Pers dan Sakit gigi



Seseorang baru saja membaca selembar kertas, marah kemudian melemparkannya begitu saja ke atas tanah yang mulai basah tersentuh gerimis. Lembaran kertas itu adalah koran yang memuat sebuah berita dan lelaki yang gamang itu gusar karena ada yang dirasakannya sebagai fitnah bermain dalam kata-kata. 

Mungkin hal ini juga pernah terjadi terhadap diri kita sendiri, suatu saat kita pasti pernah marah karena berita, sama halnya seperti saat mendengar kita difitnah oleh teman yang tidak benar-benar tahu siapa sebenarnya kita.

Goenawan moehamad pernah menulis berpuluh tahun lalu bahwa terkadang sakit gigi dan pusing di kepala pun dapat mempengaruhi persepsi dari apa yang kita baca pagi ini lalu membentuk sebuah subjektifitas. Sakit gigi mungkin membuat kita gampang marah lalu menilai sesuatu cuma dengan emosi, pusing mungkin membuat kita membaca dengan tidak tuntas lalu memberikan kesimpulan hanya berdasarkan kulit saja. Karena itu dia memang benar menyarankan bila setiap yang membaca berita hendaknya bebas dari sakit gigi dan segala macam persepsi atau stereotype berdasar apapun sebelumnya.



Tentu saja hal ini hampir mustahil karena manusia adalah makhluk yang menerima aksi dan bereaksi terhadap alam sekitarnya. Namun tanpa ingin mengambil kesimpulan, Goenawan dalam tulisan itu “ mungkin” hanya ingin mengatakan bahwa terkadang manusia – yang manusiawi - mengartikan sesuatu tidak berdasarkan apa yang ada [fakta saja] namun juga berdasarkan persepsi yang sudah tertanam dalam benak kita sendiri sesuatu yang oleh Leigh teabing dalam da vinci code disebut sebagai scotomata. sebuah kasus yang berbeda walau pada prinsipnya sama saja.

Persepsi, apapun itu, memang sangat manusiawi dan tentu tidak harus jadi persoalan bila saja persepsi itu tidak bertabrakan dengan persepsi yang lain. Bagaimanapun dunia memang bukan tempat dimana cuma satu penafsiran berkuasa, ada berbagai macam bentuk ekspresi, maka itu ketidaksenangan tentu juga muncul dalam berbagai rupa dan kemudian tidak mungkin tidak menghasilkan persoalan. Dengan demikian atas alasan apapun persepsi dan opini memang tak dapat kita sembunyikan dibelakang apalagi saat bicara tentang media dan berita. Karenanya memang agak tidak wajar bila kita hendak melarang adanya persepsi tokh tanpa mediapun persepsi adalah entitas naluri yang walaupun abstrak, juga real dan selalu dinamis bagaimanapun berbedanya. Paling tidak, polemik memang harus ada.


Hari-hari ini pers memang tidak hanya memberitakan namun juga mempengaruhi. Kalimat kerennya adalah membentuk opini publik. suatu tugas yang bila ditarik garis awalnya adalah amanat yang juga terbebankan kepada para Nabi juga tukang obat dan sales asuransi [ dua yang terakhir adalah sebuah fungsi turunan yang bermutasi ]. Inilah peran pers yang hari ini sangat penting dan dengan sendirinya membuat pers menjadi berarti. Kita bahkan dapat membayangkan bila saja dulu Nuh menggunakan koran sebagai media, mungkin saja beliau tidak perlu berkhotbah lebih dari setengah millennium waktu hidupnya.
 
Media, pers, jurnalisme dan separuh istilah lain yang ber “ruh” sama sejak awalnya memang mengemban misi idealis layaknya superman dan powerpuff girls atau bahkan obat mencret. Semuanya mengemban misi kemanusian yang mulia, memperjuangkan kebenaran dan membiarkan kebenaran hidup lalu melepaskan penderitaan. Cuma saja ternyata, seperti obat mencret jurnalismepun punya kemasan yang pada sampingnya selalu tertera peringatan akan adanya efek samping. Artinya, kita memang memerlukannya, harus menengaknya namun bukan harus tanpa hati-hati. T.S Eliot dalam novelnya bahkan mengingatkan “ pers memang terkadang menampilkan dirinya sebagai cermin yang dengan sedikit modifikasi dapat dimanipulasi. Begitupun memang tidak ada realitas yang seluruhnya dapat disampaikan dan dengan begitu kebohongan tentu dapat mengisi kekosongan.

Kesadaran inilah yang menghampiri saya kemarin pagi. Pagi itu saya membaca sebuah media dan menemukan segumpal kegamangan. Tentu saja didalamnya ada sepenggal berita, bukan tentang saya tentunya, namun mengenai orang lain. Akan tetapi entah kenapa, tiba-tiba ada kegamangan yang menggumpal dan terasa mengganggu disekitar kepala saya. Ada sesuatu yang sesak dalam kerongkongan namun tidak dapat terungkapkan yang kemudian lambat-lambat mengendap. Ada sakit gigi yang tidak tuntas pada saya saat itu. Saya kemudian teringat pada Goenawan dan apa yang disampaikannya tentang sakit kepala dan juga gigi, namun hari itu dengan sedikit terpaksa saya juga harus merubahnya sedikit seraya mengakui bahwa beritapun terkadang dapat membuat kita tiba-tiba sakit kepala atau teringat pada sakit gigi yang telah lama tidak kambuh.Berita memang pada akhirnya telah jadi sedemikian paradoks dengan dunianya sendiri dan lalu membuat kita bertanya, apakah fungsi sebuah media dan maksud sebuah berita disini ? untuk menimbulkan sakit kepala, mengingatkan sakit gigi atau cuma bikin polemik ?


Mungkin itu juga yang dirasakan seorang pemimpin redaksi sebuah harian terkemuka beberapa hari yang lalu ketika membaca sebuah sms yang memojokan dirinya dan koran yang dia pimpin oleh seorang yang untungnya tidak dikenal. Sebagai seorang pemimpin redaksi koran yang cukup punya nama dan bahkan bilapun tidak, sebagai seorang manusia tentu saja beliau wajar marah-marah kemudian membalas dan menganalisa serta berusaha mempengaruhi opini kita semua dengan tanggapannya atas tulisan yang mungkin saja “tidak bermutu itu”. Untungnya ditengah itu semua, logika jurnalisme tetap digunakan dan secara intelektual tertuliskan hingga tetap membuka pintu diskusi.


Sang pemimpin redaksi menuliskan kegusarannya dengan sangat lugas juga argumentatif. Secara logis beliau membalas tulisan dengan tulisan. Itulah dialektika ideal yang ingin ditonjolkan disini, walaupun mungkin terasa terlalu berlebihan dan sedikit tidak sempurna serta terasa “ mungkin “ seperti iklan sabun mandi diperempatan jalan. Orang lalu tentu saja pantas bertanya apa yang hendak dibela dan ingin ditekankan dengan jawaban-jawaban itu ?. apa yang ingin dibela dengan argumentasi-argumentasi itu ? mungkin saja diri sendiri, tapi, untuk apa dan kenapa mesti demikian jadinya ? apa pentingnya ?


pertanyaan akhirnya menjadi makin panjang dan beragam. Inilah gejala yang disebut sebagai paradoks fighting ketika apa yang hendak dibela justru membuka pertanyaan pada sekian kelemahan yang lain. Dan itu terjadi juga dengan paradoks statement ambil misal statement presiden bahwa karikaturnya yang dimuat harian terkemuka australia adalah tidak perlu ditanggapi dan hanya sampah. Alih-alih menutup persoalan pernyataan itu justru menegaskan adanya persoalan, setidaknya itu yang dicermati oleh seorang Effendi ghozali mungkin juga saya.


Tentu saja tidak salah untuk membela diri mungkin juga menguatkannya dengan menyatakan atribut-atribut integritas yang melekat pada diri, namun tentu saja tidak harus dengan mencoba menilai diri sendiri karena mungkin agak sulit meraih kotoran yang ada dibelakang kepala tanpa bantuan cermin, betapapun kita tetap bertanya apakah semua cermin menampilkan kejujuran. Pers adalah cermin bagi masyarakat dalam melihat dirinya sendiri tapi masyarakat juga adalah cermin bagi pers yang menunjukkan bagaimana kiprah pers di masyarakat, sesuatu yang bila ditarik kebelakang akan berhubungan dengan sangat banyak hal mulai dari organisasi, kualitas berita serta independensi yang cuma klise. Bedanya sebagai cermin media tidak berhak memaksakan kebenarannya dan karena itu penafsiran terakhir adalah tetap hak pembacanya.


Lucunya saat ini media cenderung menjustifikasi kebenarannya sendiri dan menganggap masyarakat tidak cukup pintar untuk menilai. Mungkin seorang tukang becak tidak pernah mengikuti pelatihan jurnalistik tetapi apakah dengan begitu dia tidak boleh memberikan persepsinya. Kemudian bukankah produk media cetak adalah hasil tanggung jawab organisasi dimana Pimpinan redaksi adalah iconnya dan lalu harus diletakkan dimana tanggung jawab ketika kebencian diletakkan dalam halaman-halaman berita, sakit hati dibalas sakit hati dan persepsi “ mungkin “ tukang becak masuk ke ruang publik lalu juga ditanggapi dengan nada yang hanya sedikit saja bedanya. Ideal tapi tidak cerdas dan mungkin terasa sedikit vulgar serta menunjukkan level tanggapan emosinya.
 

Inilah yang terjadi di Ambon hari-hari ini, ketika kepentingan dan kapital memaksa media tidak lagi menjadi suara dari posisi neutral namun wakil dari kepentingan dan modal. Ada yang berhadap-hadapan lalu saling menghujat. Mungkin bukan saatnya untuk bicara soal idealisme toh itu cuma doktrin yang tidak bisa jadi makanan atau susu untuk anak yang masih balita tapi bukankah lucu “ mungkin juga munafik “ saat bicara idealisme dan wawasan jurnalistik sementara pada saat yang sama juga mendudukinya, melupakannya, menempatkannya dikorteks bawah sadar ? lalu saya harus kembali bertanya apa yang ingin dibela dan hendak dilupakan disini ?


Sebagai juga sebuah industri mestinya kita tidak lupa bahwa produk utama media saat ini adalah independensinya dan posisi ini yang membuatnya memiliki posisi tawar. Adalah benar bahwa independensi bukan berarti harus tanpa keberpihakan, karena bagaimanapun media tidak bebas nilai dari ruang dan waktu juga bukankah harus berpihak pada kebenaran tapi harus diingat bahwa masyarakat juga punya standard penilaiannya sendiri. Armin pane pernah menulis bahwa tugas media adalah tidak hanya memberitakan apa yang diinginkan masyarakat namun juga memberitakan apa yang tidak diinginkan oleh masyarakat. Pendapat ini benar namun akan lebih lengkap bila mungkin ditambahkan bahwa kewajiban media juga bukan hanya mendengarkan apa yang diinginkannya namun juga apa yang tidak diinginkannya untuk didengar. Dengan begitu suara seorang yang belum pernah ikut pelatihan jurnalistik mungkin tidak akan terlalu menimbulkan sakit gigi dalam perasaan kita begitupun mungkin terasa cukup beralasan.


Pada akhir ini saya lalu teringat, sayapun mungkin tak bebas dari sakit gigi dan pusing di kepala.
 
Wallahu ’alam…

M. Burhanudin Borut

ambon sebelum pilkada yang dimenangin lampu taman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar