El Loyality (script) Denting Harmoni




S
aat ini dia yakin bahwa denting dalam benaknya masih mampu membentuk sebuah harmoni. Bahwa pada setiap simpul rasa, manusia memiliki intuisi yang cukup untuk menerbangkan apa saja dengan dengan sayap imaji yang lapang, bahwa kata-kata bisa berlari telanjang tanpa peduli dengan makna, bahwa emosi dapat menjadi promosi dan atau demosi dalam hidup dan air mata, air mata bisa menjadi mutiara................. !

Dia menatapnya kembali seakan terjun kemasa silam dan tidak dapat berhenti. Matanya masih sementara mencari pijakan yang cukup kuat.

Jangan katakan aku tak ber-massa- 
Dalam dimensi yang tak mampu berkata

Cairku adalah pekatku
Terang antara Gelap
Walaupun bukanlah - abu-abu -

namun sebentuk cahaya
yang mengangkasa oleh prisma
pun, tetap sebentuk zat



Sita tersenyum, pada baris-baris kata dihadapannya. Selembar kenangan membawanya kembali pada saat dulu, saat bau kertas dan tinta ballpoint yang hampir kering adalah semacam afeksi yang membuatnya betah berlama-lama menulis. Dia memang suka menulis, dulu. Saat-saat itu memang cuma kertas-kertas dan ballpoint yang dapat jadi teman dan pelariannya saat dia terkadang sepi menjalani lukisan hidup yang beraneka warna. Mereka membantunya memindahkan emosi pada kanvas yang membebaskannya melukis hidupnya sendiri, setidaknya dalam benaknya sendiri.

Kertas memang tidak akan menolaknya, dia hanya perlu menulis tanpa harus menyiapkan alasan atau argumen untuk berdebat. Dan Diary lusuh yang sudah lama bisu itu memang tidak pernah mendebatnya. Dia hanya teman setia yang selalu meluangkan waktunya untuk mendengar, memegang tangannya melewati siang dan malam. Sampai suatu ketika, ruang dan waktu yang berganti menariknya dan membuatnya tidak dapat menahan beberapa perubahan. Sita menahan napasnya sebentar mengingat betapa sudah lama dia tidak bicara dengan benaknya, dan betapa sudah lama dia lupa menulis lagi. Komputer super slim itu masih berpendar di wajahnya yang tertegun.
------------------------------------------------------------------------------------------------

6 bulan yang lalu

-- Ruangan itu kotak, dengan warna krem kayu yang natural. Dinding-dindingnya dilapisi wallpaper yang agaknya kelebihan perekat sehingga menimbulkan bau tipis yang memang tidak terlalu mengganggu, apalagi bila anda sedang flu. Hanya ada sebuah meja tanpa bunga yang dilapisi bermacam lembaran kertas bertumpuk. Sebuah komputer superslim dan proyeksi keyboard dengan sistem sensor gelombang elektromagnetis menyepi pada sisi yang lain. Meja itu membentuk huruf J kapital. Disamping kanan ruangan hanya ada satu capstok tempat gantungan jaket, jas, topi dan sebagainya berdiri tegas mengawal pintu, disisi kiri ruangan sebuah sofa dan meja yang agaknya tak pernah diduduki justru memuat lebih banyak lagi kertas-kertas bertumpuk. laporan, makalah dan jawaban ujian yang sudah tak dapat dibedakan.


Ada beberapa bingkai mencuri perhatian ditempatkan berbaris pada setiap sisi dinding. Semuanya berbingkai mahoni hitam yang elegan. Sebuah bingkai yang agaknya terutama dipasang tepat diatas kursi sang pemilik meja. Kata-kata yang terbaca terkesan ambisius, optimis dan percaya diri. Dua kursi lain ada didepan meja, salah satunya telah diduduki seorang lelaki, sepertinya sedang menunggu seseorang.

Dari belakang kanan kotak itu terdengar suara derit lunak. Sebuah pintu dorong gaya jepang terbuka. Dari baliknya seorang perempuan muda berscarf putih dengan rok blazer abu-abu muncul dan berjalan segera menuju meja tanpa bicara. Kemudian…

 “ Mataharani Maysita Wardani, panggil saja Sita. Umur 28 Tahun, pekerjaan dosen, riwayat pendidikan, pekerjaan serta yang lain dapat anda lihat pada curicullum vitae saya di depan, anda bisa memintanya, nanti, pada asisten saya diluar ruangan ini.

Bisa kita mulai wawancaranya….
saya harus mengajar lagi jam dua nanti,
waktu saya tidak banyak.

Kalimat-kalimat yang tegas itu mengalir begitu cepat dan lurus. Khusus untuk baris terakhir, ditekankannya dengan nada penuh, intonasi yang sempurna. Sita langsung duduk menghadapi lelaki yang ada didepannya.


Sudah lebih dari satu bulan yang lalu, Sita menyisihkan sedikit waktu dan menabungnya untuk saat ini. ------Sebagai seorang dosen muda fisika kuantum pada beberapa universitas terkemuka negeri ini, Sita memang tidak punya waktu yang cukup. Apalagi hanya untuk publisitas media, cuma saja kali ini seperti ada sesuatu yang lain dan membuatnya menyisihkan waktu walaupun bukanlah sesuatu yang istimewa-------

Satu bulan yang lalu Sita membuka emailnya dan menerima permohonan audiensi serta wawancara dari seorang wartawan APN multimedia co dalam inboxnya. Walaupun APNM. corp adalah sebuah perusahaan multimedia massa terbesar saat ini, Sita sudah memutuskan akan memusnahkan saja email itu saat tanpa sengaja scroling bar pada layar turun pada batas desktop hingga nama spesifik sang pengirim permohonan wawancara itu terbaca dan dia memutuskan menerima permohonan itu. Memberikan kesempatan untuk pertama kalinya.


Hari ini saat yang telah lama ditunggu-tunggu, itu akhirnya tiba. kini dihadapannya duduk seorang wartawan yang seringkali membuat kontroversi karena tulisan, liputan dan narasi laporan-laporannya. Sebuah tulisan laporan bersambungnya tentang konsep kesetaraan gender sangat kontroversial mempertanyakan kembali posisi dan peran perempuan dalam percaturan peradaban regional akhir-akhir ini banyak menuai kritik dan diskusi hangat, termasuk membuat berang Sita dalam hati. Sekali ini, Sita ingin melabraknya dengan debat. Dia ingin tahu seperti apa lelaki dibalik initial m13_b itu.

Seperti tersihir dengan kehadiran Sita yang tiba-tiba dari balik pintu, lelaki yang tergeragap sejenak itu hanya terdiam. Sampai Sita kembali mengulang baris kalimat terakhir yang tadi telah ditekankannya….
“ Bisa kita mulai wawancaranya saudara….?
Saya tidak punya banyak waktu, jam dua nanti saya harus mengajar lagi….


eh…… mphh….. iya, iya…..saya Syam… Syamsuri…. anda bisa memanggil saya dengan syam saja, teman-teman saya biasa memanggil dengan kawan syam..

tapi itu tentu telalu panjang….ini kartu nama saya tanggannya menjulur kedepan menghantar

“ iya saudara syam, saya sudah tahu… ID card anda cukup besar dan dapat terbaca dengan jelas,. Sita menerima kartu nama itu tanpa emosi…..

jadi bagaimana …?
bisa kita mulai wawancaranya sekarang….?

Diulanginya kembali kalimat itu. Syam merasakan nada itu mengintimidasi


Tentu saja bu !
tapi mohon maaf, bukan saya yang akan mewawancarai ibu, tapi rekan saya…
saya cameraman….

Mohon tunggu sebentar dia mungkin kebelakang …..
Syam mencoba tenang menjawab kata-kata Sita yang belum juga ramah.


“ oh…. Pantas, ( seperti membenarkan keraguan dalam hatinya)
sudah saya duga ! gelombang anda tidak cukup kuat… !


Maksud ibu ? tanya syam pendek
“ Aura….,
Pancaran gelombang elektromagnetis….

---- Sita menjawab lugas, tanpa menatap wajah dihadapannya.
Tekanan bahasa itu belum lagi cair---- …

Dan tolong jangan panggil saya ibu… nama saya Sita… …


Baru puluhan detik berlalu saat itu dan Sita mulai mendengus pelan menghempas bosan yang mulai membangun dalam hatinya. Untuk sedetik saat itu, dia menyesali sekian menit waktunya yang terbuang percuma, merasa ingin membatalkan saja wawancara hari ini. Tapi untungnya dia tidak pernah mengambil keputusan hanya dalam satu detik.


“ Baik. Kita tunggu, tapi…. Itu berarti anda sudah kehilangan ….. Sita menatap jam tangan selular multifugsi di tangannya…. sepuluh menit, dan saya cuma punya waktu sampai jam dua nanti selesai atau tidak selesai wawancara ini !

Syamsuri tidak menjawab kalimat pernyataan itu. Dia masih tertegun, memikirkan betapa sikap ketus dan kasar bisa tampil dalam bentuk fisik yang begitu manis… sesekali sambil juga mengutuk temannya yang terlalu lama keluar kebelakang. Selanjutnya untuk beberapa menit, ruang itu terasakan kosong, dua orang yang berdegup hidup dalam ruang itu masih sama-sama diam. Sita mencoba sibuk memeriksa lembar-lembar kertas yang ada. sementara Syamsuri belum juga tersadar dari jelajah pikirannya sendiri.

Banyak Mahasiswa yang menganggap Ibu Mataharani –begitu mereka memanggilnya- tottaly out off date karena kertas-kertas makalah dan jawaban ujian itu. Sejak lama memang mereka telah terbiasa memasukan tugas makalah, pleminari report, dan hasil kajian diskusi dengan mengirimnya ke email dosen dan menerima hasil ujian dan nilai-nilai tugas mereka juga pada email masing-masing.

Sekarang, Ibu Mataharani mengharuskan mereka mengetik dengan mesin tik manual atau menulis dengan tangan. Karenanya polah dosen baru itu membuat mereka terus terang saja agak gusar. Apalagi mereka yang terbiasa menduplikasi saja tugas temannya dari file komputer atau mengcrack email dosen dan mengubah database nilai mereka pada server administrasi fakultas. dan Sita tahu benar, mahasiswa bisa sangat kreatif untuk urusan-urusan seperti itu.


Tanggannya sementara membalik lembaran pleminari report seorang mahasiswa soal  gerak lempeng samudera di tepi punggungan bawah laut Banda ketika derit pintu yang terbuka itu tak terdengar.
“ selamat siang………
maafkan saya anda berdua menunggu lama.

Syamsuri mendongak kebelakang menatapnya yang baru saja masuk, sementara itu Sita yang mulai benar-benar sibuk dengan kertas-kertas itu tak jua mengangkat pandangnya dia hanya menyahut,


“anda membuang waktu yang sudah saya sisipkan dari Mahasiswa saya selama lima menit satu bulan ini. Seharusnya anda malu.

Tangannya masih menandai kertas-kertas.


“ Maafkan saya kalau begitu….
Kata wartawan tersebut sembari melangkah perlahan. Mencoba mantap dengan suaranya sendiri, dia kembali berkata.

“ tapi… saya juga menabung waktu saya.. lama untuk hari ini. Tuan Putri…. dan seharusnya dua belas menit yang terlewat ini cukup sepadan. Kemudian tenang.


Sita tersentak oleh keterkejutannya sendiri, merasa seakan disergap ribuan gigitan semut pada berbagai titik. Suara singkat itu membekas dalam menarik kesadaran yang terpendam cukup lama, seperti password untuk memunculkan file rahasia.

Sudah lama sebutan itu hilang tak terdengar. Tuan putri, tidak banyak orang yang tahu dan memanggilnya dengan sebutan itu…. Hanya….. dia saja…. .. cuma dia seorang. Sita mendongak perlahan memastikan dan kedipan matanya tertahan pada suatu titik.

 Saat itu ada nada hening yang membelai dinding sel-sel kelabu, bergetar seperti tala yang memastikan harmoni sebuah nada, dan Untuk beberapa saat itu diam itu bening hening.

 “ anda tentu tidak terlampau marah bukan….hingga saya tidak diperkenankan untuk duduk. Lelaki itu kembali berkata. Suaranya mencoba sebiasa mungkin bersikap menghalangi emosinya yang sebenarnya, tapi setitik terang yang melebar pada bola matanya tidak dapat berbohong.


“ te…, tentu saja tidak… silakan duduk…. Wan.
Sita yang gugup juga berusaha keras bersikap tenang


 tanpa bicara wartawan tersebut kemudian duduk pada kursi kosong yang ada dihadapannya. Syamsuri yang menyaksikan scene itu hanya diam menganalisa segala sesuatu yang terjadi.


 Beberapa saat kemudian, “ empfhhh………. Baik Sita maupun wartawan tersebut bergumam bersamaan tak dapat menyembunyikan kegugupan yang kian kental



“ bisa kita mulai wawancaranya sekarang… keduanya lagi-lagi mengucapkan kalimat yang sama kemudian tersadar dan berhenti juga bersama-sama.

Tanpa sadar dan refleks Sita berusaha memalingkan mukanya kesamping, sementara wartawan tersebut tanpa dapat ditahan menunduk tanpa menyadari polah reaksi syarafnya sendiri.

Ada sedetik yang terlewati dalam diam sebelum, sepasang senyum terbit dari balik bukit-bukit bibir keduanya, menghela kepinggir, manis. Sebuah deru bahagia yang tertahan sejak tadi meledak dalam tawa renyah kedua orang tersebut. Benar-benar mencairkan beku yang hadir sejenak tadi. Syamsuri yang sedari tadi tenggelam, kini benar-benar terbenam, dalam.



---------------------------------------------------------------------------------------



 “ kamu lebih manis kalau tersenyum seperti itu. Sebuah suara menguraikannya dari ketertegunan. Bunyi manis itu kini menepi kepingir. Sita mendongak menatapnya.

Rupanya Riri. Teman centilnya yang satu ini memang sudah lebih seperti saudara baginya. Sita telah menganggapnya seperti seorang kakak perempuan yang tak pernah dimilikinya. Hari-hari di kantornya yang kelam sepanjang bulan-bulan ini akan lebih kelam andaikan Riri tak ada disana untuk sesekali menariknya dari jurang lamunan yang terkadang seakan telah menghilangkannya.

Sita mendongak menatapnya. Dia berusaha untuk tersenyum. “ makasih ya Rii…… ..

Rii… saya ingin kembali hidup seperti kemarin, ga terus berkubang pada kenangan yang sama setiap kali, tapi saya ga tau caranya….

Pelan setelah kalimat itu berhenti…. Sita menghela napas panjang. Dia memang tak perlu berpura-pura dihadapan kawannya yang satu ini. Tanpa melihat cahaya matanya yang tak sebinar biasanya, riri tahu Sita pasti sedang memikirkan wandan yang sudah lebih dua bulan menghilang dalam kecelakaan pesawat. Untuk saat-saat jujur yang seorisinil inilah mereka menjadi sahabat yang semestinya adalah saudara.

Kamu cuma perlu berhenti sebentar say. Ambil napas….. Jangan terus-terusan ada disisi malam dong… sekali-kali pindah dong di bagian siangnya… biar kamu bisa mekar sama-sama bunga…. Gimana?


Sita tersenyum kembali… kali ini senyum itu lebih lepas dari yang pertama… Riri memang selalu begitu. Dia selalu punya cara menghimbau yang manis. Sesantai apapun intonasi kata-katanya, Sita tahu riri tidak sedang bermain-main dengan ucapannya.



Saya rasa ada baiknya saya ngambil cuti. Bagaimana menurutmu… rii


 “ ide bagus…. Saya juga ingin mengambil cuti sebentar.

Dia mulai duduk menepi pada pinggiran kursi Sita. Badan Sita memang tidak cukup besar untuk memenuhi keseluruhan kursinya sendiri. Ada sedikit tempat untuknya.

Riri kemudian melanjutkan.


….dulu…waktu kita kecil cuma lingkaran kecil Jakarta tempat super sumpek, sekarang konsep intercity membuat bandung dan sekitarnya juga ga kalah sumpek. Saya jadi malas pulang kerumah… jadi …..bagaimana kalau kita keluar Jawa saja…. Kamu dan aku…. Ok.. just like the old time, seringai senyum riri sambil memeluk dari samping tubuh Sita yang setengah bersandar pada kursi.

“ sepertinya saya butuh sendiri dulu Rii… kamu ga’ keberatan kan….? Sinar mata Sita kembali redup setengah.

“ ohhh…. No…. no…. no….

there’s no such thing as vacation without me, 

this is not an absolute statement, but in your case that is.
Kamu ga’ akan berlibur kalo sendiri say, u knew it.



 Gua ga bakal biarin kamu mengembara sendirian… kita kan sama-sama satu sekte. Apa jadinya the sisterhood of the traveling pants kalo sekretaris Sekte ga ikut sama ketua sekte. Bisa-bisa sektenya bubar gedubrak gubrak.


Riri masih mencoba lagi memancing lesung pipit Sita. Mengungkit-ngungkit pengalaman robeknya celana mereka berdua saat meloncat dari bendi di Jogja karena ketinggalan dompet di hotel itu hanya salah satunya. Riri masih punya banyak amunisi lain untuk menarik kawan tersayangnya itu dari muramnya kesedihan yang hendak membekapnya, dia tidak akan menariknya terlalu keras. Setidaknya tidak sekarang.

Say..setidaknya jangan biarkan pikiranmu mengembara sendiri. Biarkan aku menjadi teman perjalanan. Jadi kayak boneka sapimu itu juga ga papa deh.. biar ga dicuci-cuci 12 tahun. Atau kalo nga’ kamu bisa juga ngangap aku malaikat enam sayap, teman imajinatifmu itu. Bagaimana ?

“ Ye… enak aja… ! yang robek celananya itu kan cuma celanamu Rii.. punya ku nga kok… he…he..he…dikit sih… . lagian si Bospi (Boneka Sapi) juga ga perlu mandi… kambing aja ga mandi laku kok..

terus emangnya aku punya teman imajinatif….
Eh aku kasih tahu ya…Aku itu memang pengkhayal Rii tapi aku belum pernah lupain tempat markir motor cuma gara-gara ngeliat bule yang tampangnya kayak Goerge Clooney macam kamu… udah gitu pas mo minta tanda tangan tampangnya ga mirip-mirip amat lagi…. Ha…..ha….ha… 3x


“ Semprul lu…… bantal kursi yang menjadi teman pelukannya itu sekelebat dilemparkanya pada wajah Sita yang hendak terpingkal-pingkal, bantal itu menghantam telak… dan keduanya tertawa terbahak-bahak merunut kembali setiap peristiwa lucu yang dialami keduanya pada liburan-liburan mereka terdahulu.


Dalam hingarnya tawa yang memenuhi ruangan itu ada denting senyap yang mengaliri batin mereka berdua untuk sesaat. Gemerincing bel manis itu hinggap cukup lama di hati Sita untuk terus membuatnya tersenyum. Riri yang memperhatikan tawanya yang manis seakan ikut merayakan kembalinya sang teman dari sisi hidup yang malam.


“ kamu lebih manis loh Ta' kalo ketawa kayak gitu… ucapan Riri itu pelan, dan tetap seperti diawal Riri seakan hendak menyuarakan “ Selamat Datang Kembali bagi kawannya itu “


 Terima kasih Rii… gua ga tau bakal jadi apa aku kalo kamu ga selalu ada disini. Thanks Sis..


Dan diakhir kalimat itu keduanya kembali tersenyum.. keduanya tak berpelukan, namun mereka tahu jauh didalam sana denting harmoni hati mereka selalu saling berpelukan dan menyapa.


Itulah persaudaraan hati sesungguhnya.

--------------------------------------------------------------------

bersambung (scene II belum ditulis :D)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar