Bagi saya malam itu, momen inilah alasan orisinil yang menggerakan saya menuliskan catatan tentang pementasan jazz Monika Akihari bersama bandnya Boi Akih, 5 september 2009.
Malam itu, memang malam dimana banyak kepala saling mendekat dan berbisik di telinga. Malam untuk decakan kagum dan gumam gembira dalam hati. Singkatnya malam itu adalah malam dimana senyuman dan mata yang berbinar di tengah kegelapan terasa lebih dari cukup untuk menyatakan betapa bangganya hadir dan menonton pertunjukan jazz itu sebagai orang yang lahir dan besar di Maluku.
Dalam penampilan keduanya di Kota Ambon ini Monika Akihari masih saja “ sangat “ memukau. Sejak lampu spot utama menguak kehadiran Monika dan personil boi akih yang lain di tetater tertutup taman budaya, histeria bangga itu telah mengangkasa. Cita rasa etnis yang kuat dan elemen magis yang menawan langsung dibuaikan ketelinga anda tanpa sebuah kata pembuka pertunjukan. Dentingan musik halus yang membuka dan membuai kuping saat itu mungkin hendak menyampaikan kalau pertunjukan ini memang bukan pertunjukan selamat datang. Melainkan adalah perjumpaan kembali yang menyenangkan.
Di nomor-nomor pertamanya Monika yang menggunakan terusan gaun berwarna cerah malam itu terasa sangat magis. Dia seakan sedang berperan sebagai shaman dari pedalaman Afrika yang melakukan nujum dengan rapalan mantra yang melodis, dan penonton malam itu memang terbuai dengan sensasi yang tiada terlawan.
Di nomor berikut nuansa lain mulai ditawarkan. Dua lagu setelah musik pembuka, nada-nada yang lahir mulai menghentak, seakan berlari setelah sekian lama puas belajar merangkak dalam mantra. Pada momen itu tiba-tiba adreanalin anda memompa dengan cepat dan membuat anda mengalami trance dalam musik. Kita seakan kehilangan sensasi ruang dan waktu saat itu, terbang diantara musik itu sendiri. Menjadi medium dimana nada-nada itu berlari.
Belum cukup puas berada dalam sensasi itu sejenak kemudian sebuah ruang lain membuka dan menyedot kita kedalamnya. Dalam ruang yang belum bernama itu kabut hitam yang melingkupi kita perlahan pudar dan berganti cerah seiring petikan nada pertama yang mengalun dari dawai gitar personil band Monika, Boi akih. Dari kabut itulah kita lalu terperangah menyaksikan keindahan sebuah pantai di pesisir silale dimana burung kanari yang melompat kian kemari berkicau merdu di atas dahan.
Gambaran itu memang mungkin terlalu klise bagi penampilan sebuah pementasan musik jazz tapi itulah yang memang benar-benar saya rasakan di momen penampilan Monika Akihari malam itu. Dengan begitu sederhana saya langsung merasa damai pada nyanyian monika di nomor " di pantai silale manise".
Tapi tamasya melodi itu rupanya tidak hanya hendak berhenti disitu saja. Burung kenari bernama Monika itu kembali melompat sebelum melayang rendah di atas biru laut yang teduh. Music berikutnya membawa Monika dan burung kenari itu kembali pulang ke asalnya, ke akar dari dinamisnya musik Monika malam itu. “ Manu popo “ (pulau Pombo) dibawakannya dengan gairah yang paling orisinil dalam mantra bahasa ibunya, Haria. Kita yang ada di sana, kemudian (tanpa harus mengerti arti dari kata-kata dalam mantra nada itu) otomatis menjadi penduduk pulau Saparua, Desa Haria. Disini kita harus mengakui dogma yang terlampau banal di telinga kita, bahwa musik adalah bahasa universal. Bahwa musik bisa bercerita hanya dengan nada demi nada.
Manu popo malam itu membuat saya hendak menepiskan Cayman Island, King of Convenience dari playlist pemutar musik saya dan menggantinya serta merta dengan Manu Popo, sesuatu yang terasa lebih dekat dengan hati saya.
Hantaman turbulensi musik indah berikutnya masih saja menarik. Musik itu membuat dua hati tidak berjarak terlalu jauh, hanya sejarak dua orang yang sedang berdansa dalam tempo music blues. Panggayo, nomor yang dihadirkan berikutnya memang sama sekali hadir dengan nuansa yang berbeda dibandingkan musik-musik Monika sebelumnya atau musik pangayo yang pernah kita dengar. Musik dalam nomor panggayo itu seakan didedikasikan khusus kepada para penikmat blues yang hendak menikmati sayatan gitar suami Monika dan dentuman drum jazz Goerge Owen yang malam itu, teramat lihai memeluk membran. Dari tepi pantai dan keindahan pulau di Maluku kita seakan tiba-tiba mampir dan menyeruput sepoci kopi pahit di salah satu lorong kecil pulau Manhattan. Tempat dimana dua orang personil Band Monika, Boi Akih, berasal. Tempat dimana Jazz melahirkan dirinya sendiri dalam kafe-kafe kumuh yang hangat masyarakat kulit hitam yang terpinggirkan namun bahagia.
Menuju akhir pertunjukan malam itu pendengar masih tetap ditawari seampul candu jazz lagi untuk kembali merasakan aliran liptoserin dalam adreanalin mereka. Seakan dosis musik yang ditawarkan bagi anda belum cukup untuk perjalanan pulang.
Baru kemudian di nomor yang paleng laste kata monika, “ ole sio “ menjadi tiket anda untuk terbang pulang dalam sebuah detoksifikasi yang indah. Sebuh momen patah hati akan akhir yang hadir terlalu nyaman. Sebuah dana pulang yang tak bisa dengan mudah disampaikan lewat tuturan kata-kata.
Tapi kita tentu saja belum benar-benar pulang tanpa salam sampai jumpa lagi yang spektakuler dan dibuat rindu untuk mengalami “ kembali “ momen seperti ini. Ajakan untuk sama-sama bernyanyi dari monika di akhir malam itu membuat semua yang hadir di taman budaya merasakan kebenaran bahwa tidak setiap perpisahan harus diakhiri dengan uraian air mata atau gelisah yang tak perlu. Ada kalanya perpisahan itu haruslah berakhir dengan histeria dan senyum manis yang mengembang selebar kebahagiaan dalam hati itu sendiri.
Ambon 05 September 2009
* diketik kembali dari sebuah catatan kumal yang
terlupakan sebulan sebelum pagelaran
Ambon jazz plus festival 2009
Indonesia Unite
Maluku satu darah
We’re proud to be your children
M Burhanudin B /@tero2_boshu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar