat dari tindakan yang akan kulakukan. Mencabut setiap akar yang menjalar dari perbuatan ini, menelanjangi motivasi terdalam, mengkoreksi kata tulus yang kini hendak kutempelkan dengan tulisan besar yang cukup terbaca di depan dahiku.
Tapi apa gunanya juga kata sopan berbalut itu. Aku pun tahu dibalik semua hal ini memang ada hal lain yang menarikku seperti genang samudra yang patuh pada rotasi sang bulan saat ini. Senyum itu memang terlampau manis untuk kuindahkan begitu saja. Binar mata itu terlalu terang untuk tak terperhatikan. Aku hanyalah hamba yang mengagumi indah ciptaan Tuhan. Aku hanyalah putra yang berkenalan dengan perjumpaan. Dengan sebuah perasaan tanpa definisi.
Lambat laun dengingan itu menyusut kian pelan, dan aku kini hanya melihat dirinya yang sedang berdiri sambil tersenyum, menyembunyikan ember biru bercetak nama seorang teman di belakang punggung kakinya. Aku melangkah mantap menuju tangga itu. Menatap matanya yang binar, mengulas senyumnya yang berkata merdu :
“ terima kasih saudara asuh “
Demi tuhan akulah sang buta dan sang tuli.
akulah sang sosok tanpa peduli pada detik itu.
* * *
Perlahan tapi pasti kabut lemah dalam nebula pikirannya mulai tersingkap dan Andra seakan melihat dirinya sendiri melompat tersenyum diantara genang kenangan yang kian beranak itu. Cermin-cermin cair itu mulai membening memproyeksikan semua kenangan yang perlahan dibasuhkan kembali dalam pikirannya. Menyelami momen itu membuatnya merasakan setiap intensitas molekul yang membuatnya menyadari alasan demi alasan saat itu. Mengalami saat itu membuatnya tersadar betapa terlampau berharga untuk hati disembunyikan dan dilupakan begitu saja.
Pelan-pelan rahangnya mengkaku, dia ingin membekukan saat ini agar dia tak perlu melangkah di detik berikutnya. Kini bilah matanya merasakan panas diantara rongga hidung dan matanya. Dia merasakan penyesalan yang kian lama kian membuncah mengurung perasaannya.
Andra sadar dia terperangkap dalam kerangkeng emosinya sendiri. Andra sadar dia belum pernah merasakan penyesalan seperti ini selama bertahun-tahun. Tidak sebelum dia merunut kembali momen itu dalam benaknya. Tidak sebelum dia harus menjawab bagaimana kalian bertemu yang ditanyakan sang hakim kepadanya.
Andra sadar dia terperangkap dalam kerangkeng emosinya sendiri. Andra sadar dia belum pernah merasakan penyesalan seperti ini selama bertahun-tahun. Tidak sebelum dia merunut kembali momen itu dalam benaknya. Tidak sebelum dia harus menjawab bagaimana kalian bertemu yang ditanyakan sang hakim kepadanya.
Tanpa berkata Andra melangkah keluar ruangan dia berlari cepat di jalan yang menenggelamkannya di antara bayangan demi bayangan.
* * *
Kinar berusaha menenangkan dirinya sendiri kini. Berusaha membalik lipatan demi lipatan kenangan itu memang telah membuat tangannya menjadi kaku.
Mau tak mau mereka memang harus kembali meniti jejaring itu, melangkah lambat diantara lintasan perasaan yang melaju tak pernah berhenti, duduk dalam kubikal memori yang berpaut satu sama lain. Terhubungkan oleh sebuah ruang hampa yang tak mampu bicara namun menyimpan semua perasaan manusia. Perlahan dan pelan kembali pada masa awal itu. Melompat pada tiap jarum waktu yang mendetik. Berhenti pada satu titik yang mungkin untuk mengamati hidup sendiri yang berjalan kedepan sementara mereka terlanjur berjalan mundur kebelakang.
Hakim kini sudah duduk kembali ditempatnya sejak lima menit yang lalu. Kinar menatap perlahan kursi kosong di seberang, melihat Andra yang tak lagi mengikuti pertemuan rekonsiliasi sebelum sidang cerai itu membuat kinar kembali merasa bodoh, kembali merasa putus asa. Ketertegunan itu pecah saat sang hakim mengeluarkan kembali tanya itu.
Jadi bagaimana ibu Kinar bertemu dengan bapak Andra !
Tangannya kembali kaku, bahkan semakin kaku lebih dari sebelumnya, ada yang tersekat dikerongkongannya. Dia takut perasaannya dianggap terlalu remeh. Kinar belum juga mampu bicara....
“ Aku tahu bagaimana kami bertemu pak “
aku tahu bagaimana semua ini bermula....
Perlahan dan pelan Andra keluar dari bayang siluet di hadapan pintu itu. Sosoknya terlihat letih, berkeringat dan lelah. Hanya tersisa sedikit harapan yang bersembunyi di sudut matanya yang menitis pelan... perlahan. Dengan sedikit terbata suara parau itu membuncah titis demi titis dari dalam perasaannya.
Saya mencintainya karena benda sederhana ini pak. Kami berjumpa melalui ember ini.
Perlahan Andra meraih ember biru dibelakang badannya, menghadapkannya kedepan seakan mempersembahkan seluruh hatinya. Tangannya tak lagi segemetar di awal. namun tetap terlihat mencoba menguatkan dirinya sendiri.
“ Kinar.... saya tahu hati saya ga besar say, bahkan mungkin lebih kecil dari ember ini. Tapi saya masih mau menampung galauan emosi apapun lagi. Saya mau menerima setiap tumpahan perasaan kembali. Apapun itu.
Sayang....,
Kinar....., saya ingin mempertahankan pernikahan ini.
ijinkan saya untuk minta maaf say. Untuk semuanya. “
hanya ada denting hampa yang mendetik pada tiap perhentian kata-kata yang menjadi kosong itu. Kesunyian itu menyiksanya lebih dalam, saat menatap kinar yang hanya terdiam. Tertunduk. Semakin dalam setiap kata demi kata. Andra tak tahu lagi harus berkata apa. Dia hanya mencoba untuk tak juga tenggelam.
“ Saya tahu saya bodoh nar, lelet, acuh dan sama sekali tidak sensitif. Tapi saya juga tahu say, kalau saya ga mampu keluar dari ruangan ini tanpa bilang kalau saya masih sayang sama kamu. Tanpa bilang kalau ......... “ saya cuma ingin kembali menjadi tempat kamu bersandar Kinar. Bahkan kalau itu hanya sesederhana menjadi orang yang mengambilkanmu air satu ember. Saya hanya ingin kembali menjadi saya yang mencintai kamu, saya hanya ingin kembali menjadi orang yang kamu cintai.
"saya masih ingin menjadi lebih baik buat kamu “
"saya masih ingin menjadi lebih baik buat kamu “
Selepas kata demi kata itu sepenggal ruang itu seakan berubah menjadi sekeping hampa yang mengapung di udara tak berdasar. Hampa itu sediam angkasa. Emosi berenang dalam pekat itu, bercahaya dalam kegelapan yang sempurna
“ bagaimana dengan anda bu Kinar... ada yang hendak anda sampaikan ?
Kinar hanya bisa menatap kosong dihadapan sang hakim, dia tak ingin lagi menunduk, tidak untuk saat ini. Tanpa diinginkannya ada sesak yang kembali bersemai melumat ego yang yang dibangunnya bata demi bata. Tidak seperti kemarin, kini kinar melepaskan emosi itu untuk mengembara dalam hatinya. Kali ini dia hanya ingin membebaskan tiap yang dia rasakan tanpa menahan apapun. Kinar hanya ingin berlaku adil pada perasaannya seperti ketika dia membiarkan ego dan penyesalan itu menguasainya.
Perlahan namun pasti bukit di pipinya mulai melembayung tersaput lelehan hatinya yang menitis butir demi butir. Diangkatnya dagunya dengan perlahan. Kinar menarik napas yang terlalu panjang untuk dihela dengan sekali helaan napas saja. Dia hendak mengungkung kekuatan itu dalam hatinya. Kinar menggenggam tepian bibir meja itu dengan segenap kekuatannya.
“ Ndra... saya tahu saya ga cukup sabar buat kamu. Saya terlalu emosional. Bahkan cenderung seringkali bertindak terlalu bodoh dalam banyak hal.
“ tapi.... saya juga tahu... Ndra
kalau dalam keinginan yang paling tersembunyi, saya masih ingin memiliki kamu. Menerima semua kebodohan dan kejengkelan yang pasti terjadi. “ Saya juga tahu kalo cuma kamu yang mau menampung emosi perempuan se impulsif saya.
Say.... ( bibir kinar bergetar pada kata pendek itu. Dia bahkan lupa kapan terakhir dia mengucapkan kata remeh itu pada andra)
Say.... ( bibir kinar bergetar pada kata pendek itu. Dia bahkan lupa kapan terakhir dia mengucapkan kata remeh itu pada andra)
“ saya tahu saya masih sayang sama kamu “
Tangannya tak lagi sekaku itu. Guratan kukunya pada tepian meja itu kini menjadi kian tipis. Kian lembut. Perlahan kinar merogoh sesuatu dibawah mejanya, mengangkatnya dengan perlahan keatas meja. Ember pink itu terlihat kontras diatas meja kayu tebal yang berwarna coklat.
Tapi..... saya ga tahu musti ngapain lagi untuk kembali ndra. Saya takut ndra.
Takut kalau perasaan kita memang hanya tersisa sebanyak yang dapat ditampung seember ini. Saya takut saya ga bisa melepaskan semua penyesalan ini hanya dengan sesederhana yang kamu bilang. Bagaimanapun saya ga ingin kembali jadi perempuan bodoh yang terlalu terbawa perasaan.
Andra tertunduk dalam diakhir kalimat itu. Dia tahu semua hal ini tidak akan menjadi sesederhana yang dipikirkannya, namun mendengar kata-kata itu sendiri dari bibir Kinar siang ini membuatnya hendak menghantam seluruh dinding itu dengan segenap perasaan yang menguasai hatinya. Tapi Andra hanya mampu menatap pelan mata Kinar yang melintas sekedip. Dia tahu bagaimanapun dia sudah berusaha semampu yang dia bisa. Pada akhirnya dia memang harus bersiap untuk melepaskan semuanya. Dia harus belajar melangkah sendirian sebelum bisa menuntun orang lain.
“ saya mengerti say... saya tahu itu. Perasaan saya memang mungkin hanya sebesar ember ini. Tapi saya tahu itu, saya tahu saya bisa menampung apapun. Saya tahu saya bisa mengisi kembali ember hati ini setiap kali ember ini kosong. Saya tahu saya akan tetap jatuh cinta sama kamu.
Tapi itu terserah kamu Kinar... saya ga pingin memaksakan lagi isi kepala saya sama kamu.
Tapi itu terserah kamu Kinar... saya ga pingin memaksakan lagi isi kepala saya sama kamu.
Andra melangkah mundur perlahan dia sudah hendak berbalik saat itu. Lintasan ruang yang terbilang dihadapan matanya terasa menjadi terlalu jauh untuk dilalui dalam beberapa langkah. Dia seakan berjalan digenangan pasir hisap yang kian menenggelamkannya langkah demi langkah. Perlahan sebuah genggaman halus pada genggamannya menghentikan langkah itu. Ada dorongan hangat yang menjompak di dadanya. Andra merasakan pelukan itu di punggungnya. Pelukan yang pelan, pelukan yang perlahan membuat apapun menjadi luruh dalam genangan waktu.
Dia membalik badannya perlahan. Menatap binar hangat yang mengembang dari wajah wanita tercinta yang kembali pulang dalam pelukannya. Kinar tak berkata, juga andra. Hanya membagi tiap kekuatan yang ada. Ember itu sudah menyatakan segala yang mampu mereka ungkapkan.
Dalam pelukan erat itu. Andra teringat kembali pada pendek kata Rizki yang berdengung di telinganya saat dia pertama kali memutuskan menuruni tangga barak itu.
“ hati-hati ndra senyum putri putri itu pasti berbuah ember “
“ hati-hati ndra senyum putri putri itu pasti berbuah ember “
-------------------------------------------------
Selesai ditulis kembali di
Studio 99 dini hari 28 – 08 – 09
M. Burhanudin B / @tero2_boshu
( salam kangen tak terkira untuk semua putra barak jabar, dki dan putri barak ntb )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar