Politik Pemberitaan (Skandal Century) Wallahu Alam !


“ Politik media dan netralitas penyelenggaraan pilkada “. Itu kalimat judul yang pernah saya pikirkan sebagai sebuah karya tulis beberapa tahun lalu. Saat itu saya masih seorang mahasiswa dan kebetulan berusaha dengan sangat berat untuk menyelesaikan membaca ulang buku jakob oetama tentang politik pemberitaan media di perpustakaan. Buku itu sendiri nyatanya dengan gampang membuat saya terkantuk-kantuk.

Tapi bukan itu soalnya yang hendak dicurhatkan disini. sedikit memori itu sore ini mendekat lagi ke kepala saya, sesaat setelah memperhatikan pemberitaan media mengenai bank century dan segala tetek bengek aktivitas politik yang terjadi sebagai latar belakang dan atau bahkan sajian utama di panggung media saat ini.

 Hari-hari ini, ketika pemberitaan media makin mengerucut dan berkembang semakin panas mengenai kebijakan bail out Bank Century, yang terjadi pada saya adalah kebingungan demi kebingungan atas opini dan fakta yang disampaikan oleh media. Terbaginya pemahaman separuh otak atas klaim-klaim kebenaran dan yang paling utama kelelahan tak perlu untuk terus memperhatikan proses yang seringkali tak fokus pada masalah dan seringkali terpeleset pada dagelan bahkan sandiwara politik itu.

Lambat laun kelelahan itu saya percayai pada titik tertentu akan berujung pada apatisme atas proses yang sedang terjadi ini. Masuk angin karena kelelahan itu saya yakini akan terjadi tidak hanya pada saya, tapi juga pada keseluruhan proses yang sementara berlangsung di gedung DPR. Kita tentu lalu pantas bertanya, mengapa kita dapat begitu mudah capek untuk memperhatikan proses yang seharusnya penting ini.


Pada hemat saya kelelahan itu adalah karena berputar-putarnya kita pada soal asumsi demi asumsi dan klarifikasi demi klarifikasi yang tak perlu dan melenceng. Hari demi hari media mencernakan asumsi demi asumsi itu dalam narasi, grafis dan juga skema untuk memperjelas berita. Masalahnya asumsi-asumsi itu seringkali berubah menjadi musuh dalam selimut atas tiap pendapat yang berusaha mengklarifikasi kebenaran.


Asumsi, opini dan atau sejumlah sinonim yang berarti sama tersebut bersembunyi dengan cerdik sehingga seringkali membuat kita lupa bahwa kebenaran adalah fakta yang dapat dirunut dan seharusnya bukan anasir, gosip yang seolah-olah dapat dikira benar, hanya karena kemungkinan-kemungkinan yang diprediksikan “mungkin” terjadi dengan sangat kuat. Kita kemudian, tentu saja tidak dengan sengaja begitu mudah terjebak dalam asumsi yang berlatar pada pendapat demi pendapat itu. Padahal seringkali dalam asumsi itulah perdebatan paling penting tentang fakta harus dijelaskan.


Dalam kaitan dengan fakta itulah, maka menurut saya inti masalah century yang semestinya difokuskan pada soal adakah kerugian negara dalam usaha kebijakan menolong bank yang dirampok pemiliknya itu, dan apakah ada aliran dana yang dinikmati pihak lain telah menjadi bola liar yang semakin tidak fokus. Bola liar tersebut nyatanya cenderung digunakan beberapa kelompok kepentingan dan pada gilirannya membuat motif politik menjadi semakin jelas sedangkan usaha untuk mencari motif kebijakan itu sendiri menjadi kabur dan kalaupun bisa di asumsikan kemudian belum bisa dibuktikan.


Saat fokus debat pansus dan pemberitaan media hanya berkisar pada asumsi-asumsi tentang kemungkinan rekayasa untuk menggagalkan century dan kemudian menolongnya demi mendapatkan dana tertentu, maka debat itu sendiri menjadi tidak penting dan kemudian tidak kuat saat aliran dana ke pihak-pihak tertentu itu tak dapat dibuktikan. Lebih penting lagi, saat energi dihabiskan untuk mencari tahu siapakah yang memerintahkan penangkapan robert dan atau mengklarifikasi kehadiran seorang marsilam, energi tersebut nyatanya hanya akan menjadi bagian pertunjukan diatas panggung politik saat debat mengenai sudah adakah kerugian negara itu secara hukum belum dipastikan bahkan pada tingkat pansus sekalipun.

Pendeknya, percobaan mencari motif dan klarifikasi-klarifikasi itu pada gilirannya akan menjadi terlalu lemah ketika motif yang disangkakan dan kerugian itu selanjutnya secara hukum hanya bisa dikalkulasi sebagai sekumpulan penafsiran atas fakta dan data yang terasumsi. Lebih jauh lagi saat asumsi itu hanya dapat digolongkan sebagai niat tanpa bukti dan tindakan tanpa bukti adanya kerugian.

Sadar maupun tidak, nyatanya asumsi kita hari-hari ini tentang persoalan century utamanya disebabkan oleh semacam opini yang berkembang atas dasar kata perampokan yang lebih lanjut disangkakan merugikan keuangan negara. Hanya saja masalahnya ketika kepala kita sudah mencerna asumsi itu sebagai kebenaran, kita seringkali lupa untuk mendebatkan secara tuntas terlebih dahulu apakah uang yang dimaksudkan sebagi modal bagi penyelamatan bank itu sudah hilang ataukah masih ada dalam bentuk sebuah bank yang saat ini beroperasi dengan nama Bank Mutiara.

Selain itu kita juga entah bagaimana menjadi tidak sempat untuk sekuat tenaga mengerahkan energi untuk menimbang dengan logis apakah uang 6,7 triliun itu termasuk menggunakan dana 4 trilun kekayaan pemerintah yang dipisahkan sebagai modal dalam LPS ataukah uang itu masih ada dalam neraca LPS sebagai modal tetap dari nilai asset LPS yang saat ini sekitar 14 triliun itu.
Pada titik ini saya harus menyatakan bahwa menurut saya secara logis debat kusir tak berkesudahan apakah uang LPS itu uang negara atau tidak menjadi tak penting lagi ketika uang 6,7 triliun itu tidak bisa ditetapkan pastinya berasal dari modal pemerintah ataukah premi bank-bank kedalam LPS.

Tentu saja saya perlu mengingatkan kita untuk memahami kepekaan “ asumsi perampokan “ 6,7 triliun tersebut dalam kerangka ingatan kita semua atas persoalan membantu usaha pengusaha kaya seperti yang pernah terjadi dalam skema BLBI ataupun tindakan-tindakan BPPN yang kenyataannya memang menunjukan (pada akhirnya) kerugian negara. Hanya saja persoalannya adalah pada saat yang sama saya perlu juga untuk menghimbau agar kita tidak memahami bahwa belanja negara (kalaupun penyelamatan century bisa dianggap sebagai belanja negara) dalam usaha penyelematan sektor ekonomi dan perbankan seharusnya tidak hanya dilihat dalam kerangka konsumsi laksana, seorang pembantu yang membeli kangkung di pasar.

Belanja negara dalam usaha penyelamatan ekonomi dan sektor perbankan pada dasarnya harus juga dilihat sebagai investasi terhadap kondisi ekonomi secara makro. Penyelamatan century lepas dari debat tentang sistemik atau tidak pada dasarnya adalah kebijakan yang berdimensional setuju dan tidak setuju. Kebijakan pada gilirannya memang tidak melulu menjadi pertarungan namun akan selalu terkait dengan pertaruhan, setidaknya dalam hal berhasil ataukah gagal mengatasi persoalan.

Dari sini maka rujukan tentang nilai 536 miliar selisih nilai asset century dan uang penyelamatan yang telah digelontorkan LPS tersebut mestinya bisa kita perdebatkan apakah adalah kerugian ataukah bukan. Karena lebih dari itupun asumsi kerugian negara dalam selisih itupun pada dasarnya akan menjadi terlalu lemah bila statement pertama tentang apakah uang LPS yang dipakai membantu century adalah uang negara atau tidak itu tak kunjung dapat dijelaskan fakta terukurnya.


Maka, apa sebabnya media hingga saat ini masih saja bicara dengan asumsi perampokan, dan membuat kita merasa seakan-akan 6,7 triliun itu dirampok dari kantong kita semua ?


Saya tak benar-benar tahu bagaimana menjawabnya dengan tepat. Namun pendeknya “ bila saya terpaksa harus menjelaskan
(Marsilam Simandjuntak mungkin akan merevisi pendapat saya sebagai asumsi subjektif terhadap anasir-anasir yang saya rasakan tidak secara langsung dari akibat pemberitaan media. Sesuatu yang bagi dia, mungkin menjadi sangat lemah derajat kebenarannya kuantitatifnya dan lebih lanjut dapat disebut kecederaan berpikir.) maka saya akan menyinggungnya sebagai bagian dari politik pemberitaan media.

Tidak dapat disangkal bahwa sejak keberadaannya lembaga pemberitaan pada dasarnya tidak dapat lepas dari dimensi politik dan bussines yang sama-sama bermuatan kepentingan. Maka itu sulit untuk mengatakan bahwa muatan kepentingan tersebut tidak dapat menginfiltrasi metode pemberitaan dan cara mengungkapkan persoalan. Sadar atau tidak, diakui maupun nanti disangkal pemberitaan seringkali disusun berdasarkan agenda setting tertentu untuk mencapai suatu kepentingan. Kepentingan itu sendiri secara ideal kita harapkan adalah kepentingan umum dan kebenaran yang mutlak tanpa intervensi relatifitas. maka harus dicatat bahwa kepentingan itu dengan sendirinya menandaskan ketidak bebasan nilainya berita dan itupun wajar saja, karena tokh media dan apalagi wartawannya yang manusia tak mungkin bisa bebas dari nilai-nilai dan kepentingan yang ada disekitarnya.


Kritisi ini perlu kita mengerti untuk memahami adagium lazim yang selalu digunakan pelaku bussines media untuk bersembunyi dari tudingan memihak atau memojokan satu pihak yang kita kenal sebagai kewajiban untuk memberitahukan dan memberitakan apa yang terjadi dalam masyarakat.


Pada alasan inilah media telah dengan sadar mereduksi nilainya sendiri sebagai hanya semacam poster dan pamflet dimana sebuah pemberitahuan situasi dan kondisi ditampilkan. padahal pada tingkat yang lebih tinggi, media sebenarnya sudah berada level mempengaruhi, level menghimbau, level menyelamatkan bahkan level memanipulasi.
Media sudah berada dalam level untuk berhak menentukan dirinya sendiri, apakah akan bertindak sebagai seorang nabi ataukah tukang jual obat mencret dipinggir jalan. Inilah yang saya pahami sebagai kekuatan media untuk mempengaruhi opini publik, bahkan memproduksi opini publik.

Pada tingkat pembentukan opini publik inilah maka secara kritis kita semua hendaknya mulai memahami politik pemberitaan, setting sebuah berita dan kepentingan yang terakumulasi dalam kontent sebuah masalah. Kita hendaknya juga memahami setting tersebut dalam bingkai kewenangan untuk menentukan siapa yang dikutip dan siapa yang tidak, apa yang harus ditampilkan didepan dan apa yang harus berada dibelakang, mana yang harus diedit dan mana yang tidak serta kepentingan kebenaran ataukah kebenaran yang telah terkoreksi yang dihadirkan.


Saking pentingnya soal ini membuat saya cenderung menganggap bahwa dalam akomodasi atas nama kepentingan terhadap kebenaran dan keadilan yang seringkali mempengaruhi sebuah berita, posisi kepentingan tersebut dengan management bussines media, yang terutama berhubungan dengan kepemilikan tokoh media yang aktif secara politik harus didiskusikan dengan sangat serius dan mendalam.


Majalah pantau, sebuah majalah pemerhati media yang diterbitkan komunitas utan kayu bertahun lalu pernah menurunkan sebuah laporan mengenai etika pemberitaan dalam hubungannya dengan kepentingan bussines yang dimiliki sebuah lembaga berita. Saat itu dalam sebuah contoh yang masih sangat saya ingat, pantau mengkritisi kebijakan kompas untuk sebisa mungkin hanya menampilkan foto wawancara tokoh nasional pada halaman pertama apabila michrophone yang berlogo TV 7 (saat itu masuk group kompas) terlihat lebih dominan dari michrophone stasiun TV lainnya.


Sampel tersebut hanyalah sebuah contoh krtisi etik yang pada gilirannya ternyata lebih massif dapat kita perhatikan pada kebijakan Metro TV dan Media Indonesia untuk selalu menampilkan kegiatan pemiliknya dalam porsi pemberitaan yang penting. Belakangan TV One juga mempraktekan hal yang sama ketika Munas Golkar beberapa waktu lalu menempatkan kedua pemilik media ini dalam posisi saling berhadapan. Etis dan melanggarkah hal tersebut, nyatanya memang sangat bisa kita perdebatkan


Persoalannya bagi kita adalah, bagaimana jadinya nanti bila kecendrungan itu makin dipelihara dan tidak hanya berhenti pada titik penghargaan kepada pemilik namun lebih lanjut berkembang juga pada “ ke seakan-akanan “ atau pengidentikan kebijakan pemberitaan media dengan kepentingan pemilik media, seperti yang akhir-akhir ini kita perhatikan. Dalam pemberitaan Metro TV sore ini misalnya, berita tentang dugaan kesepakatan SBY dan Ical untuk menonaktifkan sri mulyani dinarasikan sebagai akibat sakit hati Ical dan perselisihan keduanya dalam hal pengemplangan pajak (
saya lupa apakah narasi Metro menyebutnya sebagai dugaan ataukah tidak) dan soal Suspend penjualan saham bumi resources dilantai bursa, juga dalam soal penanganan lumpur Lapindo.

Lucunya pada saat yang sama, saya cenderung dengan bebas menduga bahwa blow up Metro TV pada dugaan kesepakatan tersebut (
sebagai catatan TV one tidak menyikapi isu tersebut seperti Metro) mungkin sangat terkait dengan perselisihan yang belum berakhir antara pemilik metro tv surya paloh dan aburizal bakrie (pemilik saham TV one ) pada Munas Golkar beberapa waktu lalu.
Saya kemudian sedikit cemas dan tentu saja pantas bertanya dalam hati, apakah soal century ini tidak lagi melulu sebuah proses politik untuk mencari kebenaran ataukah sudah menjadi sebuah alat permainan mendapatkan keinginan dan menyelamatkan kepentingan.

Saat isu century ini hanya digunakan sebagai alat untuk saling menghantam, maka yang akan terjadi hanyalah sebuah proses bunuh diri kredibilitas dan integritas kita secara menyeluruh. Ketika politik dan bukannya hukum serta asumsi emosional dan bukannya logis yang menjadi panglima dari penyelesaian skandal ini maka biaya sosial yang akan terjadi sangat mungkin sia-sia.

Kita menyadari resiko politik yang sangat besar dari apa yang sedang terjadi di pansus hari-hari ini, bayangkan saja bila hasil pansus yang masih saja terus berdebat tentang kerugian negara dan motif kebijakan tersebut tanpa mencari tahu kemana aliran dana tersebut pada akhirnya mendorong sebuah proses impeachment presiden, dan wakil presiden yang dipenjarakan. Bukankah kita akan mengulang kembali proses politik yang panjang dan melelahkan dengan hasil yang dengan cemas kita duga hanya akan mengulang episode politik yang satir.

Saya dengan sangat kelelahan kemudian harus mengakui bahwa, cerita tentang century itu sendiri sudah menjadi mulai tidak menarik bagi saya. Endingnya sudah tak penting, karena ceritanya sendiri tokh sudah kemana-mana dan jadi membosankan. Mungkin saja itu juga karena saya merasa soal century, sudah tidak lagi menjadi soal kepentingan orang banyak, dan terutama saya, namun lebih merupakan kepentingan politik sejumlah pihak. Maka, terakhir kali saya hendak menonton perkembangannya ibu saya bersikeras untuk menonton safa dan marwah atau menuruti adik kecil saya yang ingin melihat take me out indonesia. Beliau sendiri juga sudah tidak tertarik.


Maka apa sebenarnya yang ingin dicurhat panjangkan dari apa yang sebenarnya sudah juga saya sampaikan didepan itu. Bagi saya mungkin tidak lebih dari mirisnya hati memperhatikan media-media yang saya pedomani pada akhirnya berkembang seperti kata-kata justin long sebagai matt farel dalam die hard 4 , atau bahkan kata edie langton yang diperankan lewis black dalam man of the year
(sebuah film parodi politik yang dibintangi Robbie Williams) yang mengutip kurang lebih begini “ kita tak pernah bisa benar-benar mempercayai media saat ini. Hadirkan dua orang ahli yang saling bertentangan untuk menyampaikan pendapatnya, maka kita tak tahu siapa yang benar dan siapa yang tidak. Mereka bisa sama-sama benar atau sama sama salah. Pendeknya kita tak tahu siapa yang berbohong”.

Dan bahwa pada akhirnya saya harus menertawakan bahwa mungkin perlu bagi seorang SBY dan partai demokrat untuk juga memiliki media pemberitaan seperti aburizal dan surya paloh, karena dengan begitu kita bisa tertawa puas melihat media menghancurkan dirinya atas nama kepentingan pemilik modal.


Wallahu’ alam


M Burhanudin B
/ @tero2_boshu
18 januari malam / saat tegang dan lelah menghantam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar