Surat Terbuka Purna Praja

Goenawan Moehamad pernah menulis berpuluh tahun lalu bahwa terkadang sakit gigi dan pusing dikepala pun dapat mempengaruhi persepsi dari apa yang kita baca pagi ini lalu membentuk sebuah subjektifitas. Sakit gigi mungkin membuat kita gampang marah lalu menilai sesuatu cuma dengan emosi, pusing mungkin membuat kita membaca dengan tidak tuntas lalu memberikan kesimpulan hanya berdasarkan kulit saja. Karena itu Goenawan memang benar menyarankan bila setiap yang membaca berita hendaknya bebas dari sakit gigi dan segala macam persepsi atau stereotipe berdasar apapun sebelumnya. Tentu saja hal ini hampir mustahil karena manusia adalah mahluk yang menerima aksi dan bereaksi terhadap alam sekitarnya.
Namun tanpa ingin mengambil kesimpulan, Goenawan dalam tulisan itu “ mungkin” hanya ingin mengatakan dengan sebuah garis bawah tegas bahwa terkadang manusia - yang manusiawi - mengartikan sesuatu tidak berdasarkan apa yang ada [fakta saja] namun juga berdasarkan persepsi yang sudah tertanam dalam benaknya sendiri sesuatu yang oleh Leigh teabing dalam da vinci code disebut skotomata. sebuah kasus berbeda yang pada prinsipnya sama saja.

Kita jelas tidak sedang membahas Da vinci Code atau sang maestro Goenawan, ada soal lain yang coba saya sampaikan setelah pengantar panjang yang nantinya mungkin akan dianggap sekedar upaya membela diri yang sia-sia akibat sakit gigi. Tapi inilah yang memang ingin kami sampaikan akibat sakit gigi yang menimpa kami saat ini.



Hari-hari terakhir ini media massa baik nasional maupun lokal disibukan oleh pemberitaan yang intens mengenai sebuah lembaga pendidikan yang dianggap menerapkan kekerasan dalam pola pendidikannya hingga akhirnya melahirkan korban. IPDN [dulunya STPDN] adalah nama lembaga pendidikan itu dan kebetulan saya adalah alumninya.

Banyak hal yang mencuat kepermukaan, tidak hanya sekedar kekerasan, sejumlah masalah dan predikat lain kemudian ikut muncul dan berlomba memenuhi halaman berita utama tiap lembaga pemberitaan. Tidak cukup itu, lahir juga desas-desus, isu dan gossip yang pada tahap tertentu bahkan melahirkan mitos negative. Jelas kemudian banyak hal menjadi sorotan. Lepas dari persoalan meninggalnya cliff muntu yang jelas-jelas diakibatkan oleh kekerasan seniornya. Masalah lain semisal jumlah korban meninggal akibat kekerasan yang secara bombastis (disampaikan oleh seorang dosen) berjumlah 35 orang walau kemudian akhirnya diklarifikasi kembali menjadi 17 orang, juga soal tuduhan pergaulan bebas dalam kampus dan aborsi, serta perlakuan yang berbeda pada mahasiswa dari golongan the have juga pola senioritas ikut mengemuka. Inilah dasar yang saat ini membenam dalam kerangka berpikir public untuk menilai keberadaan IPDN sebagai lembaga pendidikan dan Praja maupun alumni sebagai mereka yang terlibat dalam proses dan merupakan output.

Dari titik itu kemudian muncul begitu banyak persepsi lalu juga pelesetan dari fonem STPDN / IPDN seperti sekolah tinggi / institut pembunuh, sekolah preman dan semacamnya juga hadir tatapan melecehkan dan bisik-bisik sinis saat berpapasan dengan praja atau alumni. Secara tidak sadar proses ini memang adalah bukti dari telah lahirnya stereotype yang dalam tahap tertentu “ bagi kami “ terasa sangat berlebihan. Sebagai bagian dari komunitas hidup manusia, kami sadar bahwa persepsi, merupakan sesuatu yang sangat manusiawi karena dunia memang bukan tempat dimana cuma satu penafsiran yang berkuasa dan paling tidak polemik akibat perbedaan memang harus ada. Namun apakah pada saat yang sama kami juga tidak pantas bertanya seberapa besar upaya menciptakan polemik dan perbedaan persepsi itu menunjang proses perbaikan dari permasalahan yang kini sedang mengemuka ?
Sebagai alumni ada banyak hal yang ingin kami jelaskan kepada public mengenai apa yang terjadi dan apa yang kami rasakan terhadap pemberitaan yang bias dan cenderung menggeneralisasi, tidak berdasarkan fakta valid melalui chek and recheck, juga timpang karena sama sekali tidak bermuatan coverbothsides.

Pelesetan Sekolah Tinggi Pembunuh yang Dibiayai Negara atau Institut Pembunuh Dalam Negeri misalnya sejak tahun 2003 seperti juga saat ini, diawali dengan pemberitaan yang menempelkan jumlah kematian praja dengan sebab kematian tenggelam, kecelakaan serta sakit (saat itu jumlahnya 9 orang) dalam satu daftar dengan alm.Wahyu Hidayat dan Erie Rahman. Jumlah itu kemudian meningkat menjadi 35 orang berdasarkan refrensi dari seorang dosen yang lacurnya dikurangi oleh beliau sendiri menjadi 17 orang. Yang tidak dicermati adalah bahwa ternyata jumlah 17 orang itupun masih saja memuat nama-nama praja yang meninggal akibat kecelakaan, dan sakit dalam kelompok yang sama dengan kejadian tahun 2003. Dosen tersebut saat ini, sedang diperiksa dengan sejumlah orang untuk secara marathon membuktikan kebenaran pernyataannya melalui proses pembuktian. Pada titik ini bukankah kemudian kami wajar bertanya apakah yang fakta dan manakah yang sekedar kecurigaan ?

Media sebenarnya secara sadar seharusnya memahami kelemahan ini, namun alih-alih mendasarkan pemberitaan pada dasar yang kuat, opini masyarakat justru digiring dengan menempelkan sejumlah fakta dan gosip yang terlanjur digeneralisir secara bias. Judul kemudian dirancang menjadi boombastis dan akhirnya sama sekali tidak korelatif dengan isi. Judul Sekolah Tinggi Pembunuh yang Dibiayai Negara misalnya sama sekali tidak korelatif dengan konsep dan metode pendidikan bahkan fakta yang tersampaikan. Artinya secara sadar media telah melakukan praktek yang oleh Jacob Oetama pernah disebut sebagai jurnalisme pedagang asongan, jurnalisme yang menjual judul, jurnalisme yang tidak sampai menyentuh makna dan hanya berkonotasi jualan, jualan dan jualan saja.

Generalisasi inilah yang menyebabkan lahirnya pandangan stereotype yang pada tahap lanjut menggeneraliasi kekerasan sebagai sesuatu yang tidak hanya berhenti pada oknum-oknum pelaku yang menyebabkan kekerasan terhadap adik-adik kami yang telah menjadi korban saja namun juga terhadap lembaga pendidikan itu sendiri dan bahkan pada anak didiknya tanpa melihat posisi yunior atau senior. Tatapan sinis dan miris kemudian tidak hanya menimpa alumni atau praja senior namun juga praja yunior yang seharusnya adalah korban. Siapakah yang kemudian harus disalahkan disini saat sebuah pemberitaan jutsru tidak menjernihkan masalah namun justru menempatkan korban pada posisi dengan tekanan lebih dari dua kali lipat. Bukankah kita lalu pantas bertanya apakah fungsi sebuah media disini? Apakah untuk menyuarakan fakta, memberitakan kebenaran atau menempatkan gossip sebagai panglima, dan menghukum sebuah lembaga pendidikan dan anak didiknya tanpa pandang bulu dengan pembuktian yang tidak sepadan.

Fakta diatas juga sebenarnya belum seberapa bila dibandingkan fakta yang berhubungan dengan sebuah agenda dari wacana pembubaran IPDN atas asumsi bahwa kekerasan adalah bagian dari system pendidikan di STPDN/ IPDN, dan bahwa senioritas dalam hubungan antar praja adalah racun yang menyebabkan semua persoalan yang saat ini mengemuka. Kita seakan-akan dibuat lupa bahwa bicara tentang sistem pendidikan artinya bicara tentang metode yang pengejewantahannya terdapat jelas dalam kurikulum pendidikan. Dari sana sebenarnya dengan sangat mudah dapat diketahui bahwa kekerasan adalah merupakan pelanggaran dan bukan bagian dari pelajaran yang diberikan dalam lembaga pendidikan kedinasan itu. Banyak yang juga seakan tidak ingin tahu bahwa sejak lama kekerasan adalah wacana yang merupakan bagian dari perlawanan secara internal yang telah dan terus dilakukan setiap tahun dalam lingkungan sosialisasi antar praja senior dan yunior. Seperti juga mengindahkan bahwa bahkan disurga, kehidupan diatur berdasarkan struktur atas dasar penghargaan pada posisi dan nilai diri. Senioritas yang selama ini dianggap racun adalah struktur yang lahir secara alamiah dalam hubungan antar praja yang bukannya sama sekali tidak bermuatan pendidikan (setidaknya latihan memimpin diri sendiri). Ada segi-segi positif dari pola senioritas yang mungkin akan terlalu panjang untuk dijelaskan sekaligus disini.

Pastinya, tanpa ingin melupakan konsep hidup humanis yang idealnya egaliter, kami ingin menyampaikan bahwa dunia ini bukan sorga atau bahwa STPDN/IPDN itu bukanlah Jakarta yang sedang ditimpa banjir/ Aceh yang sedang terkena Tsunami dimana setiap kepalanya meneriakan pemahaman yang sama atas sebuah keadaan. IPDN adalah sebuah Indonesia mini yang inklusif dimana ada 4000 orang anak muda dalam tahap pendewasaan diri hidup bersama dalam kampus yang daya tampungnya sudah overload dengan latar belakang kebudayaan dan psikologis yang berbeda-beda satu sama lain. Sebuah kehidupan tanpa kewenangan lebih yang terdelegasikan pada sebagian yang lain hanya akan melahirkan total anarki dan atau mengulang mimpi utopis marx dan engels yang sudah terdegradasi. Adalah benar bahwa kekerasan (contact body) terjadi, namun yang perlu diingat adalah sejak awal kekerasan adalah bagian dari perilaku deviatif dalam hubungan antar siswa didik (senioritas), yang sama sekali tidak pernah diakomodasi dalam sistem secara kelembagaan dalam IPDN

Pembenaran terhadap fakta kekerasan dalam semua pola hubungan senior dan yunior kemudian memang didasarkan selain pada korban (alm, wahyu dan cliff) juga pada tayangan kekerasan pembaiatan drumband yang sering diputar ditelevisi. Yang sengaja tidak disampaikan oleh media adalah bahwa kegiatan pembaiatan drumband seperti juga kegiatan kelompok pataka adalah kegiatan ekstrakurikuler yang tidak ada korelasi langsungnya dengan persyaratan kelulusan atau proses pendidikan di IPDN dan secara nyata adalah benar-benar merupakan pelanggaran serius terhadap peraturan. Pada titik ini juga ingin kami tegaskan bahwa sebagaimana organisasi dikampus mana saja, ada pilihan yang sangat bebas pada tiap praja untuk terlibat atau tidak terlibat dengan drumband. Anehnya, upaya pembenaran penggiringan opini kekerasan diatas tetap dilakukan media dengan melupakan dan tidak pernah menyinggung penjelasan bahwa selain drumband masih sangat banyak organisasi kemahasiswaan baik intra dan ekstra Wahana Bina Praja (senat) yang sama sekali tidak mengakomodasi pola senioritas yang salah (bahkan senioritas itu sendiri) dalam kegiatan-kegiatannya sebagaimana telah dijelaskan oleh fungsionaris WBP angkatan XV pada media sebelum dibekukan oleh Presiden.
Sebut saja semua kegiatan olahraga baik indoor maupun outdoor, Pers mahasiswa, radio kampus, Pecinta Alam (wapa manggala), Forum-forum kajian, Komunitas teater, komunitas film praja, kelompok studi E Gov, English Conversation Club, komunitas design T Shirt. Tidak juga pernah disinggung bahwa organisasi senat praja adalah sebuah laboratorium pemerintahan mini tempat dimana praja belajar dan terlibat secara praktis dengan praktek mekanisme birokrasi yang ada di pemerintahan daerah dengan segala alat kelengkapannya mulai dari bupati dan walikota dengan kabupaten dan kota serta dinas, biro bahkan kecamatan dan kelurahan. Publik dan media juga seringkali mendasarkan asumsinya hanya pada pernyataan mereka-mereka yang kabur dari kampus tanpa mau mendengarkan kami-kami yang menjalani lebih banyak hari dijatinangor dan dengan sendirinya tentu lebih banyak tahu. Mungkin kami dianggap akan berbohong, tapi apakah analogi yang sama tidak dapat kami sampaikan juga pada mereka yang kabur. Tokh mengutip seorang bapak yang sangat kami hormati cuma Tuhan, setan, dan kita sendiri yang tahu siapa yang berbohong !

Tapi bukan itu sebenarnya yang menjadi masalah. Persoalan sebenarnya adalah sikap kita semua (media dan public) yang seakan lupa melihat diri sendiri, bahwa, kekerasan adalah bukan hanya persoalan yang terjadi di STPDN / IPDN namun juga dalam masyarakat kita. Masyarakat seakan lupa bahwa sikap main hakim sendiri seperti mengeroyok dan membakar perampok adalah kekerasan, penegak hukum juga lupa bahwa kekerasan kerap juga mereka lakukan, mahasiswa dan kalangan pendidik juga lupa bahwa kampus merekapun kerap kali mengalami praktek kekerasan serius mulai dari tawuran hingga kematian yang juga diakibatkan oleh ospek.. Semua pihak termasuk anggota parlemen juga seakan lupa pada kasus kekerasan yang pernah terjadi dalam tiap lembaga tersebut. Contoh-contoh ini tentu saja tidak ingin kami jadikan pembenaran terhadap kekerasan yang terjadi dalam kampus kami, namun mungkin kami ingin menghimbau pada semua pihak untuk melihat kedalam diri sendiri sebelum menjustifikasi sesuatu terlalu jauh. Karena apabila semua tindak kekerasan yang dilakukan komponen masyarakat lain dianggap sebagai perilaku oknum yang kasuistis dan tidak ada kaitannya dengan integritas kelembagaan kenapa lembaga kami harus mendapat perlakuan tidak adil seperti itu.

Juga bila kekerasan dijadikan pembenaran emosional atas wacana bubarkan saja sebuah lembaga pendidikan, apakah kami tidak lantas harus juga menganalogikan pembenaran yang sama untuk membubarkan parlemen, atau bahkan Negara ini.? Tentu saja tidak , bukan ? Karena kita semua tokh, sepakat bahwa kita tidak harus membakar lumbung untuk mengusir beberapa ekor tikus.
Kini kami secara komunal sedang dianggap sebagai tikus, pada lumbung (IPDN) rusak yang isinya tidak potensial dan berharga. Padahal ribuan alumni yang sudah mengabdi didaerah dan ratusan kepala daerah bisa membuktikan bagaimana kinerja alumni tidak bisa dianggap sebelah mata. Ditengah semua cercaan dan sinisme ini kami tetap bekerja dan beraktivitas kreatif walaupun dengan tekanan yang terasa berat. Kami juga sudah membuktikan bahwa tidak ada hubungan yang korelatif tentang tindak kekerasan yang dianggap terjadi dalam semua pola pendidikan dikampus dengan kinerja dari alumni pada masyarakat yang berhubungan dengan pelaksanaan pelayanan umum. Mungkin benar, tidak pantas untuk memuji diri sendiri dan menambahkan sejumlah atribut untuk menegaskan integritas, disini. Tapi bukankah dalam posisi yang dirugikan tetap diam tidak selamanya emas namun justru seringkali kontraproduktif.

Dalam posisi ini, banyak pihak dan media yang kemudian menyatakan bahwa lembaga dan praja serta alumni adalah pihak yang cenderung menutup diri dari proses dialogis dengan media dan komunitas-komunitas sosial di masyarakat. Kami dianggap seakan-akan tidak melakukan upaya klarifikasi terhadap proses pembusukan lembaga yang sedang terjadi. Kenyataannya sebenarnya tidak, hampir semua alumni didaerah maupun dipusat telah melakukan upaya klarifikasi, begitupun lembaga IPDN sendiri dan juga Depdagri sebagai induk. Untuk semua kasus mulai dari pola senioritas dan kekerasan yang dianggap sebagai bagian system , penjara atau kuburan bahkan dugaan pergaulan bebas dalam kampus semuanya telah diklarifikasi. Pertanyaannya adalah apakah apakah media memberitakan klarifikasi kami dalam porsi yang sama dengan bias keburukan yang lebih banyak gosip daripada faktanya dalam pemberitaan uncoverbothsides sebagaimana yang telah dilakukan ?

Khusus untuk stigma pergaulan bebas dalam kampus atau wanita praja yang “ bispak “ (berdasarkan refrensi inu kencana) misalnya, klarifikasi telah sepenuhnya dijelaskan oleh lembaga dan pihak wanita praja sendiri, bahwa dugaan itu adalah dugaan yang sama sekali tidak berdasar. Kasus utari adalah kasus asusila (aborsi) pertama yang diupayakan sebagai yang terakhir dalam penyelenggaraan pendidikan di IPDN. Adalah benar bahwa pernah terjadi pengunduran diri wanita praja karena dugaan kehamilan, namun perlu dicatat bahwa pengunduran itu berkaitan dengan hubungan sang wanita praja dengan pasangannya didaerah pada saat cuti dan bukan dengan praja putra dalam lingkungan kampus. Kasus lain yaitu, hamilnya “ bakal calon wanita praja “ dari maluku utara yang entah bagaimana diluluskan oleh proses seleksi didaerah dan digunakan yth inu kencana sebagai refrensi juga sebenarnya sama sekali tidak berhubungan dengan lembaga IPDN sebagai institusi pendidikan. Pertama karena IPDN tidak bertanggung jawab terhadap proses seleksi didaerah dan yang kedua adalah karena yang bersangkutan bahkan tidak penah menjadi calon praja yang dinyatakan lulus oleh Depdagri.

Wanita praja melalui wakilnya kepada beberapa media telah menjelaskan bahwa bahwa letak kompleks praja putri dan putra terpisah.., bahwa praja putra dilarang keras berada disekitar kompleks putri begitupun sebaliknya. Bahwa sebelum masuk semua praja putri telah dan harus dinyatakan lulus pemeriksaan menyeluruh alat reproduksi kewanitaan, bahwa setiap bulannya dilaksanakan pemeriksaan urine dan alat reproduksi kewanitaan menyeluruh bagi semua putri praja dari tiap angkatan, bahwa putri maupun putra tidak bisa sembarangan keluar kampus bila tak ada ijin atau kalau bukan hari pesiar. Bahwa semua pelaku tindakan asusila yang rata-rata terjadi diluar lingkungan kampus (didaerah asal praja) telah mendapat hukuman dikeluarkan dan atau dipecat sebagai praja.

Tentu saja kita tidak mungkin berkata pelanggaran tidak mungkin terjadi karena tokh kita tidak memasang kamera pada kepala tiap praja baik putra dan putri saat diluar kampus. Dan bukankah kita ingat last but not least praja itu bukan domba yang harus terus diawasi anjing penjaga dan pengembala dalam tiap aktivitasnya. Praja itu mahasiswa, manusia dewasa yang seperti manusia lain juga diberikan pilihan dalam pendidikan yang mendidik manusia dewasa untuk terus mendewasakan diri dengan memilih yang baik dan menghindari yang buruk.. Selain itu apakah sebuah lembaga pendidikan hanya benar-benar akan dianggap berhasil mengartikulasi dirinya seagai lembaga pendidikan tanpa terjadinya pelanggaran apapun bentuknya ? Bila kita sepakat masih hidup di dunia maka tentunya kita juga harus sepakat bahwa yang utopis memang hanya ada di surga. Dan karena itu yang kita lakukan hanya menyiapkan system dan pencegahan terjadinya perbuatan tersebut. Dan itu sudah dilakukan lembaga.

Pertanyaannya apakah lembaga pendidikan lain juga sudah melakukan tindakan pencegahan yang sama? Pergaulan bebas hari-hari ini adalah fenomena global pada semua lingkungan pendidikan ditanah air. Upaya sebagian kalangan memercik air ini didulang opini massa sebenarnya lebih merupakan upaya penghindaran dari air masalah yang akan memercik muka sendiri.

Kami sadar bahwa sebagai media penyampai informasi hari-hari ini pers memang tidak hanya memberitakan namun juga mempengaruhi. Kalimat kerennya adalah membentuk opini publik, suatu peran yang bila ditarik garis awalnya adalah amanat yang juga terbebankan kepada para Nabi, tukang obat dan juga sales asuransi. Media, pers, jurnalisme juga separuh istilah lain yang ber “ruh” sama sejak awalnya memang mengemban misi idealis layaknya superman dan powerpuff girls atau bahkan obat mencret. Semuanya mengemban misi kemanusian yang mulia, memperjuangkan kebenaran dan membiarkan kebenaran hidup lalu melepaskan penderitaan. Cuma saja ternyata, seperti obat mencret jurnalismepun punya kemasan yang pada sampingnya selalu tertera peringatan akan adanya efek samping.

Artinya, kita memang memerlukannya, harus menengaknya namun bukan harus tanpa hati-hati. T.S Eliot dalam novelnya bahkan mengingatkan “ pers memang terkadang menampilkan dirinya sebagai cermin yang dengan sedikit modifikasi dapat dimanipulasi. Karena memang tidak ada realitas yang seluruhnya dapat disampaikan dalam kolom dan dengan begitu kebohongan tentu saja dapat mengisi kekosongan.
Kesalahan para oknum itu (kekerasan; red) biarlah menjadi dosa yang kami akui dan benar-benar kami sesali. Kami hanya berharap ditengah semua tuntutan nilai ideal yang pantas dialamatkan kepada kami, semua pihak (termasuk media) dan masyarakat juga mau bersikap ideal, pantas dan professional. karena bila tidak sebagaimana kata seorang teman “ Ajaran yang ideal tanpa contoh yang sepadan hanyalah pantas dibuang ke selokan “

M Burhanudin Borut / @tero2_boshu
Purna Praja STPDN angkatan XII

Tidak ada komentar:

Posting Komentar