Adalah seorang Milan Kundera yang teringat ketika saya hendak menulis tentang lupa. Lupa memang seakan telah hampir diidentikan dengan penulis Cheko ini dalam benak saya. Bukan saja karena sastrawan ini hampir pernah dilupakan oleh bangsanya sendiri setelah sekian lama terasingkan, namun lebih karena dia dapat menegaskan prinsip keterlibatan emosional yang sangat kuat mengenai urusan lupa dan melupakan ini lewat bukunya 'the book of laughter and forgeting'.
Kundera membicarakan lupa sangat jelas sejak dari judul. Tidak hendak berumit-rumit seperti Nietsche yang berpsiko analisis untuk segala sesuatu atau Marx yang berang dengan betapa orang seringkali lupa akan pertentangan dan realitas sejarah, Kundera menghimbau dengan mulus tanpa hendak merombak dan merekonstruksi apapun. Pendeknya Kundera menengak beberapa gelas tequila sembari menolak untuk mabuk.
Tapi mengapa lupa dan apa pentingnya membahas Kundera saat ini ? jawaban pertanyaan ini tentu saja dapat bertele-tele, akan tetapi penting dikatakan bahwa jawaban pertanyaan ini mungkin harus kembali kita lihat pada realitas yang ada. Melupakan saat ini memang bukanlah hanya urusan manusiawi, persoalan hukum, sosiologis atau juga politik, dalam beberapa pendapat tertentu melupakan [saat ini] bahkan bisa mengakibatkan kacaunya soliditas sebuah bangsa dan untuk itu harus diendapkan. Itulah mengapa melupakan dan lupa menjadi sesuatu yang penting saat ini untuk dibahas.
Betapa pentingnya lupa dan melupakan ini dapat dilihat pada kasus Soeharto juga pada persoalan pembebasan dari hukum para debitor BLBI beberapa waktu yang lalu yang menuai protes kemudian jangan juga lupakan rilis video penyerangan pentagon beberapa hari kemarin oleh otoritas resmi Amerika Serikat pada saat dukungan terhadap perang memerangi terorisme dan kampanye perang ke Irak jatuh pada titik yang sangat rendah. Semua realitas itu seakan hendak mengingatkan kita kembali pada apa yang telah terjadi dibelakang dan agar kita tidak lekas melupakan. Karena melupakan adalah masalah, sekecil apapun efeknya.
Karena itu memang wajar bila kita membahasnya, mencegahnya bahkan berperang dengan lupa itu. Demikianpun bukankah ingatan yang bagus memang prasyarat untuk sukses dimuka bumi saat ini ? sebut saja dunia pendidikan, pasar ekonomi, bidang sosial budaya, pertahanan keamanan dan juga seks, semuanya membutuhkan ingatan yang kuat untuk berhasil dan untuk itu memang tidak ada keraguan.
Dari kesimpulan awal inilah sebagai bangsa [Indonesia] kita berangkat untuk bertanya pada diri sendiri terhadap apa yang telah kita lakukan dengan lupa itu ?
Sebagai bangsa memang banyak yang berpendapat bahwa ingatan kolektif kita tidak sangat bagus bahkan cenderung buruk terhadap apa yang telah kita alami. Ada peristiwa pemberontakan PKI yang terjadi dua kali, kerusuhan SARA yang terjadi dua tempat berbeda dengan eskalasi yang sangat tinggi, juga dua zaman rezim birokrasi yang berkuasa sangat lama. Lalu jangan juga lupakan edy tansil, kasus BLBI dan pembobolan BNI dan Bank Mandiri. Semua itu adalah contoh sikap lupa kita yang menimbulkan masalah berulang-ulang.
Persoalan lemahnya pendidikan, kultur psikologis yang feodal paternalistis dan juga mungkin emosi yang meluap namun cepat terpuaskan adalah sekian alasan-alasan yang dapat diketengahkan sebagai sebab kenapa kita masih berada pada bab yang sama dalam buku sejarah. Kita memang mengalami ejakulasi dini ingatan yang akut dan membutuhkan pertolongan yang sangat serius. Maka mungkin benar bahwa mengingat adalah penting sedangkan melupakan adalah laten yang senantiasa harus diawasi.
Kita tentu saja ingin berubah dan memang telah mempersiapkan seperangkat system yang bila perlu dapat mencubit dan menempeleng kita untuk mengingatkan agar kita tidak kelihatan terlampau goblok. Kita menguatkan fungsi pers, membebaskan kebebasan berpendapat, memproduksi aturan dan tata tertib. Pendeknya kita memperkuat demokrasi sebagai system untuk melawan lupa itu, dan bila dibandingkan bertahun-tahun lalu kita memang telah lebih bisa mengingat, menuntut janji serta mempertahankan prinsip dari apa-apa yang pernah kita hadapi dan ini tentu perkembangan yang berarti dan menuju kebaikan.
Akan tetapi ternyata itu saja tidak cukup karena di tengah ingatan kolektif yang sudah membaik ini kita kembali dihadapkan pada persoalan pelik yang tentu saja bersentuhan kembali dengan persoalan lupa. Persoalan itu tidak lain adalah mengenai Pak Harto.
Saat demokrasi membuat ingatan kita menjadi sensitif dan kuat ternyata lepas dari persoalan-persoalan pertimbangan hukum dan medis juga politik ada sempalan perasaan pada sebagian orang yang seakan ingin membuat kita melepaskan diri dari kemelut yang tidak selesai mengenai mantan orang besar ini. hukum memang tidak bicara tentang perasaan namun bukan berarti demokrasi juga tak perlu membahasnya bukan ?
Kita tentu tidak tergesa-gesa mengambil kesimpulan bahwa reformasi dan demokrasi telah gagal karena sebagian dari kita seakan-akan melupakan setumpuk kesalahan yang ada didepan. Karenanya memang perlu untuk membuka kembali kitab melawan lupa dan membaca berbagai kesalahan mantan orang besar ini. Masalahnya adalah pada saat yang sama dihalaman yang lain kitab itu juga ternyata bercerita tentang betapa ada jasa besar presiden kedua kita ini untuk bangsa selama 32 tahun kepemimpinannya. Memang benar bahwa tidak ada yang selalu baik dan terlalu buruk bila kita melihat dari sudut-sudut pandang yang berbeda namun tetap saja orang bertanya setelah delapan tahun reformasi apakah kita telah lupa pada apa yang dulu pernah kita teriakan ?
Tentu saja banyak dari kita tidak lupa pada apa yang terjadi sekian tahun yang lalu toh kita terus diingatkan tiap tahun. Beberapa dari kita bahkan mungkin menjadi bagian dari proses tersebut. Tapi mungkin kita sudah capek, melihat keadaan yang tidak menjadi makin lebih baik, mungkin juga bosan melihat kehormatan hilang dari bangsa ini, atau mungkin kita menganggap bahwa membakar ban dan berteriak dijalan bukan lagi satu-satunya cara berjuang karena saluran sudah dibuka walaupun terkadang mampet dan perlu diperiksa. Toh demokrasi memang membolehkan kita untuk berbeda pendapat.
Mempunyai ingatan yang baik memang adalah prestasi dan sebagai bangsa kita memang tidak boleh gampang melupakan namun lupa juga bukan sebuah dosa yang tidak termaafkan bukan ? Kita tentu tidak ingin mengingat dendam sementara terkadang lupa bahwa cinta seharusnya dapat mengatasi semua kesalahan. Kita tidak seharusnya melupakan bahwa lupa itu perlu untuk mengatasi dendam juga penting untuk menghancurkan keangkuhan dan selanjutnya mampu memaafkan. Tentu saja memaafkan bukan berarti kita memaklumkan kesalahan tidak juga untuk permisif tapi lebih untuk membuat kita belajar untuk malu berbuat salah dan segan mengulang kesalahan yang sama. Kecuali bila kita telah sedemikian tidak percaya dengan kualitas kemanusiaan orang lain dan menganggap mereka sebatu kita sendiri.
Terkadang kita memang perlu mengingat kesalahan namun bukan berarti kita harus menggunakan dendam sebagai bahan bakar dan atau memagari ingatan kesalahan tersebut dengan keangkuhan sebagai pagar batasnya. Ingatan itu tidak harus seperti matematika yang kelihatannya pasti padahal sebenarnya cuma kompromi dan cuma berguna bila diakumulasikan dengan sekian jumlah lain. Artinya kita memang tidak perlu menjumlahkan dendam dengan dendam karena hasilnya mungkin juga tidak lebih baik dari kompromi.
Begitupun ketika ingatan teramat kuat, terkadang kita lupa bahwa sejarahpun ditulis dengan menutupi sebagian fakta yang lain, maka ketika kita mengingat yang kita ingat sebenarnya adalah sebagian fakta dan sebagian lagi kebohongan. Pada titik ini kita mungkin perlu menyesali apa gunanya ingatan dan tak perlu melatenkan lupa sedemikian dahsyat sebagai dosa.
Melupakan memang tak pernah baik, namun ada baiknya kita juga ingat bahwa tidak setiap yang jelek tidak berguna. Sesekali kita memang perlu berkata pada diri sendiri tentang betapa semua orang pernah berbuat salah dan indahnya melupakan mimpi buruk. Kita semua tak perlu buta, tidak perlu goblok namun juga jangan bebal.
Seorang kanselir jerman dasawarsa yang lalu dalam perayaan pendaratan sekutu dipantai Normandia berkata “ all of us whether old or young., whether right or wrong must accept the past. Anyone who cannot accept the past is guilty to the present and anyone who guilty to the present is blind to the future". Mari kita sejenak terdiam merenungkannya, setelah itu tentu saja kita tetap boleh berdebat namun mungkin tanpa harus kelihatan urat karena bahkan sang Milan Kundera suatu saat kembali ke negerinya dan lupa betapa diantara orang-orang yang kini menyambutnya adalah mungkin mereka yang pernah mencercanya, membuatnya terasingkan sekian lama.
[ Muh Burhanudin B ]
Seorang pelupa kronis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar